Oleh : Yudo E B Istoto (Senior Expert Partner Wana Aksara Institute)
Situasi terasa terbalik-balik dan paradoks itu terjadi dalam pengelolaan hutan rakyat rawa gambut. Terutama ketika harta karun “emas karbon” yang semula sebagai ekosistem penyimpan cadangan karbon paling efisien itu dibuka untuk dimanfaatkan sebagai lahan pertanian atau perkebunan, sekonyong-konyong berubah menjadi penyumbang emisi gas rumah kaca. Indonesia memiliki emas karbon di 7 provinsi diproyeksikan menjadi sasaran program percepatan restorasi gambut sesuai skala masalah yang dihadapi. Pada skala paling dekat yaitu tuntutan restorasi sudah di depan mata. Hutan rakyat rawa gambut pada desa-desa di 7 provinsi tersebut oleh masyarakat pada awalnya dianggap tidak berguna, namun desakan kebutuhan lahan garapan telah mendorong masyarakat memanfaatkan dengan atau tanpa drainase.
Bagaimanapun kemampuan lahan gambut menyimpan emas karbon akan turun drastis seiring lahan didrainase secara intensif dan bakal mengubah sistem hidrologi yang dapat mengundang bencana kebakaran hutan dan atau banjir permanen. Ambiguitas dan trade-off antara pemulihan, perlindungan jangka pendek-relatif berbiaya tinggi harus membangun konstruksi tanggul atau pengerukan kanal yang mahal dengan pemanfaatan berisiko jangka panjang-produktivitas rendah akibat tergenangnya lahan pertanian/kebun harus diakhiri. Di balik itu sesungguhnya terdapat mandat segera dilakukannya penyusunan rancangan teknis pengelolaan hutan rawa gambut.
Formula Rancangan Teknik Pengelolaan
Penataan hutan dan lahan gambut yang dilengkapi kanalisasi serta manajemen muka air seperti cara perusahaan besar mengelola lahan gambut terdrainase (LGD) merupakan aktivitas kunci yang sulit diterapkan pada skala hutan rakyat. Mempertahankan sistem hidrologi, vegetasi sekaligus daya dukung sosial-ekonomi gambut yang telah telanjur terdegradasi membutuhkan formula rancangan teknik pemulihan lahan gambut atau restorasi gambut yang jitu. Kondisi yang ada menyebabkan ekosistem hutan rakyat mengalami degradasi sehingga perlindungan ekosistem penyangga kehidupan terganggu, akibatnya pemanfaatan secara berkelanjutan menjadi harapan kosong. Dampak ketiadaan rancangan teknik pengelolaan untuk mencegah laju penurunan permukaan tanah atau subsidens dan mengakibatkan turunnya fungsi lahan gambut sebagai bentuk ketahanan iklim, bencana banjir dan kemarau, begitu juga fungsi sebagai habitat keanekaragaman hayati tidak bekerja baik. Rancangan teknik diharapkan dapat untuk mencegah pengalihfungsian lahan gambut, pengeringan menjadi LGD dan pembalakan liar.
Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa di antara tanaman kelapa di hutan rakyat rawa gambut tanaman kopi dan pinang tumbuh subur, mungkin hasil buah kopi dan pinangnya tidak kalah dibanding dari lahan mineral. Ini membuat petani terlena lupa melakukan upaya perbaikan dalam teknik-teknik pencegahan terjadinya subsidens. Atau boleh jadi kearifan lokal para leluhur petani memang belum tergali dengan baik ditambah kendala belum tersedianya teknik-teknik kehutanan (baca : silvikultur) yang teruji untuk hutan rawa gambut. Tak pelak, kondisi demikian menciptakan ruang enigmatik yang gelap bagaimana sesungguhnya pengelolaan hutan rawa gambut yang tepat. Kendatipun demikian kondisi ini belum terlalu terlambat meskipun basis riset akademik masih terbatas. Rancangan teknik pengelolaan gambut (RTPG) perlu dikreasi dan disusun bersama masyarakat setempat.
Masyarakat membutuhkan pedoman untuk mengembalikan fungsi ekologi demi kesejahteraan masyarakat sendiri, maka RTPG adalah keharusan mendesak. RTPG berisi langkah-langkah mencakup teknik-teknik kehutanan : pola tanam, jenis tanaman kehutanan, tanaman komoditas pilihan masyarakat, rancangan penanaman, teknis penanaman sedemikian rupa agar lahan gambut kembali pada kondisi, pengaturan pemanfaatan lahan dalam batas kedalaman gambut, ketentuan pembuatan parit (bukan kanal), dukungan data spasial, pengaturan mintakat (zona) riparian, peralihan antara parit-parit dengan daratan hutan rawa gambut dan sebagainya. Yang pasti penyusunan rancangan teknik pengelolaan hutan rawa gambut harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi petani yang tergabung dalam Kelompok Tani Hutan setempat dan pemangku kepentingan lainnya dan ini adalah keniscayaan yang amat sangat penting bagi masa depan LGD.
Model Sistem Dukungan Kerja Sama
Sumber daya alam hutan rawa gambut adalah kekayaan alam yang harus tetap dijaga kelestariannya. Untuk memperoleh manfaat hutan rawa gambut yang optimal bagi kesejahteraan masyarakat diperlukan pengelolaan sebaik-baiknya dengan tetap memperhatikan sifat, karakteristik, potensi dan keutamaan fungsi gambut baik secara konservasi, lindung ataupun produksi. Sudah tentu upaya restorasi guna meningkatkan daya dukung, produktivitas, dan peran eksistem gambut bagi penyangga kehidupan memerlukan pendekatan model sistem dukungan kerja sama partisipasi parapihak dalam rangka mengembangkan potensi dan pemberdayaan masyarakat. Penataan ulang pengelolaan dan pemanfaatan gambut secara berkelanjutan harus dapat menjadi fokus kegiatan restorasi di hutan rakyat rawa gambut untuk multimanfaat, yaitu ekonomi, sosial dan ekologi.
Hutan rawa gambut yang terdegradasi akan menurunkan daya dukung sosial-ekonomi masyarakat dan lebih jauh lagi akan mengganggu fungsi ekosistem sebagai penyangga kehidupan masyarakat secara luas. Oleh sebab itulah upaya penataan ulang pengelolaan dan pemanfatan ekosistem gambut secara berkelanjutan perlu mendapat dukungan sistem-sistem sumber daya manusia, teknologi, pelatihan dan pendanaan melibatkan peran penerima manfaat secara ekonomi, sosial dan ekologi yaitu pemerintahan desa setempat serta ditunjang oleh peran parapihak sebagai mitra dalam negeri yaitu sektor badan usaha, masyarakat sipil, perguruan tinggi dan mitra dari luar negeri.
Penataan ulang pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem gambut dalam konteks sistem dukungan kerja sama parapihak jelas membutuhkan juga penguatan dan pembinaan kapasitas kelembagaan desa yang terdesentralisasi untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat, agar kegiatan restorasi dapat dilakukan secara berkelanjutan. Seperti diketahui sifat, karakteristik, potensi yang ada dan keutamaan fungsi konservasi, lindung ataupun produksi gambut memengaruhi keberadaan mintakat-mintakat pemanfaatan sesuai ketertarikan masyarakat terhadap tanaman komoditas tertentu.
Terdapat perbedaan antara tipologi model sistem dukungan kerja sama dari satu mintakat dengan mintakat yang lain, misalnya mintakat tanaman komoditas kopi berbeda dengan mintakat tanaman komoditas pinang. Tetapi yang terpenting dari semua itu adalah bahwa, keduanya – pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem gambut dengan tanaman komoditas kopi ataupun pinang – akan meningkatkan cadangan karbon dan sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat dari usaha rakyat di hutan rawa gambut.
Penutup
Hutan rawa gambut yang terdegradasi dan telah menurunkan daya dukung sosial-ekonomi masyarakat membutuhkan formula rancangan teknik pengelolaan hutan rawa gambut yang matang. Langkah mendesak adalah penataan ulang pengelolaan dan pemanfaatan ekosistem secara berkelanjutan. Untuk itu diperlukan rancangan teknik bermodel sistem dukungan yang mencakup komponen-komponen : sumber daya manusia, teknologi, pelatihan dan pendanaan yang pembentukannya harus melibatkan peran penerima manfaat secara ekonomi, sosial dan ekologi dari desa yang bersangkutan dan ditunjang pula oleh peran parapihak termasuk mitra dari dalam negeri yaitu sektor badan usaha, masyarakat sipil, perguruan tinggi dan mitra dari luar negeri. Kapan itu? ya mulai sekarang, kalau tidak kapan lagi agar kita bisa tersenyum sembari mengucapkan salam lestari !
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Hutan di Provinsi Kalimantan Barat (Arief Adhari, 2018)