Andita Aulia Pratama – Sebijak Institute
Bertepatan dengan hari ulang tahun Republik Indonesia ke-74, tanggal 17 Agustus 2019 lalu rupanya juga merupakan hari ulang tahun Fakultas Kehutanan UGM yang ke-56. Sudah lebih dari 5 dekade pula, Fakultas Kehutanan menjadi pencetak generasi rimbawan sang pengelola hutan Indonesia. Menarik untuk mencermati bagaimana kiprah para rimbawan bulaksumur selama 56 tahun tersebut hingga kini.
Timber Extraction dan Timber Management Era
Terbitnya Undang-Undang No.5 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Kehutanan menandai mulainya era pengusahaan hutan dengan pengeksploitasi kayu baik di Jawa maupun di luar Jawa. Eksploitasi kayu dari hutan saat itu dipandang sebagai jalan pintas tercepat sebagai penopang ekonomi untuk membangun negara yang relatif masih baru berdiri. Didirikannya Perhutani di tahun 1972 dan dibukanya keran produksi kayu dari hutan alam di luar jawa menandakan dimulainya ‘era kejayaan’ sektor kehutanan pada saat itu. Dari tahun 1960an-1970an, Indonesia kemudian tercatat sebagai negara pengekspor kayu tropis terbesar di dunia. Berbagai inovasi pengelolaan hutan yang bersifat teknis seperti pemuliaan tanaman, berbagai macam sistem silvikultur dan sistem penebangan dengan mempertimbangkan etat saat itu banyak diterapkan untuk memastikan kelestarian produktivitas kayu dari hutan.
Sektor kehutanan pada era tersebut, setidaknya hingga akhir era orde baru tercatat sebagai sektor yang disegani sebagai penyumbang devisa negara yang paling potensial dari produksi kayunya. Disisi lain potensi hutan di Indonesia sangat besar, tidak hanya dari produktivitas kayunya, tetapi juga dari kawasan hutan Indonesia yang tercatat seluas hingga 120.6 juta hektar (lebih dari 70% dari luas terestrial Indonesia sekitar 160 juta hektar). Hingga kita tidak jarang mendengar departemen kehutanan menjadi tuan tanah di Indonesia.
Era sekarang: Complex Era of Indonesia Forest Management?
Era terkini diwarnai dengan isu mengenai berkurangnya kualitas hutan dan lingkungan di Indonesia. Sebagai contoh yang tercatat oleh data kementrian kehutanan tahun 2012 bahwa luasan hutan alam yang terus menurun secara signifikan dan luasan konsesi hutan tanaman industri yang cenderung stagnan. Di sisi lain tercatat pula tutupan lahan hutan di Indonesia rupanya hanya 71.4% dari total 120.6 juta hektar berdasar data dari kementrian LHK tahun 2018. Sementara itu global forest watch juga mencatat tutupan lahan yang hilang semenjak 2001 hingga 2018 adalah sebesar 25.6 juta hektar. Lalu tidak kalah serunya adalah isu mengenai lahan perkebunan sawit di dalam kawasan hutan yang tercatat seluas 3 juta hektar yang juga ditengarai menjadi polemik.
Isu mengenai kemiskinan di sekitar hutan juga tidak jarang mengemuka. Persoalan mengenai hak dan akses masyarakat terhadap hutan tidak jarang menjadi perdebatan panas baik para akademisi maupun praktisi kehutanan. Tidak jarang pula persoalan ini kemudian menjadi kambing hitam degradasi hutan yang terjadi di Jawa.
Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi tersebut, tentunya bukan dosa rimbawan yang telah gagal dalam menerapkan ilmu kehutanan yang tepat dalam mengelola hutan. Deforestasi dan degradasi hutan nampaknya perlu dimaknai sebagai suatu permasalahan yang perlu diselesaikan secara multi-disiplin. Keilmuan kehutanan, secara spesifik pengelolaan kayu apabila berdiri sendiri agaknya akan kesulitan untuk dapat memahami bagaimana kompleksitas degradasi dan deforestasi yang terjadi. Sebagai contoh, illegal logging tentunya bukanlah permasalahan yang muncul karena tindakan silvikultur atau penentuan etat tebang yang tepat. Diperlukan kajian ilmiah yang menyeluruh untuk mendapatkan pemahaman dan solusi mengenai illegal logging tersebut.
Di tingkat internasional, setidaknya saat ini setahun sekali para pemimpin dunia berkumpul di acara megah COP membahas bagaimana kelestarian lingkungan dan hutan. Isu mengenai karbon, sertifikasi hutan dan pengelolaan hutan yang lestari dan inklusif, serta isu-isu teknologi ramah lingkungan juga menjadi bahasan menarik di tingkat internasional tersebut. Dimensi pengelolaan hutan saat ini kemudian semakin meluas tidak sekedar pemenuhan permintaan kayu belaka. Secara klaim penguasaan, hutan tidak lagi dipandang dalam ranah nasional, tetapi juga dipandang sebagai global property dan bahkan traditional property. Tidak bisa dipungkiri, pengaruh internasional serta permintaan dari masyarakat lokal dan adat dalam pengelolaan hutan kemudian menjadi isu yang harus dipertimbangkan.
Refleksi pengelolaan hutan untuk masa depan
Secara singkat, telah digambarkan bagaimana semakin kompleksnya pengelolaan hutan di Indonesia. Di masa produksi kayu, rimbawan bulaksumur banyak melahirkan begawan-begawan kehutanan yang berkontribusi luar biasa di sektor kehutanan. Tidak terlupa, presiden Indonesia yang juga merupakan seorang rimbawan bulaksumur. Sektor kehutanan di era lalu ditandai dengan luar biasanya potensi kayu Indonesia. Lalu bagaimana dengan saat ini? Apakah mengembalikan kejayaan hutan artinya kembali menjadi pengekspor utama dari kayu global? Perlu kita maknai lagi bersama-sama tujuan utama dalam pengelolaan hutan tersebut.
Mencermati hal tersebut, penulis merasa pendekatan keilmuan yang ditanamkan dari universitas tidak lagi cukup hanya sekedar mengelola kayu saja. Permasalahan degradasi hutan, deforestasi hutan, pembalakan liar hingga global warming menempatkan hutan sebagai sektor yang strategis sekaligus dilematis. Realitanya, hutan dengan berbagai macam potensi dan fungsinya kini tersandera berbagai kepentingan.
Untuk menghadapi kompleksitas pengelolaan hutan di era sekarang, rimbawan di masa mendatang hendaknya tidak sekedar memahami bagaimana cara memproduksi kayu dengan keuntungan sebanyak-banyaknya. Sudah banyak pengingat, bahwa saat ini hutan saat ini mulai bergeser dari cash-earner menjadi cost-center, contohnya kegiatan yang saat ini lebih popular ketimbang produksi kayu adalah rehabilitasi hutan dan lahan serta restorasi gambut. Tidak jarang pula, kegiatan pengelolaan dan pembangunan hutan dan masyarakat sekitarnya saat ini banyak disupport pihak luar negeri dengan berbagai dinamikanya.
Berdasarkan fenomena tersebut, penulis merasa ilmu kehutanan adalah keilmuan yang unik dan juga menantang. Kehutanan tidak bisa serta merta dikelompokkan sebagai natural science/ ilmu eksakta. Ilmu kehutanan tidak sekedar menentukan etat, meningkatkan riap dan menciptakan spesies pohon unggul. Pendekatan social science dirasa sangat relevan dan perlu menjadi pertimbangan penting dalam mengelola hutan. Mau tidak mau kita juga perlu belajar mengenai masyarakat, politik, hukum, serta isu-isu diplomasi internasional karena multi-dimensitas hutan.
Perlu menjadi refleksi, setelah 56 angkatan rimbawan, apakah rimbawan bulaksumur menyadari bahwa ilmu kehutanan menjadi ilmu yang semakin sensitif? Bahwa kini hutan tidak hanya milik para rimbawan saja. Perlu menjadi refleksi pula, bahwa mengelola hutan kini tidak bisa sekedar mengelola produk hutan yang ada di dalam hutan, tetapi juga dimensi-dimensi lain yang terkait dengan hutan.
Tidak kalah menarik untuk dijadikan refleksi, apakah rimbawan saat ini sudah menjadi generasi 4.0 yang katanya melek dengan teknologi? Apakah padepokan rimbawan bulaksumur telah membekali calon rimbawan masa depan dengan skill yang relevan dan growth mindset yang tepat? Atau jangan-jangan kita masih terjebak pada era 0.1?