Oleh: Dr. Soewarso (Rimbawan Praktisi APP Sinar Mas)
Memasuki minggu ketiga bulan Maret 2021, patroli polisi hutan maupun petugas keamanan di setiap kawasan hutan semakin ditingkatkan. Demikian pula masyarakat yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Api (MPA). Termasuk seluruh jajaran staf perusahaan kehutanan dan perkebunan. Sasarannya jelas. Memantau potensi kebakaran hutan dan lahan di berbagai kawasan. Termasuk memantau setiap titik panas (hotspot) yang tampak di sistem monitoring berbasis digital. Baik melalui pengamatan citra landsat secara real time maupun pantauan menara api yang tersebar di segenap areal hutan.
Ya, musim kemarau adalah saatnya meningkatkan intensitas pemantauan keberadaan dan perkembangan titik-titik panas. Tujuannya agar dapat dikontrol sehingga tidak berkembang menjadi titik api. Apalagi kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Di semua jenis kawasan dan tipe ekosistem hutan. Tak terkecuali di ekosistem hutan tropis lahan basah. Baik hutan mangrove (mangrove forest) maupun hutan rawa (freshwater swamp forest). Tak terkecuali formasi hutan rawa gambut (peat swamp forest).
Dinamika Ekologi dan Perubahan Sosial
Hutan rawa gambut sendiri merupakan bagian kekayaan ekosistem unik hutan tropis dengan karakteristik biofisik yang khas. Tersebab terbentuk dari tutupan bahan organik selama ribuan bahkan jutaan tahun dengan fungsi menyimpan air dan karbon. Gambut memiliki karakteristik seperti spons yang memiliki kandungan air 13x lebih besar dari bobotnya. Secara ekologi sangat penting karena berfungsi sebagai pengatur hidrologi bagi keberlanjutan siklus air. Termasuk berperan dalam pencegahan sekaligus penanganan perubahan iklim global melalui penyerapan dan penyimpanan karbon.
Ekosistem hunian rawa gambut di Indonesia seluas 14,9 juta ha merupakan yang terluas ke 4 di dunia setelah Cina, Rusia dan Kanada. Secara alami kondisi ekosistemnya relatif rentan (fragile) terhadap ancaman karhutla. Terutama apabila abai terhadap prinsip kelola tata air yang baik. Kebakaran hutan rawa gambut berdampak signifikan terhadap pelepasan karbon dan pencemaran udara. Sudah pasti meningkatkan GRK mapun gejala sekaligus dampak perubahan iklim.
Selain kondisi biofisik sebagai bagian dari dinamika ekologi, hutan rawa gambut juga terkait erat dengan aspek sosial ekonomi komunitas. Komunitas hutan rawa gambut merupakan entitas sosial yang dinamis, hidup dan berkembang. Dipengaruhi akumulasi dan kontinuitas resultante interaksi berbagai faktor sosial, ekonomi, budaya dan lingkungan yang bersifat kompleks. Aktivitas masyarakatnya merefleksikan sistem sosial budaya yang menjelma menjadi adat dan tradisi kuat. Dari aspek demografi tercermin dari pertambahan populasi masyarakat lokal dan migrasi warga pendatang. Sementara dari aspek ekonomi dipengaruhi kebijakan serta praktek pemanfaatan sekaligus pengusahaan hutan rawa gambut berbasis HPH sejak dekade 1970-an. Disusul perkembangan usaha berbasis lahan di kawasan yang sama. Terutama kebun sawit sebagai primadona. Ada pula pengaruh aspek kultural, berupa interaksi dengan berbagai komunitas sehingga menghasilkan akulturasi. Termasuk aspek sosial dalam wujud modernisasi pasca pesatnya perkembangan teknologi informasi dan arus deras globalisasi. Terakhir aspek politik, tercermin dari dinamika reformasi, desentralisasi / otonomi daerah serta devolusi desa dan masyarakat.
Resultante dinamika lingkungan dan sosial ekonomi menghasilkan perubahan sosial masyarakat. Beberapa fenomena yang dominan antara lain meningkatnya kompetisi penguasaan dan kelola hutan untuk berbagai kepentingan. Meningkat pula gejala komersialisasi aktivitas subsistensi pemungutan kayu, HHBK hingga jual beli lahan. Seluruhnya bermuara pada perubahan pola pemanfaatan hutan dan lahan dalam skala luas/ massif. Sebagian besar untuk pengembangan kebun tanaman keras berorientasi produk/komoditas pasar. Karenanya terjadi proses rasionalisasi dan modernisasi praktek – praktek ritual/ tradisi warga masyarakat lokal. Di sisi lain, terjadi disorientasi kelembagaan masyarakat dan melemahnya aturan-aturan adat yang antara lain berdampak terhadap pergeseran nilai kolektivitas sistem sosial kemasyarakatan menuju nilai individualitas.
Hutan rawa gambut dikepung pesatnya dinamika dan perubahan. Mulai dari perubahan ekologi hutan rawa gambut yang berdampak terhadap fungsi lingkungannnya. Disusul kerusakan hutan rawa gambut juga menurunkan potensi sosial ekonominya. Terakhir, perubahan sosial budaya masyarakat juga merubah pula pola mata pencaharian. Termasuk berdampak terhadap tingkat kesadaran lingkungan masyarakat. Bagaimanapun, resultante ketiga faktor di atas telah menurunkan tingkat pendapatan warga masyarakat. Pada akhirnya meningkatkan kemiskinan desa hutan.
Kemiskinan menjadi pintu masuk kerusakan lingkungan. Itu sudah menjadi adagium yang diyakini kebenarannya. Kemiskinan desa hutan sangat potensial menjadi ancaman nyata karhutla. Setiap tahun di musim kemarau. Karhutla yang tak terkendali dan berkembang massif dipastikan akan berakibat fatal. Setidaknya terdapat empat dampak langsung dan nyata. Mulai dari penurunan fungsi lingkungan dan kehilangan keanekaragaman hayati, timbulnya gangguan kesehatan warga dan proses pendidikan siswa, dan sudah pasti mengakibatkan kerugian sosial ekonomi. Termasuk menurunkan reputasi dan kredibilitas negara (baca : Pemerintah RI) di tingkat global. Karena itu, sangat diperlukan strategi pencegahan karhutla yang tepat, operasional di lapangan. Harapannya memberikan dampak pencegahan karhutla yang bersifat permanen.
Desa Makmur Kunci Peduli Api
Kejadian karhutla besar sejak tahun 1983/1984, 1987/1988, 1997/1998 dan tahun 2015 memberikan pelajaran berharga kepada seluruh stakeholders akan pentingnya pencegahan. Termasuk dalam konteks kebakaran hutan rawa gambut.
Dilandasi komitmen peningkatan kapasitas warga melalui pemberdayaan dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat desa hutan lahirlah Program Desa Makmur Peduli Api (DMPA). Program tersebut sekaligus dipayungi Kebijakan Konservasi Hutan (Forest Conservation Policy). Diimplementasikan sejak akhir tahun 2015 melalui peran aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari serta menjalankan roda ekonomi berkelanjutan dan bertanggung jawab. Program DMPA juga merupakan perbaikan berbagai program pemberdayaan masyarakat (community development) sebelumnya.
Kunci keberhasilan kegiatan di lapangan sangat tergantung pada kriteria Program DMPA. Terdapat tiga pendekatan dalam penetapan lokasi program. Pertama, desa yang berada di dalam konsesi dan atau di luar konsesi berjarak paling jauh tiga km. Kedua, masyarakat desa tersebut memiliki interaksi yang erat dengan sumber daya hutan dalam konsesi. Ketiga, pernah terjadi kebakaran lahan dan hutan di desa tersebut dalam tiga tahun terakhir.
Maka, mulailah dikembangkan desa-desa penerima Program DMPA. Tersebar di lima provinsi di Indonesia. Ditargetkan sebanyak 500 desa. Meliputi Riau (236 Desa), Jambi (88 Desa), Sumatera Selatan (109 Desa), Kalimantan Barat (37 Desa), dan Kalimantan Timur (30 Desa). Dengan total budget senilai USD 10 juta.
Kapanpun dan dimanapun program serta siapapun pelaksana program pembangunan, selalu membutuhkan kecukupan kondisional sebagai prasyaratnya. Karena itu, Program DMPA dibangun berdasarkan enam pilar sebagai pondasi utama. Pertama, pilar sumberdaya penting pendukung penghidupan masyarakat. Kedua, pilar peranserta warga desa dalam perlindungan SDH. Ketiga, pilar pencegahan konflik demi terwujudnya hubungan harmonis para pihak. Keempat, pilar jaminan pendapatan dan pangan warga peserta Program DMPA. Kelima, pilar kemitraan pasar/jaminan pasar atas produk-produk pertanian warga. Terakhir, pilar pencegahan kebakaran yang didukung oleh produktifitas lahan.
Hingga saat ini, total realisasi kucuran dana Program DMPA telah mencapai Rp 53,55 Milyar dengan melibatkan 386 Desa. Seluruhnya melibatkan BUMDes/BUMKam sebanyak 188, Koperasi 9 dan Gapoktan sebanyak 189. Seluruhnya mencakup jumlah penerima manfaat sebanyak 31.418 KK.
Penutup
Ekosistem hutan rawa gambut yang telah mengalami kerusakan sangatlah rentan terhadap ancaman kebakaran. Dalam konteks kebakaran hutan rawa gambut, variabel penting penyebabnya adalah aspek biofisik dan aspek sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan. Menyadari realitas tersebut maka strategi pencegahan karhutla berbasis peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah sebuah keniscayaan. Program Desa Makmur Peduli Api berbasis peningkatan kesejahteraan sekaligus pengentasan kemiskinan merupakan strategi pencegahan kebakaran hutan rawa gambut yang potensial dan memiliki prospek keberhasilan yang tinggi. Disamping pendekatan pengamanan area rawan dan pendekatan rekayasa teknik.
Praktek pertanian adalah urat nadi kehidupan warga desa hutan di seluruh Indonesia. Hal itu sesuai dengan realitas Indonesia sebagai negara agraris. Sebagian besar kehidupan warga desanya ditopang praktek – praktek pertanian maupun usaha berbasis lahan lainnya. Karena itu, pertanian ramah lingkungan yang produktif dan menguntungkan adalah kunci kesejahteraan masyarakat. Sekaligus kelestarian fungsi lingkungan.
Pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB) merupakan salah satu kegiatan DMPA yang paling efektif mencegah kebakaran hutan rawa gambut. Namun diakui praktek tersebut membutuhkan biaya yang relatif tinggi. Karena itu diharapkan menjadi kesadaran seluruh stakeholders secara bersama-sama guna mendukung penerapan praktek pertanian ramah lingkungan tersebut. Walaupun masih dalam skala yang relatif terbatas, kegiatan pertanian berbasis pembukaan lahan tanpa bakar yang digagas Program DMPA telah memberikan hasil nyata. Dengan demikian perlu pengembangan secara lebih terintegrasi serta direplikasi di berbagai wilayah desa hutan dalam skala yang lebih luas.
Pada akhirnya, pasca karhutla tahun 2015, Pemerintah RI di dukung semua stakeholders merubah kebijakan dan aksi pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Dengan paradigma yang lebih mengedepankan pendekatan pencegahan sebagai corrective action. Tentu demi terwujudnya sistem pengendalian karhutla yang efektif, operasional dan permanen.
Saatnya stop karhutla hari ini dan selamanya. Demi keberlanjutan peradaban langit biru lintas generasi. Semoga.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.