Oleh : Ir. Darori, MM. (Anggota Komisi IV DPR RI)
Dunia tengah memperoleh ujian. Rezim kesehatan dan rezim ekonomi yang sejak dulu menyatu dan saling bahu – membahu, kini berada di persimpangan. Bahkan cenderung berseberangan. Adalah pandemi Covid-19. Telah memporak-porandakan perekonomian global. Hingga kuartal kedua tahun 2020 ini pertumbuhan ekonomi dunia telah terjun bebas. Meleset jauh dari proyeksi dan target. Bahkan telah menembus angka minus. Ada yang bahkan mencapai minus 17 persen. Akankah menuju resesi global ?
Indonesia tak bisa menghindar. Perekonomiannya pun tak luput kena hajar. Hingga kuartal kedua tahun yang sama, pertumbuhan ekonomi terjerembab ke angka minus 5,3 persen. Jelas diperlukan langkah-langkah terobosan. Mungkin juga akrobat kebijakan. Selain agar tidak terjerumus makin dalam, juga sebagai upaya penyelamatan sektor riil. Menghindari kian banyaknya kebangkrutan dunia usaha. Mencegah kian merebaknya PHK massal pekerja.
Darurat Kayu Bulat
Atas resultante berbagai faktor dan penyebab, sudah sejak lama kinerja sektor kehutanan terus merosot. Indikasinya jelas. Pengusahaan hutan hulu kian tidak kompetitif. Simak fakta pahitnya. Harga kayu bulat dalam negeri sebesar ± Rp. 1,2 juta per m3. Kurang lebih senilai US$ 85/M3 dengan kurs @USD Rp 14,000. Sementara biaya produksi rata-rata kayu bulat saat ini telah mencapai ± Rp. 1,2 juta /M3, diluar kewajiban PNBP. Ya, indikasinya tekor alias merugi. Tidak mengherankan. Dari 282 unit perusahaan pemegang IUPHHK-HA selaku produsen kayu bulat hutan alam yang beroperasi di seluruh Indonesia, hanya 50 % yang masih bertahan. Potret buram kondisi antara hidup segan mati tak hendak.
Ironisnya, wabah Covid-19 menyebabkan industri pengolahan kayu juga mengalami kondisi yang kurang lebih sama. Kesulitan operasional. Banyak negara-negara Eropa dan Amerika yang menjadi buyer atau konsumen tradisional produk kayu olahan Indonesia kini menerapkan kebijakan lockdown. Kondisi tersebut tentulah menyebabkan berkurang drastis. Bahkan terhentinya permintaan pasokan bahan baku kayu bulat.
Konsekuensi lanjutan atas situasi tersebut menyebabkan stok kayu bulat saat ini banyak menumpuk di lapangan. Bukan hanya puluhan ribu atau ratusan ribu meter kubik. Bahkan kini hampir mencapai 3 juta meter kubik. Bila tidak segera dimanfaatkan, dikhawatirkan stok kayu bulat tersebut akan membusuk atau rusak. Mubazir.
Kondisinya sudah mendekati kritis. Bahkan darurat. Banyak perusahaan pemegang IUPHHK-HA yang sudah tidak beroperasi. Tersebab kesulitan finansial. Karena kayu tak terjual tidak ada penerimaan. Implikasi lanjutannya, banyak pekerja yang sudah tidak digaji selama beberapa bulan terakhir. Bahkan, tidak tertutup peluang kebijakan PHK massal. Sangat memprihatinkan.
Tidak ada pilihan lain. Pemerintah bersama semua pihak harus segera melakukan upaya penyelamatan ekonomi pengusahaan hutan. Mengatasi persoalan darurat kayu bulat dari hutan alam. Dengan menerbitkan kebijakan-kebijakan relaksasi. Berorientasi insentif. Memungkinkan relaksasi sektor pengusahaan hutan. Bukan saja untuk mencegah kebangkrutan perusahaan. Juga mencegah PHK massal. Bila memungkinkan, sekaligus bisa membantu mendongkrak penerimaan negara. Sangat ideal.
Salah satu peluang solusi jangka pendek paling realistis adalah memberikan insentif kepada produsen kayu bulat. Melalui pembukaan keran ekspor logs. Tidak seluruhnya. Namun dengan perbandingan 50 % dari jumlah kayu bulat yang dijual dalam negeri. Hal ini sebagai jaminan keamanan bahan baku bagi industri pengolahan kayu domestik.
Sebagai informasi harga kayu bulat di pasar internasional berkisar US$ 270 per m3. Untuk menambah kontribusi penerimaaan negara, pajak ekspor kayu ditetapkan 25 %. Ini akan menjadi kebijakan yang bersifat win-win solution. Untuk menjaga agar kebijakan ekspor logs tidak bersifat massal, maka ijin ekspor kayu bulat diberikan hanya kepada IUPHHK-HA bersertifikat PHPL/FSC. Dengan masa berlaku yang juga terbatas. Tak lebih hanya selama 1 tahun. Dengan evaluasi ketat setelah 6 bulan penerapannya.
Dengan kebijakan tersebut diharapkan kinerja produsen kayu bulat di hulu bisa kembali terangkat. Dengan tetap menjamin ketersediaan bahan baku industri pengolahan kayu di hilir. Sekaligus akan memberikan sumbangan penerimaaan kepada negara. Pada akhirnya kembali membuka peluang usaha dan mencegah terjadinya PHK massal tenaga kerja.
Fungsi Asosiasi
Secara konseptual, untuk membangun efektivitas dalam mewujudkan kepentingan para individu pengusaha, dibentuklah asosiasi. Hal ini sesuai makna kata asosiasi. Wadah berhimpunnya beberapa individu yang memiliki kepentingan dan tujuan yang sama dalam sebuah ikatan kelembagaan. Wajar. Para pelaku usaha di setiap sektor usaha selalu membentuk wadah bersama. Asosiasi.
Beberapa asosiasi sejenis bahkan membentuk lembaga yang lebih besar. Dalam konteks Indonesia, wadah dunia usaha nasional disatukan dalam organisasi yang disebut dengan Kadin Indonesia. Wadah berhimpunnya berbagai asosiasi usaha. Yang diakui sebagai satu-satunya mitra Pemerintah.
Para pengusaha pemegang IUPHHK-HA juga memiliki wadah berhimpun. Bernama Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI). Selain perusahaan pemegang IUPHHK-HA, juga bergabung para pengusaha pemegang IUPHHK-HT (Hutan Tanaman). Berdiri sejak 21 November 1983, APHI memiliki berbagai catatan kinerja dan prestasi. Jatuh bangun dalam memperjuangkan kepentingan dan kemajuan usaha anggotanya.
Persoalannya, ditengah situasi kritis dan genting hari ini eksistensi dan fungsi APHI mendapat banyak sorotan. Ditengah situasi darurat yang mengancam kelangsungan anggotanya, APHI bahkan memperoleh berbagai gugatan. Terkait upaya konkrit dan langkah nyata dalam menyelamatkan nasib sekaligus masa depan anggotanya. Khususnya para perusahaan pemegang IUPHHK-HA.
Lagi – lagi, ditengah situasi krisis hari ini banyak pihak yang menilai asosiasi kurang pro aktif dalam memperjuangkan kebijakan. APHI terkesan lamban dalam upaya memperpanjang napas anggotanya. Tidak sedikit anggota yang menginginkan gebrakan asosiasi. Lebih berani mengambil langkah-langkah terobosan untuk memecah kebekuan. Road show ke Kadin Indonesia, lobby – lobby Kementerian dan lembaga pemerintah. Bahkan melakukan audiensi ke parlemen. ke Komisi IV DPR RI. Untuk menyampaikan upaya-upaya yang diperlukan bagi penyelamatan sektor pengusahaan hutan alam yang menjadi sumber kehidupan dan penghidupan para perusahaan pemegang IUPHHK-HA anggotanya. Tak terkecuali perjuangan pembukaan keran ekspor kayu bulat.
Yang kini terjadi, banyak pemilik perusahaan IUPHHK-HA yang maju sendiri-sendiri. Melakukan inisiatif individu dan perorangan. Situasinya ibarat anak ayam kehilangan induknya. Sementara asosiasi dinilai kurang atau tidak menunjukkan upaya-upaya yang jelas dan konkrit. Memang ada informasi pilihan langkah yang diupayakan. Salah satunya bekerja dalam senyap. Bersifat “silent operation”. Tidak gaduh. Agar tidak kontraproduktif. Namun, pilihan sikap itu juga memiliki kelemahan. Selain daya juangnya yang kurang berdampak, juga membutuhkan waktu yang lama. Tersebab tidak ada tekanan yang konstruktif dari asosiasi.
Saya pribadi telah beberapa kali bertemu dan berdiskusi secara langsung dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Bu Siti sangatlah rasional. Dengan memahami situasi dan kondisi genting saat ini, Bu Siti setuju dilakukan upaya solusi darurat jangka pendek. Menyetujui kebijakan pembukaan keran ekspor kayu bulat. Namun, mengingat issue ekspor logs relatif sensitif, Bu Siti mengharapkan kerjasama dan dukungan kuat dan solid para pihak. Terutama dari pihak yang langsung berkepentingan. Secara implisit dan eksplisit, Bu Menteri menyayangkan tidak cukup dukungan dari para pihak untuk bisa mewujudkan upaya tersebut.
Apa hendak dikata. Ditengah mendesaknya penerbitan kebijakan pembukaan keran ekspor logs bagi upaya penyelamatan jangka pendek, perusahaan IUPHHK-HA seperti tengah “menunggu godot”. Bukan hanya kecewa. Namun sudah frustasi. Jangankan upaya konkrit, bahkan gaung perjuangannya saja nyaris tak terdengar. Saya pribadi sungguh kecewa dengan situasi saat ini. Bagaimanapun banyak sekali perusahaan pemegang IUPHHK-HA yang menyampaikan kondisi krisis dan harapan akan kebijakan yang benar-benar akan menyelamatkan usaha mereka. Termasuk harapan akan peran asosiasi yang lebih nyata bagi masa depan kinerja pengusahaan hutan alam.
Ya, sebagai wakil rakyat dari Dapil Jawa Tengah VII yang mewakili rakyat dari Kabupaten Kebumen, Banjarnegara, dan Purbalingga sesungguhnya tidak ada kaitan langsung dengan sektor pengusahaan hutan tropis. Namun sebagai rimbawan yang telah menghabiskan hampir seluruh masa pengabdian sebagai aparat sipil negara, dan kini ditugaskan Partai Gerindra bekerja di Komisi IV DPR, secara pribadi Saya memiliki komitmen untuk selalu membantu memperjuangkan kepentingan kemajuan sektor kehutanan.
Sebagai rimbawan sekaligus politisi, satu hal yang selalu saya yakin menjelma menjadi hukum besi organisasi. Apapun itu, sebuah lembaga atau organisasi –pemerintah, bisnis, atau sosial- akan ditinggalkan konstituennya. Cepat atau lambat. Bila lembaga itu tak lagi sensitif dengan kepentingan sang konstituen. Pemilik suara mayoritas.
Apalagi sampai terjadi alineasi hubungan elite dengan konstituen yang tak lain adalah anak-anak kandungnya sendiri. Perjuangan mewujudkan kebijakan pembukaan keran ekspor logs ini akan menjadi catatan sejarah yang selalu melekat dalam benak dan sanubari IUPHHK-HA anggota APHI. Wallahualam.***
Tulisan merupakan pandangan pribadi, tidak merepresentasi posisi Sebijak Institute***