oleh: Diah Suradiredja (Senior Advisor SPOSI KEHATI)
Tulisan ini disusun sebagai bahan update ke publik dan Pemerintah Indonesia tentang isu bagaimana sisi permintaan dunia terutama Uni Eropa (UE), terhadap komoditi-komoditi strategis Indonesia yang diekspor. Pemahaman tentang langkah-langkah kebijakan UE terbaru, diperlukan untuk dapat mengantisipasi dampak yang akan diterima oleh producer countries, terutama tentang langkah-langkah pengaturan sisi permintaan (demand side) yang ada di Eropa (Uni Eropa/UE dan Norwegia, Swiss dan Inggris), yang secara langsung menargetkan pengaturan barang barang impor yang bebas deforestasi (imported deforestation[1]).
Langkah regulasi sisi permintaan pertama di Eropa yang secara khusus menangani imported deforestation sudah diusulkan oleh Komisi Eropa (dipimpin oleh Direktorat Jenderal Lingkungan) pada paruh kedua tahun 2021. Dimana pada saat yang sama RUU Lingkungan Inggris pada tahun 2021 sudah disampaikan ke Parlemen, juga mencakup ketentuan khusus untuk uji tuntas perusahaan pada komoditas yang berisiko terhadap hutan.
Indonesia Sebagai Producer Country.
Sebelum jauh melihat langkah langkah regulasi UE, hal yang harus kita catat UE yang terdiri dari 27 negara dengan total populasi 517 juta jiwa, memiliki posisi strategis dalam memasarkan produk asal Indonesia. Data yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada awal tahun 2019 menyebutkan bahwa UE merupakan mitra dagang terbesar ketiga Indonesia setelah negara-negara kawasan Asia Tenggara (ASEAN) dan Republik Rakyat Tiongkok. Pada tahun 2021, meski dalam kondisi pandemi Covid-19, nilai ekspor Indonesia ke Uni Eropa melonjak 26 persen hingga mencapai 16,5 miliar euro. Lonjakan itu, antara lain, didorong kenaikan harga komoditas, seperti sawit. Ekspor sawit ke negara-negara Uni Eropa tumbuh 9 persen.
Menurut data yang dipublikasikan oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia, Indonesia menempati peringkat ke-22 dalam hal pemasok bahan pangan untuk skala global, dengan persentasi marketshare ekspor sebesar 1,05% atau senilai US$ 6,48 miliyar. Jenis produk atau makanan dari Indonesia yang banyak diminati pasar global adalah produk tembakau (rokok), produk-produk ikan tuna, udang, produk kopi, makanan siap saji, kepiting, makanan ringan (waffle dan wafer), pasta, biskuit manis, serta produk olahan rumput laut dan tumbuhan alga lainnya.
Sementara untuk pasar Uni Eropa sendiri, produk-produk makanan dari Indonesia paling banyak dipasarkan di Belanda (US$ 34,84 juta), Italia (US$ 26,74 juta), Jerman (US$ 26,32 juta), Belgia (US$ 24,92 juta), Inggris (US$ 21,11 juta), Federasi Russia (US$ 17,98 juta), Spanyol (US$ 11,95 juta), Perancis (US$ 6,60 juta), Turki (US$ 5,91 juta), dan Portugal (US$ 5,86 juta). Produk makanan Indonesia yang paling diminati pasar Uni Eropa adalah olahan tuna, tembakau, olahan nanas, produk kelapa, udang, makanan siap saji, rokok, pengental makanan dari olahan sayur, dan teh hitam.
Bagaimana situasi regulasi UE yang berdampak ke Indonesia?
Setahun lalu, Proposal Komisi UE terkait ukuran regulasi sisi permintaan (demand side) adalah untuk “meminimalkan penempatan produk yang terkait dengan deforestasi di pasar UE”. Proposal tersebut mendapat perhatian dari para pembuat keputusan dan pemangku kepentingan utama lainnya di UE. Hal ini disebabkan oleh tingkat ambisi yang diharapkan; relevansi UE sebagai importir komoditas berisiko hutan terbesar kedua; dan luasnya penerapannya (seluruh pasar UE) – terutama dalam konteks sejumlah proposal undang-undang uji tuntas yang sedang disiapkan.
Komisi UE menerbitkan proposal untuk peraturan pada 17 November 2021. Proposal ini memberi justifikasi bahwa pendorong utama deforestasi dan degradasi hutan global adalah perluasan lahan pertanian, yang terkait dengan produksi komoditas pangan. Sebagai konsumen utama komoditas tersebut, UE dapat mengurangi dampaknya terhadap deforestasi global dan degradasi hutan dengan mengadopsi aturan baru untuk mengatur masuknya ke pasar UE dan ekspor komoditas ini dari UE dengan cara yang memastikan produk dan rantai pasokan ‘bebas deforestasi.
Pada tanggal 28 Juni 2022, Council of the EU mengeluarkan release tentang persetujuan Dewan terkait aturan baru untuk menurunkan deforestasi dan degradasi hutan secara global. Dewan UE menyatakan akan mengadopsi posisi negosiasinya (pendekatan umum) pada proposal untuk membatasi konsumsi produk yang berkontribusi terhadap deforestasi atau degradasi hutan.
Dewan akan memastikan bahwa produk yang mereka konsumsi di rumah tidak berkontribusi pada menipisnya cadangan hutan planet ini. Teks inovatif yang telah mereka adopsi akan memungkinkan untuk memerangi deforestasi, tidak hanya di dalam Uni Eropa tetapi juga di luar Uni Eropa. Dewan menyatakan bahwa ini adalah langkah maju yang besar yang juga menggambarkan ambisi UE untuk iklim dan keanekaragaman hayati.
Ada sejumlah tindakan regulasi UE yang ada dan yang diusulkan yang dapat berdampak pada imported deforestation, atau Indonesia sebagai Negara produsen diantaranya:
- Undang-undang energi/lingkungan terbarukan (renewable energy/environment legislation), seperti Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive) II yang menghapuskan biofuel perubahan penggunaan lahan berdampak tinggi (seperti minyak sawit) pada tahun 2030
- Uji tuntas wajib (Mandatory Due Diligence). Misalnya, Undang-undang Kewaspadaan Prancis tetap menjadi satu-satunya peraturan operasional yang mencakup uji tuntas risiko deforestasi komoditas hutan di bawah kewenangannya yang luas
- Pelaporan dan pengungkapan wajib (Mandatory Reporting And Disclosure). Misalnya, Pasal 29 Prancis akan mewajibkan lembaga keuangan untuk mengungkapkan risiko keanekaragaman hayati;
Terdapat juga langkah-langkah non-regulasi mencakup pendekatan sukarela, seperti:
- Pelaporan dan Pengungkapan (Reporting And Disclosure). Misalnya, Gugus Tugas untuk Pengungkapan Terkait Alam (Task Force for Nature Related Disclosures) – inisiatif yang dipimpin pasar yang akan mengembangkan kerangka kerja bagi keuangan dan perusahaan untuk melaporkan risiko terkait alam
- Standar dan Label (Standards And Labels). Misalnya, Label Donau Soja dan Eropa Soya; persetujuan skema sertifikasi sukarela sebagai memenuhi kriteria (misalnya pelabelan biofuel, Arahan Energi Terbarukan UE)
- Transparansi (transparency). Misalnya, Platform di seluruh UE (titik akses tunggal Eropa) untuk memberi investor akses tanpa batas ke informasi perusahaan terkait keuangan dan keberlanjutan di bawah Rencana Aksi Pasar Modal UE
- Dialog Pemangku Kepentingan (Stakeholder Dialogues), Misalnya, Amsterdam Declaration Partnership (ADP); COP 26 mengadakan dialog Forestry, Agriculture and Commodities Trade (FACT)
- Perjanjian Perdagangan (Trade Agreements), Misalnya, berdasarkan perjanjian perdagangan bebas Indonesia – EFTA, Swiss memberikan pengurangan tarif untuk kuota impor minyak sawit jika memenuhi kriteria keberlanjutan (kemungkinan dijamin melalui sertifikasi)
- Kriteria pengadaan publik hijau (Green Public Procurement Criteria). Misalnya, Undang-undang Iklim dan Ketahanan Prancis yang diusulkan mencakup pilihan vegetarian wajib dan kriteria pengadaan publik yang mengurangi permintaan pakan dan mendorong sumber lokal; Pedoman kriteria
Apa saja komoditas ekspor dari Indonesia yang berpotensi terkena dampak dari langkah-langkah UE mencegah imported deforestation di atas? Jawabannya ada pada empat cakupan regulasi dari sisi permintaan:
- Komoditas yang dicakup: Kedelai, minyak sawit, kayu, daging sapi, kakao, dan kopi & beberapa produk turunan (misalnya kulit, cokelat, furnitur)-dasar: penilaian dampak produk mana yang benar-benar berkontribusi terhadap deforestasi
- Tidak ada diskriminasi: Berlaku sama untuk produk yang diproduksi di UE dan diimpor dari luar negara negara anggota UE
- Cakupan progresif: Produk yang dicakup akan diperluas seiring waktu
- ‘Tanggal batas (cut-off date)’ 31 Desember 2020: Tidak ada komoditas yang diizinkan memasuki pasar UE jika diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi setelah tanggal tersebut. Hal ini sejalan dengan komitmen SDG
Di tingkat negara yang berisiko terfragmentasi, harus jeli melihat cakupan tersebut karena jarangnya undang-undang konkrit terkait lingkungan muncul di tingkat UE. Tampaknya mereka belajar dari kegagalan perusahaan dan pemerintah untuk memenuhi komitmen deforestasi sukarela hingga saat ini, sehingga mendorong ambisi berlebih dari UE. Bahkan dari Koalisi Eropa untuk Keadilan Perusahaan (European Coalition for Corporate Justice – ECCJ)[2], mencatat bahwa hanya proposal dalam RUU Lingkungan Inggris yang secara khusus berfokus pada komoditas berisiko hilangnya hutan dengan mayoritas berfokus pada hak asasi manusia dan/atau kerusakan lingkungan secara lebih luas. Sementara Undang-Undang Kewaspadaan Prancis tetap menjadi satu-satunya peraturan operasional yang berpotensi mencakup uji tuntas risiko deforestasi komoditas hutan, tetapi hanya dalam keadaan terbatas dan hanya untuk kategori terbatas pelaku korporasi
Key Takeaways
Dari catatan tentang perkembangan regulasi EU, yang dilihat dari sisi permintaan (Demand Side Mesurement), beberapa kunci yang harus dipikirkan Pemerintah Indonesia sebagai langkah mitigasi resiko atau strategi untuk melindungi komoditi-komoditi yang diproduksi petani yang berorientasi ekspor adalah:
- Regulasi yang dibangun EU bertujuan untuk meningkatkan perdagangan produk dari rantai pasokan “bebas deforestasi (free deforestation)”, akan menciptakan standar-standar baru yang memberatkan dunia usaha. Yang harus dipikirkan Pemerintah Indonesia adalah…
- Definisi terkait “free deforestation” harus menjadi kesepakatan bersama antara EU dengan Indonesia dengan cut-off date yang disepakati
- Kepemilikan Sistem Ketelusuran Rantai Pasok, harus berada di Indonesia berupa platform lintas sector dengan memastikan komoditi strategis yang berorientasi ekspor
- UE akan memastikan dampak yang sama pada pemasok dan rantai pasokan di UE dan di negara-negara mitra. Apa posisi Indonesia dan apa yang harus disiapkan sebagai Negara Produsen? Fairness adalah kuncinya, karena itu pendekatan yuridiksi dan landsekap menjadi pendekatan yang sedang dikembangkan.
- Peraturan UE didasarkan pada prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan dasar ilmiah dan metodologis yang kuat.Bagaimana prinsip-prinsip ini bisa di adopt di regulasi Indonesia? Hal ini akan berkaitan dengan maraknya pasar sertifikasi untuk produk-produk yang di ekspor dan penuhan kriteria keberlanjutan dan ketelusuran rantai pasok.
Sources and Links:
- European Commission, Proposal for a Directive of the European Parliament of the Council on Corporate Sustainability Due Diligence and amending Directive (EU) 2019/1937, COM(2022) 71 final, available here.
- European Commission, Communication from the Commission to the European Parliament, the Council and the European Economic and Social Committee on decent work worldwide for a global just transition and a sustainable recovery, COM(2022) 66 final
- Council of the EU Press release 28 June 2022
- Walker, N., Patel, S., Davies, F., Milledge.S., Hulse, J.Walker. 2013. Demand-side interventions to reduce deforestation and forest degradation. IIED
- Bager, S.L, Persson, U.M, dos Reis, T.2021. Eighty-six EU policy options for reducing imported deforestation. One Earth.
[1] Proposal EC akan berlaku untuk setiap barang yang ditempatkan di pasar UE (diimpor atau lainnya).
[2] European Coalition for Corporate Justice (ECCJ) adalah jaringan sosial kemasyarakatan yang bertujuan untuk transparansi dan akuntabiliti perusahaan terutama dari segi HAM untuk pekerja korban perusahaan dan lingkungan untuk supply chain. Mereka bekerja dengan penentu keputusan dan hukum di Eropa. Beranggotakan 480 NGO, kamar dagang dan universitas.