Ahmad Maryudi – Sebijak Institute, Fakultas Kehutanan UGM
Dalam beberapa dekade terakhir, isu kesetaraan semakin mengemuka dalam setiap tata hubungan sosial politik. Dari perspektif moralitas, semua orang harus mendapatkan perlakuan yang sama, tak peduli dengan latar belakang dan status sosialnya.
Dilema kesetaraan
Di bidang pengelolaan sumberdaya alam, kesetaraan sudah menjadi mantra wajib, terutama dengan konsep “leveling the playing field”, yang sering diasosiasikan dengan demokrasi deliberatif, yakni pelibatan seluruh stakeholder.
Namun, konsep kesetaraan ini justru bisa menjadi pedang bermata dua, dan justru digunakan untuk mengaburkan kepentingan stakeholder yang kuat, untuk mendapatkan keuntungan yang berlipat.
Sebagai contoh, banyak peneliti yang menyebutkan bahwa larangan impor barang-barang ilegal di Amerika Serikat justru lebih “melayani” faksi bisnis besar, agar pengusaha kecil dan menengah tidak mampu bersaing dengan mereka.
Banyak negara berkembang mulai meningkatkan standar regulasi lingkungan yang dikenakan terhadap semua kalangan. Namun kesetaraan tersebut justru mendorong kelompok tertentu yang tidak memiliki akses dan kemampuan untuk memenuhi regulasi ke dalam kegiatan yang melanggar hukum. Banyak perusahaan besar mendorong konsep kesetaraan dan keadilan dalam perlakuan hukum, agar saingan mereka tidak mampu memenuhi standar regulasi yang tinggi.
Di Eropa pun terjadi juga, misalnya dalam konteks perumusan kebijakan European Union Timber Regulation (EUTR). EU sangat mengagung-agungkan prinsip-prinsip kesetaraan, dan mendorong partisipasi aktif para pemangku kepentingan, termasuk sektor privat. Faktanya, perumusan EUTR didominasi sekelompok faksi pegiat lingkungan, dan banyak mengabaikan pelibatan industri perkayuan. Di Indonesia pun banyak yang mengkritisi proses kebijakan legalitas kayu, misalnya adanya nada sumbang L4 (lu lagi lu lagi).
Kesetaraan semu
Bagi kelompok yang lemah, implementasi aturan yang membabibuta (atas nama kesetaraan) justru akan merugikan. Oleh karena itu, isu kesetaraan harus diperluas, yakni setara dalam proses pengambilan kebijakan. Harus ada keterwakilan semua pihak, dan mereka harus berpartisipasi aktif dalam perumusan kebijakan.
Namun dimensi representasi harus diperluas dari sekedar partisipasi. Ada beberapa resiko dalam upaya menyalurkan partisipasi, termasuk misalnya homogenisasi semu (di mana semua aktor diperlakukan sebagai memiliki kemampuan yang sama untuk berpartisipasi).
Sebagai contoh, hampir tidak mungkin bagi perempuan untuk menghadiri pertemuan di malam hari, karena mereka harus mengerjakan urusan domestik rumah tangga. Hampir tidak mungkin masyarakat desa hutan di Papua mampu hadir dalam proses perumusan kebijakan di Jakarta. Belum lagi proses-proses partisipasi nominal dan token, dimana pihak-pihak yang lemah hanya dihadirkan untuk sekedar mendengarkan berbagai “arahan”.
Pengejawantahan kesetaraan
Oleh karena itu, representasi harus benar-benar diejawantahkan secara nyata dalam bersuara dan mempengaruhi keputusan dalam berbagai desain dan implementasi kebijakan. Kesetaraan juga harus diejawantahkan dalam bentuk pengakuan terhadap berbagai perbedaan sosial dan budaya. Tidak boleh ada diskriminasi terhadap kelompok tertentu, hanya karena norma sosial dan budaya mereka yang berbeda. Ada banyak cerita sumir, misalnya dalam kontek pengelolaan sumberdaya hutan di tanah air. Misalnya masih banyak kelompok dan hukum adat yang belum memiliki hak dan akses atas sumberdaya.
Penutup
Tidak ada maksud untuk menyalahkan konsep kesetaraan. Disini kami lebih menyoroti implementasi konsep tersebut yang seringnya hanya sekedar mitos daripada realitas. Dan seringnya hal itu disebabkan oleh karakter hukum, dan konteks ekonomi dan sosial yang secara struktural lebih menguntungkan kelompok-kelompok tertentu. Apapun upaya kita mendorong kesetaraan dan keadilan akan sia-sia kalau tidak dibarengi dengan upaya memperbaiki hubungan tata kuasa yang tidak setara yang telah mengakar kuat puluhan tahun.
*Tulisan ini merupakan bagian artikel penulis dengan judul “A Level Playing Field”?: What an environmental justice lens can tell us about who gets levelled in the Forest Law Enforcement, Governance and Trade (FLEGT) Action Plan di Society and Natural Resources: https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/08941920.2020.1725201