Oleh: Diah Y. Suradiredja
Tulisan ini adalah bagian dari artikel sebelumnya tentang isu Deforestrasi dan sisi permintaan komoditi ekspor Indonesia. Tulisan ini tujuannya memberikan catatan pengingat pada Pemerintah, Pelaku Usaha dan publik tentang perilaku negara konsumen yang selalu menekan Indonesia dari sisi isu deforestrasi untuk komoditi strategis ekspor Indonesia. Isu yang selalu menjadi performa buruk bagi Indonesia sebagai Negara yang memiliki Hutan Hujan Tropis terbesar ketiga setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Laporan Analisis Komoditas Ekspor 2017 – 2021 untuk Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; Industri Pengolahan; Pertambangan dan lainnya, tercantum lima negara tujuan utama ekspor Indonesia pada tahun 2021 adalah Tiongkok sebesar US$ 53,8 miliar; Amerika Serikat (AS) sebesar US$ 25,8 miliar; Jepang sebesar US$ 17,9 miliar; India sebesar US$ 13,3 miliar; dan Malaysia sebesar US$ 12,0 miliar. Secara keseluruhan, ekspor yang ditujukan ke negara-negara tersebut setara dengan 52,99% dari total nilai ekspor tahun 2021. Jika dilihat dari berat ekspornya, ekspor ke Amerika Serikat, Jepang, India dan Malaysia mengalami penurunan.[1]
Ekspor Komoditi Berbasis Lahan Indonesia ke AS
Salah satu komoditi ekspor Indonesia ke AS adalah Kopi, Minyak Kelapa Sawit, dan Furniture. Data BPS menunjukan Negara tujuan utama ekspor komoditas kopi Indonesia pada tahun 2021 adalah AS dengan nilai ekspor sebesar US$ 194,8 juta atau setara dengan 22,93% dari total ekspor kopi Indonesia di tahun tersebut. Ekspor kopi ke AS mengalami penurunan nilai dari tahun 2020 ke tahun 2021 sebesar 3,75%.
Untuk produk Minyak Kelapa Sawit ke AS, kenaikan nilai ekspor minyak sawit tertinggi terjadi pada tahun 2021, sebesar 131,5% setara dengan US$ 1.816,8 juta dan berkontribusi sebesar 6,35% nilai terhadap total nilai ekspor komoditas minyak kelapa sawit. Dari sisi berat bersih, ekspor komoditas minyak kelapa sawit tahun 2021 ke AS mengalami kenaikan sebesar 45,96%.
Sedangkan untuk nilai ekspor furnitur ke AS dari tahun 2017 – 2021 cenderung meningkat. Ekspor furnitur dan barang anyaman dari bambu dan rotan mengalami peningkatan dari tahun 2020 ke tahun 2021 sebesar US$ 560 juta. Sedangkan ekspor furniture mengalami peningkatan sebesar US$ 489 juta
No |
Komoditas |
Nilai (Juta US$) |
||||
2017 | 2018 | 2019 | 2020 | 2021 | ||
1 | Pertanian Tanaman Tahunan | 379,0 | 359,7 | 345,5 | 315,5 | 309,7 |
2 | Furnitur dan Barang Anyaman dari Bambu, Rotan dan Sejenisnya | 397,3 | 559,4 | 441,6 | 628,0 | 1.188,3 |
3 | Furnitur | 655,2 | 727,7 | 975,7 | 1.241,8 | 1.730,8 |
Sumber: BPS, Tahun 2021
Deforestasi dan Pendekatan Sisi Permintaan di AS
Pada KTT tengan Iklim pada tahun 2021, Presiden AS Joe Biden, menyampaikan komitmen AS pada upaya global mengatasi perubahan iklim setelah empat tahun mengalami kemunduran kebijakan lingkungan di bawah pendahulunya Donald Trump. Biden ingin membangun infrastruktur penting untuk memproduksi dan menyebarkan teknologi bersih. Biden telah berbicara dengan para ahli dan melihat potensi untuk masa depan yang lebih sejahtera dan adil.
Fajar baru untuk aksi iklim AS di bawah Administrasi Presiden Biden dipahami secara luas. Prioritaskan iklim sebagai salah satu krisis teratas yang mengancam negara dan dunia, dan negara-negara bagian AS sebagai Executive Branch telah bergerak cepat dalam tindakan iklim dalam lingkupnya. Pada hari pertamanya menjabat, Presiden Biden memperlihatkan lima aksi, yaitu (1) menyatakan AS bergabung kembali dengan Perjanjian Paris; (2) mengumumkan an economy-wide net zero target selambat-lambatnya pada tahun 2050; (3) meluncurkan Civilian Climate Corps baru sebagai bagian dari pemulihan COVID; (4) mengadakan KTT Pemimpin Hari Bumi tentang Iklim; dan (5) menyampakan isu iklim menjadi prioritas di G7. Meski begitu, jalur unilateral Administrative action on climate dianggap sebagai tindakan administratif “sepihak” dibatasi oleh hukum dan otoritas yang ada. Mayoritas Mahkamah Agung AS yang konservatif kemungkinan akan menafsirkan otoritas semacam itu secara sempit sehingga kemungkinan unilateral Administrative action on climate akan ditentang.
Deforestasi tertulis besar dalam agenda iklim Biden. Pemerintah AS memprioritaskan diplomasi dan kemitraan berbasis kinerja. Saat menjadi Kandidat Presiden, pada tahun 2020, Biden berjanji bahwa jika terpilih, dia akan memobilisasi $20 miliar untuk membantu melindungi Amazon. Hal ini dibuktikan setelah terpilih, deforestasi menjadi prioritas utama dalam agenda diplomasi bilateral dengan Brasil menjelang KTT Iklim April 2021. Lalu AS dan Inggris bergabung dengan Jerman dan Norwegia untuk mendanai pengurangan deforestasi di Peru, dan pemerintah AS telah bermitra dengan Inggris, Norwegia, dan sektor swasta untuk memobilisasi pendanaan yurisdiksi REDD+ melalui koalisi The Lowering Emissions by Accelerating Forest (LEAF)[2], dalam acara Leaders Summit on Climate.
AS memiliki sejarah keterlibatan secara aktif dalam pada isu perdagangan yang mendorong kerusakan sosial dan lingkungan. Misalnya, dalam isu perdagangan kayu ilegal dengan Amandemen Lacey Act 2008, yakni pada tanggal 22 Mei 2008, Kongres AS mengesahkan sebuah undang-undang baru yang melarang perdagangan tumbuhan dan produk dari tumbuhan yang berasal dari sumber ilegal – termasuk kayu dan produk kayu. Pengaturan baru ini merupakan hasil amandemen atas ketentuan hukum yang berusia 100 tahun, yang bernama Lacey Act (Undang-Undang Lacey), sesuai dengan nama seorang anggota Kongres yang pertama kali mendukungnya. Walau Lacey Act tersebut telah lama menjadi salah satu alat paling ampuh bagi berbagai institusi AS dalam penegakkan atas kejahatan terhadap satwa liar, potensinya untuk memerangi pembalakan ilegal (illegal logging) dimulai melalui regulasi ini.
Lacey Act telah menjadi preseden dalam perdagangan global untuk tumbuhan dan produk dari tumbuhan, yang mengakui dan mendukung upaya negara-negara lain dalam mengatur sumberdaya alamnya sendiri dan memberikan dorongan yang kuat bagi perusahaan-perusahaan yang memperdagangkan komoditas-komoditas dari tumbuhan untuk melakukan hal yang sama. Perangkat AS yang bergerak seperti Department of the Interior’s Fish and Wildlife Service (FWS) AS, dengan keahliannya melakukan investigasi kasus-kasus impor dan penyelundupan satwa liar; juga Department of Agriculture’s Animal Plant Health Inspection Service (APHIS) AS yang mempunyai tanggung jawab terhadap importasi tumbuhan, berperan penting dalam memproses laporan-laporan deklarasi dan melakukan investigasi atas kasus-kasus impor kayu illegal; dan Department of Homeland Security, yang mengontrol bea cukai AS dan mengawasi perbatasan-perbatasan melalui Perlindungan Bea Cukai dan Perbatasan (Customs and Border Protection).
Administrasi baru era Biden mendukung mengeksplorasi arah baru dan alat-alat baru yang tersedia untuk cabang eksekutif. Misalnya, Perwakilan Dagang AS yang baru Katherine Tai memberikan pidato pada bulan April 2022 menguraikan visi luas dan baru (untuk AS) dalam menggunakan kebijakan perdagangan untuk memajukan tujuan iklim dan lingkungan. Pemerintahan Biden juga memprioritasjan ekonomi domestik dan pekerjaan di atas liberalisasi perdagangan yang berkelanjutan, ini menunjukkan potensi pembukaan untuk langkah-langkah perdagangan dari sisi permintaan pada deforestasi.
Impor komoditas pertanian ke AS dari kawasan yang berisiko terhadap hutan
AS sendiri adalah produsen kedelai, sapi, dan produk kayu global, sehingga umumnya hanya mengimpor sebagian kecil dari komoditas yang menurut mereka berisiko deforestasi seperti Indonesia dan Malaysia untuk minyak sawit masing-masing kurang dari 4% dan 3%. Mereka tidak impor Kedelai Brasil, dan daging sapi dari Brasil relatif sedikit (namun meningkat). Secara global untuk kakao, kopi, dan karet yang berisiko terhadap hutan, AS secara langsung mengimpor sekitar 12% dari ekspor biji kakao Pantai Gading dan Ghana pada tahun 2019; kopi Brasil dan Kolombia masing 20% dan 44% ; dan 22% ekspor karet alam Indonesia. tercatat, total impor komoditas berisiko hutan melebihi $3 miliar per tahun.
Ceritanya sangat berbeda untuk produk berisiko deforestasi seperti barang kulit, ban, dan cokelat, yang diimpor AS dari negara-negara pengolah yang sangat terpapar risiko deforestasi dalam sumber bahan baku mereka. AS masing-masing mengimpor barang kulit senilai $6,5, $2,6 dan $2,5 miliar dari China, Vietnam, dan Italia. Hal ini juga berlaku untuk impor ban China senilai $2,5 miliar; $1,6 dan $1,4 miliar ban dan cokelat Kanada masing-masing; dan hampir $600 juta cokelat UE. Dalam hal produk risiko deforestasi sekunder ini, impor AS melebihi $20 miliar. (semua data dalam dua paragraf ini adalah untuk 2019, berdasarkan analisis data UN COMTRADE oleh Badan Investigasi Lingkungan).
Tindakan Kebijakan Sisi Permintaan untuk Deforestasi.
Menurut Michael Wolosin (Forest Trend, 2021) perhatian publik dan media terhadap masalah deforestasi di luar negeri sangat minim dan umumnya terbatas pada komunitas dan outlet berhaluan kiri di AS. Kemajuan kebijakan tentang deforestasi menjadi paling signifikan ketika ditangani sebagai bagian dari agenda kebijakan yang lebih besar. Menurutnya, dalam upaya kebijakan internasional AS saat ini, iklim adalah motivator prioritas tertinggi untuk mengatasi deforestasi, termasuk keanekaragaman hayati dan kejahatan terhadap satwa liar.
Namun tanda-tanda paling harus diwaspadai dari tindakan sisi permintaan AS yang signifikan, terhadap deforestasi di tingkat Federal, datang dari Kongres dalam bentuk rancangan undang-undang yang dipelopori oleh Senator Brian Schatz (D-Hawaii) dan Perwakilan Earl Blumenauer (D- Oregon) California dan New York yang mempertimbangkan tindakan tingkat negara bagian dalam sesi legislatif baru-baru ini.
Rancangan undang-undang Schatz/Blumenauer memiliki empat elemen inti: 1) larangan mengimpor komoditas berisiko deforestasi tertutup yang diproduksi di lahan yang dideforestasi secara ilegal, menurut hukum negara asal atau setempat; 2) peningkatan ketertelusuran/kewajiban uji tuntas terkait dengan persyaratan deklarasi baru untuk importir; 3) bekerja dengan negara-negara yang berkomitmen untuk menghapus deforestasi ilegal; dan 4) preferensi pengadaan federal untuk kontraktor bebas deforestasi. Yang ketiga sedang menjalani revisi, kemungkinan akan bergeser dari kemitraan seperti VPA FLEGT Eropa (dengan negosiasi bilateral formal) ke pendekatan penilaian risiko yang ditambah dengan dukungan untuk pengurangan risiko oleh mitra dagang.
Larangan impor komoditas pertanian yang bersumber dari lahan yang dibuka secara ilegal adalah inti dari RUU tersebut, dan dalam banyak hal serupa dengan amandemen Lacey Act 2008 yang melarang impor kayu ilegal. Instansi Pemerintah AS akan memberikan panduan peraturan yang mencantumkan komoditas dan produk yang tercakup, dengan daftar awal yang ditentukan dalam undang-undang untuk memasukkan minyak sawit, kedelai, sapi, karet, pulp, dan kakao. Deklarasi yang dipersyaratkan kelas produk oleh HS kode yang sebagian besar terdiri dari komoditas tertutup.
Pembaruan setiap tahun akan dilakukan pada daftar produk akan bertujuan untuk memaksimalkan efektivitas tagihan (bill) sambil memperhitungkan beban administrasi ketika mempertimbangkan produk dengan jumlah komoditas yang semakin berkurang. Proses regulasi juga akan menetapkan dan memperbarui daftar negara berisiko tinggi secara berkala. Importir yang terdaftar di AS akan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa pasokan mereka legal – dengan risiko hukuman perdata dan pidana jika tidak – dan akan diminta untuk memberikan deklarasi impor yang menyatakan bahwa mereka telah melakukan “kehati-hatian yang wajar (reasonable care)” dalam penentuan tersebut. Importir komoditas yang terdaftar dari negara berisiko tinggi perlu memberikan informasi yang menunjukkan keterlacakan penuh dari rantai pasokan mereka dan bukti bahwa asal geografis tidak tunduk pada deforestasi ilegal.
Hal yang menarik pada RUU tersebut adalah “hanya akan berlaku untuk lahan yang terdeforestasi setelah RUU tersebut diundangkan”[3] (jadi bukan berdasarkan tahun sejarah atau baseline, seperti yang di berlakukan di Uni Eropa), dengan berbagai tindakan yang diperlukan secara bertahap selama lebih dari dua tahun. Ini memperlihatkan adanya keraguan negara-negara bagian AS untuk menurunkan kebijakan Biden pada regulasi penyediaan barang (Procurement Policy).
Sources and Links:
- G7 Leader’s Statement announcing the 2030 Nature Compact
- USTR Katherine Tai April 15 Speech on Greening US Trade Policy and Coverage Hope and Failure of Brazil-US negotiations on deforestation
- Schatz/Blumenauer Bill: Sen Schatz – Deforestation can’t be stopped by voluntary action alone CBS Article about Schatz/Blumenauer
- Anna Kaplan Press Release NRDC Blog on Industry Opposition.
[1] Badan Pusat Statistik, Analisis Komoditas Ekspor 2017 – 2021 Sektor Pertanian, Kehutanan dan Perikanan; Industri Pengolahan; Pertambangan dan lainnya, Hlm. 9
[2] Koalisi ini adalah sebuah inisiatif yang ambisius antara sektor publik dan swasta yang dirancang untuk mengakselerasi aksi iklim , dengan menyediakan mekanisme pembiayaan berbasis hasil bagi negara – negara yang berkomitmen untuk melestarikan hutan tropisnya.
[3] Tertulis “The bill would only apply to land deforestated after the Bill is enacted – not to any historical year or baseline – with various required actions phasing in over two years”.