oleh: Diah Y. Suradiredja (Senior Advisor SPOSI – KEHATI)
Dalam beberapa minggu ini, sebuah dokumen yang diberikan title Naskah Akademik “Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan yang Terdegredasi” melayang ke Istana, dan menjadi polemik untuk memaksa sebuah kebijakan kontroversial. Sebuah dokumen yang dipercaya sebagai sebuah Naskah Akademik, dan tidak memunculkan nama aatau person akademisi yang menulis, hampir mempertaruhkan hubungan antara dua perguruan tinggi yang besar, dan membuat kerusuhan pemahaman tentang sebuah Dokumen Naskah Akademik.
Terlepas dari keributan substansi, tampaknya dunia akademisi perlu kembali membuka landasan hukum sebuah Naskah Akademik[1] yang selalu menjadi ranah para akademisi di dalam penyusunan perundang-undangan. Setidaknya terdapat dua payung regulasi untuk penyusunan sebuah Naskah Akademik, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; dan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden.
Fungsi dan Urgensi Naskah Akademik
Naskah Akademik adalah bagian penting dalam mewujudkan pembentukan hukum tertulis, khususnya peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan pada dasarnya adalah sebuah sistem, karena di dalamnya terdapat beberapa peristiwa/ tahapan yang terjalin dalam satu rangkaian yang tidak terpisahkan antara satu dan lainnya. Tahapan tersebut yaitu tahap perencanaan, tahap penyusunan, tahap pembahasan, tahap pengesahan, tahap pengundangan, dan tahap penyebarluasan. Sehingga fungsi naskah akademik adalah sebagai naskah ilmiah yang dapat dipertanggung-jawabkan yang berisi latar belakang, tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, memberikan gambaran mengenai substansi, materi dan ruang lingkup dari sebuah peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, dan memberikan pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan bagi pihak eksekutif dan legislatif.
Tiga peran penting dari sebuah Naskah Akademik dalam sistem perundang-undangan, mencakup: (1) Sebagai dokumen pembahasan (position paper)[2], yakni dokumen yang akan memberi arah kepada para pemangku kepentingan (stake holders) dan akan memudahkan pada saat pembahasan; (2) Sebagai dokumen kebijakan (policy paper)[3], yakni akan memberikan potret ataupun peta tentang berbagai hal terkait dengan peraturan perundang-undangan yang hendak diterbitkan (Juwana, 2006); dan (3) Sebagai bahan bagi harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan dengan hukum positif. Dokumen Naskah Akademik akan digunakan sebagai acuan materi yang akan diatur dan untuk selanjutnya diterjemahkan ke dalam bahasa perundang-undangan. Sehingga Peraturan perundang-undangan yang disusun tidak tumpang tindih (vertikal/ horizontal).
Urgensi sebuah Dokumen Naskah Akademik[4] adalah sebagai bahan baku yang dibutuhkan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan (baik Undang-Undang maupun Peraturan Daerah) adalah sebagai landasan ilmiah agar peraturan perundang-undang yang disusun memiliki arti aplikatif dan futuristik. Hal yang penting substansi Naskah Akademik akan mengurangi Peraturan Perundang-Undangan bermasalah karena dalam pembuatan Naskah Akademik tersebut akan termuat dengan cermat landasan filosofis, sosiologis dan yuridis sebagai dasar yang baik untuk suatu Peraturan Perundang-Undangan.
Pada Pasal 1 angka 7 Perpres No. 68/2005, sebuah Naskah Akademik harus memuat[5]: (1) Dasar Filosofis[6], yang diperlukan agar memuat cita hukum sesuai dengan Pancasila dan Konstitusi UUD NRI 1945 (tujuan agar suatu perundang-undangan mempunyai visi dan dapat berlaku waktu yang panjang); (2) Dasar Sosiologis[7], yang memuat kondisi praktik di masyarakat yang ada (tujuannya agar peraturan dapat berlaku efektif karena diterima masyarakat secara wajar); dan (3) Dasar Yuridis[8], sehingga perundang-undangan memiliki kaidah yang sah secara hukum/ mempertimbangkan alasan hukum/ menjamin kepastian hukum. Sehingga dalam upaya untuk memahami urgensi naskah akademik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, tidak terlepas dari keberadaan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada[9].
Kecenderungan penyalahgunaan istilah Naskah Akademik
Berangkat dari kasus keluarnya Naskah Akademik “Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan yang Terdegredasi” oleh Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia dan Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University”, yang sesungguhnya adalah kajian akademis yang ditujukan untuk menganalisis dan membandingkan beberapa aspek yang dikaji dan dampaknya terhadap sosial ekonomi dan budaya masyarakat lokal antara kelapa sawit dengan tanaman hutan, kita dapat mencatat beberapa pembelajaran:
- Terdapat ketidak kesesuaian sistematika Naskah Akademik sawit tersebut di atas dengan undang-undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Hal ini merupakan pembelajaran bagi sebuah proses advokasi kebijakan yang benar. Landasan hukum pengunaan istilah harus menjadi perhatian, karena akan menimbulkan kesalahan tafsir sebuah produk yang berdasarkan landasan hukum yang jelas. Ketidak sesuaian kerangka tersebut dilandasi bahwa penyusunan Naskah Akademik harus dilandaskan sebuah penelitian yang menggunakan metode penyusunan yang berbasiskan metode penelitian hukum atau penelitian lain. Para penyusun seharusnya memperlihatkan kerangka penelitian hukum melalui metode yuridis normatif dan metode yuridis empiris. Metode yuridis empiris dikenal juga dengan penelitian sosiolegal[10]. Metode yuridis normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder yang berupa Peraturan Perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, kontrak, atau dokumen hukum lainnya, serta hasil penelitian, hasil pengkajian, dan referensi lainnya. Metode yuridis normatif dapat dilengkapi dengan wawancara, diskusi (focus group discussion), dan rapat dengar pendapat.
- Satu hal yang harus juga diingat adalah Penyusunan Naskah Akademik dilakukan oleh Pemrakarsa bersama-sama dengan Kementerian/Lembaga yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan dan pelaksanaannya dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian untuk itu (Pasal 5 ayat 2 Perpres No. 68/200). Dalam Naskah Akademik usulan Sawit sebagai Tanaman Hutan, meminggirkan etika tersebut. Tanpa menyebutkan pemrakarsa, maka dokumen tersebut tidak layak disebut sebagai Naskah Akademik.
- Sebagai sebuah Naskah Akademik seharusnya dokumen tersebut memuat Evaluasi dan Analisis Peraturan Perundangan-Undangan Terkait. Dokumen ini seharusnya memuat hasil kajian terhadap Peraturan Perundang-undangan terkait yang memuat kondisi hukum yang ada, keterkaitan Undang-Undang dan Peraturan Daerah dengan Peraturan Perundangundangan lain, harmonisasi secara vertikal dan horizontal, serta status dari Peraturan Perundang-undangan yang ada, termasuk Peraturan Perundang-undangan yang dicabut dan dinyatakan tidak berlaku serta Peraturan Perundang-undangan yang masih tetap berlaku karena tidak bertentangan dengan Undang-Undang atau Peraturan Daerah yang baru.
Sebagai sebuah pembelajaran, Tim Penyusun “Naskah Akademik Kelapa Sawit Sebagai Tanaman Hutan yang Terdegredasi”, sebaiknya mengembalikan pada public tentang narasi title yang seharusnya dari dokumen yang telah disajikan ke publik. Agar kekacauan pemahaman tentang istilah atau definisi Naskah Akademik yang telah ditimbulkan harus dibenahi dan dikembalikan ke pada publik, terutama pada publik akademika, sebagai bentuk tanggung-jawab akademisi atau pengajar kepada para mahasiswa/i yang sedang menimba ilmu.
Tabik.
Bogor, 8 February 2022
Referensi:
[1] Naskah Akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat (Pasal 1 angka 11 UU No. 12/2011).
[2] Kertas posisi merupakan penjelasan tentang posisi atau sikap pada satu isu dan alasan mengapa kita mengambil sikap tersebut secara rasional. Dengan demikian tujuan kertas posisi itu adalah memberi dukungan terhadap isu yang menjadi perhatian kita. Syaratnya, kertas posisi harus berdasar pada fakta dan bukti-bukti yang kuat untuk mendukung sikap yang kita tuangkan di atas kertas tersebut (http://www.xavier.edu/library/help/position_paper.pdf)
[3] Kertas kebijakan didefinisikan sebagai instrumen komunikasi yang didorong oleh nilai, berorientasi pada masalah, yang dirancang untuk membantu pengambilan keputusan (http://trainingadvokasi.smeru.or.id/cso/file/33.pdf)
[4] Teknik Penyusunan Naskah Akademik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Kementerian Hukum dan HAM, Agustus 2011
[5] Penyusunan Naskah Akademik Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Kementerian Hukum dan HAM
[6] Landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
[7] Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
[8] Landasan yuridis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru. Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau peraturannya memang sama sekali belum ada.
[9] Pasal 5 “Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: a. kejelasan tujuan; b. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat; c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan; d. dapat dilaksanakan;e. kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. kejelasan rumusan; dan g. keterbukaan.
[10] Metode yuridis empiris atau sosiolegal adalah penelitian yang diawali dengan penelitian normatif atau penelaahan terhadap Peraturan Perundang-undangan (normatif) yang dilanjutkan dengan observasi yang mendalam serta penyebarluasan kuesioner untuk mendapatkan data faktor non-hukum yang terkait dan yang berpengaruh terhadap Peraturan Perundang-undangan yang diteliti.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Sawit di Desa Taruna, Kalampangan, Provinsi Kalimantan Tengah (Markurius Sera, 2018)