Oleh : Yudo E B Istoto (Senior Expert Partner Wana Aksara Institute)
Indonesia telah memilih pendekatan strategi pengendalian perubahan iklim antara lain dengan pendekatan bentang alam dan perencanaan spasial. Pilihan yang berimplikasi terhadap perencanaan klasik kehutanan yang bertumpu pada rumusan sederhana, bahwa keberhasilan mengelola hutan ditentukan oleh batas kawasan hutan yang tetap, diakui semua pihak, sistem silvikultur yang menjamin permudaan hutan serta penentuan etat tebangan yang menjamin kelestarian kayu. Realitasnya konsep Sustainable Forest Mangement (SFM) sempat mengalami kelumpuhan. Terlebih ketika disadari bahwa status pembangunan kehutanan seharusnya merupakan bagian dari pembangunan wilayah. Pertanyaannya, mampukah Peraturan Menteri LHK No.7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan serta Penggunaan Kawasan Hutan dalam konteks pembangunan wilayah dan strategi perencanaan spasial mengantisipasi pengendalian perubahan iklim?
Menciptakan Perubahan atau Diubah paksa
Perubahan dunia kehutanan membutuhkan perencanaan yang baik dan adaptif. Tugas perencanaan adalah membawa masa depan ke masa kini, sekaligus memperkirakan masa depan dan bagaimana memengaruhi kondisinya. Perencanaan yang baik dan adaptif secara spasial cukup kompleks, khususnya pada hutan produksi. Nasib konsep SFM yang semula jadi ujung tombak Rimbawan mewujudkan kelestarian hasil kayu berakhir tumpul menghadapi dinamika perubahan kawasan hutan dalam skala bentang alam. Pada bentang alam hutan terdapat daerah aliran sungai, konservasi keanekaragaman hayati, komunitas masyarakat, pembalakan ilegal dan masalah tenurial pasca-TGHK 1982. Sampai kemudian pasca 1992 Indonesia diubah oleh keadaan yang menghendaki pengelolaan hutan harus mencakup kelola lingkungan, kelola sosial dan kelola ekonomi.
Paradigma perencanaan kehutanan harus berubah. Namun, konsep tak selalu seindah praktiknya, ada berbagai alasan yang dikemukakan mengapa penataan hutan tidak kunjung rampung. Namun sampai kini belum ada jawaban memuaskan apakah hal tersebut terjadi karena perencanaan kehutanan belum berbasis kawasan dan bukan berbasis wilayah. Istilah kawasan lebih lekat dengan fungsi ketimbang wilayah sebagai ruang geografis – administratif. Akibatnya “perencanaan spasial kehutanan“ kerepotan ketika UU No.24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang diberlakukan. Kemudian diperbarui dengan UU No.26 Tahun 2007 terbit 27 April 2007 dan menjadi acuan induk Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP). Sementara PP No.6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan lebih dahulu terbit tanggal 8 Januari 2007 bertujuan memperbaiki tata kelola hutan dan pemanfaatan hutan berbasis KPH. Yang jelas, belum diketahui berapa juta hektar hilang akibat dinamika perubahan kawasan hutan disebabkan perubahan arti “tata ruang” yang begitu pesat.
Dalam Peraturan Menteri LHK No.7 Tahun 2021 yang mengatur perencanaan kehutanan, secara eksplisit tidak ditemukan istilah spasial. Sektor kehutanan lebih familier dengan basis kawasan daripada basis wilayah. Perencananan spasial adalah perencanaan berbasis data spasial seperti penggunaan citra landsat untuk menyelaraskan wilayah usaha sektoral dengan pembangunan wilayah secara efisien, efektif, terukur, transparan dan akuntabel. Harus diakui penggunaan teknologi GIS (Geografic Information System) dan teknologi informasi masih terbatas. Perencanaan kehutanan sudah seharusnya berbasis data spasial untuk menentukan blok TPTI, THPB atau untuk multiusaha kehutanan. Bagaimanapun peraturan menteri tersebut menjadi wajib manakala era multiusaha kehutanan harus diselaraskan dengan kepentingan pengendalian perubahan iklim. Tak pelak, skenario masa depan kehutanan akan dipengaruhi oleh praktik-praktik dalam pengelolaan bentang alam hutan hasil dari perencanaan kehutanan berbasis spasial.
Perencanaan Kehutanan Multifungsi dan Multiusaha
Perencanaan kehutanan spasial merupakan alat bantu untuk meminimumkan risiko, ketidakpastian dan memudahkan alokasi sumber daya hutan secara efisien. Peraturan Menteri LHK No.7 Tahun 2021 mewakili kegunaan perencanaan secara nasional dan internasional. Secara nasional memberi landasan beroperasinya kebijakan Menteri LHK No.8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan dan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang di dalamnya terkandung multiusaha kehutanan. Sebuah kebijakan yang memudahkan alokasi sumberdaya hutan dengan tetap mengacu minimum risiko sebagaimana diamanatkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pemegang Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) akan terdorong meningkatkan kualitas perencanaan, mengidentifikasi manfaat apa yang mereka ingin didapat dari konsesi hutan dan bagaimana memperoleh informasi guna merumuskan tujuan-tujuan pengelolaan dan pemanfaatan hutan lainnya – multiusaha kehutanan dan bukan sekadar hanya usaha pemanfaatan kayu. Bahkan PBPH dapat mengurangi risiko dampak kerusakan hutan dan sekaligus menurunkan emisi karbon dengan menerapkan Reduce Impact Logging-Carbon (RIL-C) dalam praktik pemanenan. Lebih daripada itu peraturan tersebut memfasilitasi perubahan peruntukan kawasan dan perubahan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan.
Secara internasional, mengingat Indonesia memiliki kerentanan terhadap perubahan iklim, terutama banjir, longsor dan kekeringan yang dampaknya bersifat multisektor, maka pendekatan bentang alam mau tidak mau harus menjadi basis dalam pembangunan wilayah yang terintegrasi dengan pengendalian perubahan iklim ke dalam perencanaan spasial. Selain menjadikan perubahan iklim sebagai indikator kunci dalam formulasi target pembangunan. Dalam strategi Nationally Determined Contribution (NDC-2030) disebutkan untuk menuju pembangunan Indonesia rendah karbon melalui salah satu dukungan kondisi kepastian dalam perencanaan dan tata guna lahan. Untuk mencapai target ambisius zero emission pada 2050 Karuniasa (2021) dalam Independent Observer edisi Friday, Oktober 2021, Indonesia akan fokus pada sektor kehutanan dan penggunaan lahan antara lain percepatan pembangunan hutan tanaman industri dan pemantapan unit KPH.
Soal pembangunan hutan tanaman industri, apabila belum berubah dan masih relevan yaitu Peraturan Menteri Kehutanan No. P.12/Menhut-II/ 2015 tentang Pembangunan HTI yang mengatur Tata Ruang HTI. Bertujuan optimalisasi pemanfaatan ruang kelola dan keseimbangan lingkungan setempat, pembangunan sosial ekonomi masyarakat. Kedua tujuan mencerminkan sifat multifungsi hutan yang dirinci ke dalam alokasi areal tanaman pokok 70%, areal tanaman kehidupan 20% dan kawasan perlindungan setempat dan kawasan lindung serta areal sapras 10%. Di samping itu tata ruang ditapis lagi ke dalam 11 kriteria yang akan menghasilkan 4 (empat) kelompok : areal bekas tebangan yang masih ada tegakannya dipertahankan; areal tidak berhutan atau tidak produktif dapat diusahakan; areal bekas tebangan yang tidak dapat dihindari untuk diusahakan dan areal tidak sesuai untuk peruntukan dikembalikan fungsinya. Dengan menyelamatkan areal bekas tebangan yang dapat dipertahankan serta pengembalian fungsi areal hutan maka akan berkontribusi terhadap keseimbangan lingkungan dan pembangunan sosial ekonomi masyarakat setempat.
Peraturan Menteri LHK No.7 Tahun 2021 yang mengatur perencanaan kehutanan, secara eksplisit belum menggunakan istilah spasial sebagaimana diperlukan untuk menciptakan kondisi kepastian dalam perencanaan dan tata guna lahan. Secara nasional memberi landasan operasi bagi kebijakan Menteri LHK No.8 Tahun 2021 sehingga secara implementatif akan memfasilitasi perubahan peruntukan kawasan, perubahan fungsi kawasan hutan serta penggunaan kawasan hutan dalam menyeimbangkan kepentingan multiusaha dengan kepentingan multifungsi hutan.*
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Dokumentasi Andita A. Pratama (2019)