Since the late 1990s Reformation era, Indonesia’s forest governance has served as a pivotal element of its environmental strategy, emphasizing efforts to combat deforestation, restore degraded landscapes, and promote the active involvement of local communities in sustainable management practices. While Indonesia has made significant strides in improving forest governance, there are still challenges such as regulatory overlaps, ambiguous legal definitions,
Research
Illegal logging and the illegal cross-border trade in timber have been identified as one of the main drivers of global deforestation and forest degradation. More seriously, it contributes to climate change, causing biodiversity loss, land use conflicts, international market distortions, and state revenue losses.
These problems led to the first transnational policy issued in 2003 in Europe, the Forest Law Enforcement, Governance, and Trade (FLEGT) Action
Izin Pemanfaatan Hutan Perhutanan Sosial (IPHPS) merupakan skema perizinan yang diberikan pada lahan hutan yang tidak dibebani hak dan termasuk dalam izin yang aman. Hal ini dikarenakan IPHPS memiliki izin dengan waktu cukup panjang (selama 35 tahun), memberikan kewenangan yang lebih besar kepada masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan lebih baik dalam pembagian keuntungan dibandingkan skema perusahaan.
Adanya berbagai kelebihan ini membuat IPHPS cenderung dimiliki oleh Perusahaan Hutan Negara
The Ministry of Trade of the Republic of Indonesia recently issued Minister of Trade Regulation (Permendag) No. 15/2020, regarding provisions for forest product exports. This new regulation stipulates that V-Legal checks, which verify the legality of all timber products, are no longer required for exports. It was intended to streamline the export process for forest products and thereby boost trade.
Sebijak Institute conducted a rapid (4-day) online survey between 21 and 23 April 2020, to various
The Ministry of Trade of the Republic of Indonesia recently issued Minister of Trade Regulation (Permendag) No. 15/2020, regarding provisions for forest product exports. This new regulation stipulates that V-Legal checks, which verify the legality of all timber products, are no longer required for exports. By removing timber legality verification requirements, the regulation aims to streamline the export process for forest products and thereby boost trade. However, there is considerable
Ahmad Maryudi – Sebijak Institute, Fakultas Kehutanan UGM
Dalam beberapa dekade terakhir, isu kesetaraan semakin mengemuka dalam setiap tata hubungan sosial politik. Dari perspektif moralitas, semua orang harus mendapatkan perlakuan yang sama, tak peduli dengan latar belakang dan status sosialnya.
Dilema kesetaraan
Di bidang pengelolaan sumberdaya alam, kesetaraan sudah menjadi mantra wajib, terutama dengan konsep “leveling the playing field”, yang sering diasosiasikan dengan demokrasi
Pergeseran paradigma dari government menjadi governance telah banyak mempengaruhi proses kebijakan kehutanan di Indonesia. Pemerintah tidak lagi menjadi satu-satunya aktor yang paling berkuasa atas suatu kebijakan, tetapi tercipta celah bagi aktor non pemerintah atau swasta untuk turut berpartisipasi. Akhir akhir ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau dalam literatur internasional disebut sebagai non-government organisations (NGOs) diindikasikan sebagai salah satu aktor yang paling berpengaruh
Pengelolaan sumberdaya alam sering dicirikan dengan adanya beragam aktor di berbagai aras: lokal, nasional, dan global. Para aktor tersebut bersaing untuk mendapatkan manfaat dari sumberdaya hutan, baik manfaat ekonomi, sosial, budaya, maupun ekologi.
Hal ini disebabkan adanya perbedaan cara pandang para aktor atas suatu sumberdaya. Bagi sebagian aktor, hutan/ lahan sering dipadang sebagai komoditas ekonomi untuk menghasilkan laba melalui akumulasi modal atau untuk produksi sumber daya atau produk
SUSTAIN-KPH ini merupakan proyek penelitian kerjasama antara Sebijak Institute Fakultas Kehutanan UGM dengan Center for International Forestry Research (CIFOR) dan Balai KPH Yogyakarta.
Penelitian ini merupakan bagian dari Objective 4 (Policy and institutional aspects) Proyek Penelitian Kanoppi 2 “Developing and promoting market-based agroforestry options and integrated landscape management for smallholder forestry in Indonesia” yang didanai oleh Australian Centre for International Agriculture
ProdJus merupakan penelitian kolaborasi antara Universitas Gadjah Mada (Indonesia) dengan University of East Anglia (UK), Kwame Nkrumah University of Science and Technology (Ghana), dan Vietnam Academy of Social Sciences.
Penelitian ini mendapatkan dukungan pendanaan dari Europe and Global Challenges Initiative dari Riksbankens Jubileumsfond bekerjasama dengan The Wellcome Trust dan VolkswagenStiftung.
Dalam penelitian ini, Prof. Dr. Ahmad Maryudi (Sebijak Institute, Fakultas Kehutanan UGM) berperan