Oleh : Yudo E B Istoto – Senior Expert Partner Wana Aksara Institute
Tujuan kebijakan multiusaha kehutanan sudah teramat jelas. Tidak lain adalah mengoptimalkan kawasan hutan lindung dan hutan produksi untuk memperoleh manfaat yang lebih optimal dan berkelanjutan. Visi besarnya adalah terbangunnya jalan menuju transformasi kehutanan yang lebih maju, hutan lestari dan masyarakat sejahtera melalui penciptaan lingkungan yang menumbuhkan daya saing dari setiap aktor kehutanan. Bagi para pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) hanya tersedia beberapa pilihan jalan. Cepat namun mahal dan tidak aman; lambat murah tetapi tidak aman; dan sedikit lebih cepat, agak mahal tapi aman atau di luar ketiga pilihan tersebut yaitu tunggu lihat situasi, tetapi tak tentu waktu.
Sementara ini baru tercatat sekitar 14 PBPH yang mengajukan proposal multiusaha dari keseluruhan 567 PBPH yang ada (Dirjen PHL,2022). Pertanyaannya, apakah ke 14 PBPH tersebut dapat dianggap mampu memanfaatkan peluang berinvestasi di bidang multiusaha sementara yang lain belum mampu, atau sebagian besar terpaksa mengambil jalan berliku untuk sampai tujuan, sehingga waktunya sangat lama. Makna di balik semua pertanyaan itu adalah lingkungan kebijakan seperti apakah yang perlu dipersiapkan?
Dukungan Lingkungan Kebijakan Jangka Pendek
Potensi pemanfaatan kawasan hutan untuk tanaman cash crops biofuel pada skala luas misalnya akan berhadapan dengan formulasi resep desain agroforestri yang tepat. Atau berbagai potensi pemanfaatan jasa lingkungan seperti halnya perdagangan emisi karbon menghadapi tantangan kerangka regulasi kewenangan operasionalisasi bursa karbon.
Dari perspektif kebijakan multiusaha jangka panjang situasi tersebut jelas membutuhkan kebijakan yang kondusif dalam lingkup perangkat infrastruktur primer, sekunder dan pasar. Di samping secara teknis, harus mengarahkan pemegang PBPH dalam melakukan aneka kegiatan usaha pemanfaatan hutan jangka pendek. Langkah awal yang diperlukan adalah penataan ruang hutan, merumuskan rejim silvikultur agroforestri dan menyusun rencana usaha dan/atau kegiatan pemanfaatan hutan sebagaimana diatur dalam PerMen LHK No 3 tahun 2021 dan PerMen LHK No 8 tahun 2021. Pendekatan teknis kehutanan sebenarnya cukup sederhana, tetapi secara bisnis kegiatan ini akan membutuhkan perubahan pengelolaan yang tidak sederhana. Jelas, model bisnis PBPH pasti akan berubah, dan ini memerlukan peninjauan ulang atas semua asumsi-asumsi yang selama ini dipakai yaitu antara lain asumsi kondisi infrastruktur ekonomi, tuntutan kebutuhan produk dan jasa kehutanan; dan pemasok serta rantai pasok bahan baku.
Kementerian LHK mendapat cukup banyak pekerjaan rumah untuk kesiapan implementasi kebijakan. Di antaranya terkait penegasan maksud pemanfaatan kawasan hutan yang dalam skema agroforestri berarti pemanfaatan ruang tumbuh harus diartikan sebagai upaya mengatur ruang tanam di antara baris pohon hutan. Tidak semata-mata seperti pengertian murni monokultur dalam pengertian agronomi. Demikian juga mengenai perdagangan karbon berbasis mekanisme pasar sebagaimana diatur dalam Perpres No. 98 Tahun 2021 Tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon tidak mengurangi pencapaian target NDC tahun 2030 tetapi membuka peluang PBPH untuk mengakses pasar sukarela dan merumuskan sistem perdagangan karbon. Secara terinci regulasi harus mencakup inisiatif yang memperjelas cara membuat baseline tingkat emisi dan serapan aktual, kriteria usaha atau baseline kegiatan untuk dapat melakukan perdagangan, administrasi pencatatan kepemilikan karbon dalam Sistem Registrasi Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI), sebagai cara memperoleh sertifikat pengurangan emisi (SPE). Selanjutnya dari SRN PPI akan diturunkan rumusan bursa pasar karbon dilengkapi infrastruktur perdagangan karbon, administrasi pencatatan dan dokumentasi pelaksanaan perdagangan karbon.
Dari sisi PBPH kesiapan manajemen transformasi perusahaan di antaranya yang mendesak dilakukan adalah terkait dengan identifikasi faktor-faktor pendorong multiusaha yaitu : 1) nilai/visi perusahaan; 2) keahlian yang dimiliki; 3) survei pasar dan pemasaran produk dan jasa; 4) menyusun peta produk dan jasa; 5) kebutuhan investasi dan sumber daya finansial; 6) skema pembiayaan; 7) penjajagan daya tarik pendapatan dan proyeksi arus kas perusahaan. Di samping tentu saja mempersiapkan teknis identifikasi sumber daya fisik meliputi inventarisasi hutan dan pemetaan areal pemanfaatan hutan berbasis delineasi lima jenis rupa pemanfaatan hutan.
Manajeman Transformasi Dalam Fase Kelahiran Kembali
Secara faktual sudah tentu kebijakan multiusaha kehutanan tidak lepas dari kekuatan pasar, kekuatan industri dan kekuatan makro ekonomi yang berimplikasi terhadap kebutuhan ragam keahlian tenaga kerja, problematik untuk dipecahkan oleh sains dan teknologi kehutanan termasuk di dalamnya perubahan perlakuan dan pemanfaatan sumber daya hutan. Artinya di sini akan terjadi perubahan model bisnis perusahaan PBPH dengan siapa akan bermitra, alokasi sumber daya, produk dan peta produk, bagaimana cara memproduksi, segmen pasar yang dibidik, pembiayaan dan cara memperoleh pendapatan. Apabila dirangkum jadi satu artinya dibutuhkan transformasi manajemen PBPH yang tepat dalam menanggapi siklus kehidupan perusahaan.
Manajemen transformasi dibutuhkan pada fase “kelahiran kembali” perusahaan dari sebelumnya yang awalnya terlahir sebagai PBPH dengan usaha tunggal pemanfaatan hasil hutan kayu terlahir menjadi PBPH multiusaha. Pada fase ini tentu saja anggota perusahaan dituntut bersikap lebih inovatif, penuh dengan pemikiran baru dalam produk dan jasa kehutanan, cara kerja yang berbeda dari sebelumnya; pemilik perusahaan dan karyawan lebih dekat dengan pelanggan. Komunikasi sesama karyawan dan dengan pelanggan, mitra kerja harus lebih baik dalam upaya memperoleh sumber daya eksternal dan memperkuat sumber daya internal dalam memanuver pergerakan sumber daya secara total. Intinya fase ini membutuhkan model kolaboratif, keberanian mengambil risiko, sumber daya manusia yang bermotivasi tinggi, kritis dan adaptif terhadap ancaman dan peluang.
Manajemen transformasi pada fase ini juga sangat diperlukan untuk transisi perubahan dari model sebelumnya yang birokratis-administratif menuju ke model kolaboratif. Dalam model kolaboratif berprinsip utama saling ketergantungan. Model kolaboratif lebih sesuai untuk proses bisnis dan aktualisasi peran sains dan teknologi kehutanan daripada model birokratis-administratif. Pengambilan keputusan dalam model kolaboratif akan melibatkan lebih banyak orang – pemilik perusahaan, karyawan, pelanggan dan mitra kerja. Setiap anggota perusahaan harus memahami bahwa investasi dan inovasi akan selalu mengandung risiko. Peluang dan risiko adalah dua sisi mata uang sehingga diperlukan pengelolaan perilaku risiko bisnis secara tepat.
Penutup
Implementasi kebijakan multiusaha kehutanan membutuhkan dukungan lingkungan kerja terkait kesiapan perangkat kebijakan, dukungan sains dan teknologi serta tanggapan positif komunitas PBPH. Diyakini apabila dukungan dapat dimantapkan maka tidak mustahil nilai ekonomi produk hutan akan lebih meningkat. Pada fase kelahiran kembali perusahaan PBPH memerlukan manajemen transformasi – model kolaboratif dari periode sebelumnya dengan usaha tunggal pemanfaatan hasil hutan kayu menjadi PBPH multiusaha. Dengan peningkatan dukungan lingkungan kebijakan kerja yang tepat, dan introduksi manajemen transformatif diharapkan PBPH dapat secepatnya memulai implementasi multiusaha, memosisikan produk dan jasa serta memelihara usahanya secara berkesinambungan. Semoga!
Paradigma pembangunan di tarik menggunakan lokomotif ekonomi sehingga kriteria dan indikatornya semua menggunakan nilai2 ke ekonomian, tempat kita belajar tentang hutan pun harus mengikuti paramater tersebut sehingga arah tujuan pembangunan hutan menjadi kabur. Daya dukung kehutanan sebagai life support system perlu di tetapkan dan menjadi batas minimal aman utk mengusahakan visi ke ekonomiannya terutama ke depan … semoga lestari usaha kehutanan dan hutan kita