Oleh : Idi Bantara S.Hut., MSc (Kepala BPDASHL Way Seputih Way Sekampung)
Sudah sejak lama RHL menjadi salah satu program andalan KLHK. Namun di lapangan, banyak program RHL yang menemui berbagai kendala dan hambatan. Tidak sedikit bahkan yang menuai konflik. Hal itu tentu saja sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilannya. Potret RHL masa lalu mencerminkan belum optimalnya keterlibatan para petani penggarap lahan. Berujung pada efektivitas program. Realitas yang seyoganya memberikan banyak pembelajaran.
Bukan hanya soal anggaran, hasilnya pun sering menjadi polemik para pihak. Keterbatasan pemahaman pelaksana RHL akan kondisi biofisik lahan menjadi salah satu problem mendasar. Juga pengetahuan aspek sosial budaya petani penggarap. Pun komitmen para pelaksana RHL untuk terjun langsung ke lapangan. Menyatu dengan para petani dan warga masyarakat. Menjadi salah satu pembelajaran akan perubahan pendekatan RHL di masa depan.
Tak terbantahkan. Kunci keberhasilan RHL antara lain terletak pada menyatunya interaksi aparat kehutanan dengan petani. Bersama-sama menghijaukan lahan. Sekaligus mewujudkan peningkatan sosial ekonomi sang petani penggarap. Kuncinya, RHL tidak sekedar menghijaukan kembali hutan gundul lahan tak produktif. Lebih dari itu, RHL harus mensejahterakan. Membebaskan petani dan warga masyarakat dari belenggu kemiskinan. Termasuk membebaskan dari birokrasi bernama Proyek RHL. Sebuah perubahan radikal budaya RHL sebagaimana selalu digaungkan Presiden Joko Widodo. Dijalankan konsisten Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya, MSc. Revolusi mental RHL.
Secara konsepsi dan regulasi, Program RHL merupakan upaya memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan. Tentu untuk meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam menjaga sistem penyangga kehidupan.
Pengertian konseptual itu seringkali berat pemaknaannya bagi para petani yang memiliki pola pikir sederhana. Pun bagi para pelaksana RHL di lapangan. Intinya, di benak para petani adalah bagaimana menghutankan kembali kawasan hutan dan lahan gundul. Dengan memberikan manfaat sosial ekonomi konkrit kepada petani setempat. Sementara bagi aparat kehutanan, bagaimana merangkul petani agar mendukung dan terlibat penuh dengan program RHL yang diusungnya.
Memaknai konsep sederhana tersebut, Direktorat Jenderal PDASHL KLHK telah melakukan terbosoan baru. Merubah pendekatan program dan kegiatan RHL yang semula dilakukan pihak ketiga. Kini dilakukan melalui metode swakelola. Tak terkecuali di di Propinsi Lampung. Perubahan pendekatan dan metode RHL yang kini gencar dilakukan Ditjen PDASHL, KLHK ternyata memberikan manfaat yang sama sekali berbeda kepada petani. Bagaimana bisa ?
Efek langsung yang dirasakan petani adalah naiknya Indeks Keberhasilan Tanaman. Juga Kesiapan Lahan Siap Tanam. Semula, tanaman hidup rerata hanya mencapai prosentase dibawah 80 persen. Bukan hanya itu, di lapangan juga sering terjadi penolakan program RHL oleh para petani maupun warga masyarakat. Hari ini sungguh sangat berbeda. Prosentase hidup tanaman naik di atas 80 persen. Bahkan bisa mencapai 100 persen. Tercermin dari lokasi usulan RHL melalui proposal kelompok di setiap KPH kian meningkat. Bahkan, di Provinsi Lampung kini tercatat proposal usulan permintaan RHL tahun 2022 naik mencapai 20.000 ha. Dulu, menemukan areal yang hendak dihijaukan melalui program RHL sulitnya setengah mati. Hari ini, petani berbondong – bondong mengusulkan lahannya untuk di RHL-kan.
Perubahan lain, manajemen proyek bersifat sementara. Proyek selesai, selesai pula hiruk pikuk kegiatan di lapangan. Kembali sunyi senyap. Saat ini kondisinya berubah total. Di waktu jeda pasca kegiatan RHL, para petani RHL swakelola tetap merawat tanaman. Bahkan masih membuat bibit sulaman. Tentu juga menanam tanaman bawah tegakan. Karena para petani juga diajarkan membuat bibit. Sebagian bahkan sudah banyak yang terampil. Tidak sedikit yang telah mampu tampil menjualnya sebagai tambahan usaha. Memanfaatkan lahan – lahan kosong tidak produktif. Luar biasa.
RHL Swakelola juga menambah luas layanan KTH. Menyiapkan lahan baru kepada para anggotanya. Salah satu perbedaan paling terasa adalah pola relasi dan interaksi para pihak. Kedekatan dan keakraban yang sangat terasa antara aparat kehutanan dengan para petani kini merupakan sebuah keniscayaan. Saling percaya dan tidak ada lagi rasa saling curiga. Menjelma menjadi modal sosial yang kuat. Dengan target luasan yang sama, bibit produksi petani RHL juga sebagian untuk menanami lahan diluar kawasan atau lahan kawasan. Jauh lebih luas. Tersebab pembuatan bibit dikerjakan secara lebih efisien. Hal ini juga sekaligus merupakan upaya meningkatkan kesejahteraan petani. Jelas dan fokus. Nyata dan konkrit.
Bagaimanapun, kegiatan RHL swakelola atau padat karya dilaksanakan sebagai upaya untuk memenuhi target peningkatan luas penutupan kawasan hutan. Melalui keberhasilan RHL, secara bertahap mampu meningkatkan fungsi ekologi hutan, menguatkan aspek sosial ekonomi sekaligus kelembagaan Kelompok Tani Hutan (KTH). Termasuk juga target penurunan emisi GRK. RHL hari ini benar-benar dilaksanakan dengan cara memberdayakan KTH. Mulai dari perencanaan awal sampai pelaksanaan fisik di lapangan. Dengan kondisi pandemi hari ini, pelaksanaan RHL secara padat karya benar-benar mampu memberikan manfaat nyata.
RHL Swakelola diharapkan dapat menyentuh langsung kebutuhan petani hutan sehingga dapat memberikan kontribusi. Selain peningkatan produksi hutan juga pengentasan kemiskinan. Termasuk penyediaan lapangan kerja. Upaya tersebut merupakan wujud nyata kontribusi Pemerintah, Cq. KLHK dalam membantu upaya pemulihan ekonomi petani. Sektor yang tetap eksis dan berkibar saat pertumbuhan sektor – sektor lain anjlok dan kinerjanya “babak belur” dihajar pandemi.
Hutan bukanlah hamparan ruang kosong. Kawasan tak bertuan. Nir interaksi sosial ekonomi dan lingkungan. Terdiri dari lahan – lahan kosong yang bisa dikapling dan diklaim tanpa mempertimbangkan aspek historis, sosial ekonomi, lingkungan dan aturan hukum. Menyelenggarakan RHL di kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan harus mempertimbangkan berbagai aspek di atas. Sekali lagi, karena hutan dan lahan hutan bukan sebuah ruang kosong. Hampa. Tanpa interkasi dan kepentingan.
Dengan memahami karakter hutan dan lahan, maka RHL harus senantiasa adaptif terhadap dinamika perubahan. Wajib mempertimbangkan berbagai kondisional di atas. Sehingga terdapat sinergi antar pihak dan kepentingannya. Bukan sebaliknya. Saling menegasikan dan meniadakan eksistensi dan kepentingan masing-masing pihak. Yang berujung pada konflik panjang tak berkesudahan. Lampung adalah potret sempurna atas potret kegagalan sekaligus keberhasilan program RHL masa lalu dan masa kini. Melalui perubahan pendekatan RHL yang kini dilakukan secara swakelola berbasis pendekatan padat karya.
Dibanding pendekatan yang berbeda masa lalu, pendekatan RHL memiliki beberapa keunggulan. Terutama dengan pendekatan RHL Swakelola melalui progam padat karya. Beberapa keunggulan RHL swakelola padat karya antara lain meningkatnya semangat partisipatif dan gotong royong warga masyarakat. Ini sungguh sesuai dengan kredo dan karakter sosio kultural masyarakat. Tentu lebih mudah bagi semua pihak untuk memulai sebuah kegiatan yang pendekatannya dilakukan berbasis sosial kultural asli masyarakatnya.
Keunggulan lain program RHL berbasis swakelola padat karya pelaksanaannya menjadi jauh lebih efisien. Harga bibit jauh lebih murah. Dibandingkan harga bibit yang bersumber dari sistem kontraktual. Bagaiaman bisa ? Ya, karena pembibitan dilakukan sendiri oleh para petani. Bukan hanya manfaat ekonomis, namun juga meningkatkan kapasitas SDM petani. Mereka menjadi terampil membangun pembibitan dan membuat bibit. Membuka pintu masuk bagi peluang pengembangan usaha pembibitan. Baik sebagai sumber benih maupun pemasok benih.
Masih ada keunggulan lainnya. Melalui pendekatan swakelola dimana semua proses dan tahapannya dilakukan sendiri secara swakarsa yang dibantu BPDASHL, terdapat peningkatan rasa memiliki terhadap pohon yang sudah ditanam. Dulu tanaman RHL banyak yang dicabut petani. Sekarang, jangan coba mengganggu apalagi mencabut tegakan yang telah ditanam petani. Kalau tidak mau menerima resikonya. Semua keunggulan di atas, secara konkrit dan nyata telah mampu meningkatkan pendapatan petani. Sekaligus warga masyarakat setempat. Kredo hutan lestari masyarakat –petani- sejahtera bukan hanya jargon semata. Benar-benar mewujud di lapangan. Di desa – desa pedalaman hutan Lampung.
Penutup
Rehabilitasi Hutan dan Lahana (RHL), yang dilakukan BPDASHL Way Seputih Way Sekampung di Propinsi Lampung, telah dilaksanakan secara intensif oleh petani selama dua tahun terakhir. Dengan pendekatan swakelola, tanaman umumnya lebih bagus kualitasnya. Pun petani merasa memiliki. Sehingga terdapat tanggung jawab untuk memeliharanya.
Dana RHL sebagian besar disalurkan melalui rekening kelompok. Secara langsung tanpa perantara. Sehingga petani melakukan perbaikan dengan pola swakelola. Kegiatan RHL ini, dilakukan dengan sasaran menghijaukan kembali lahan – lahan terbuka tak produktif. Lahan bermasalah atau lahan yang sudah ditanami tanaman semusim oleh masyarakat. Dimana kondisinya hampir 75 persen rusak. Karena itu, program RHL dilakukan secara bertahap. Berdasarkan kebutuhan masyarakat petani. Hasil pengamatan lapangan mayoritas RHL yang dilakukan melalui swakelola padat karya oleh petani, memberikan hasil yang baik. Lebih terawatt dan lebih bagus volumenya. Juga lebih banyak bibit yang disiapkan dari yang ditetapkan. Pada akhirnya petani merasa memiliki.
Melihat semua realitas itu sungguh tak terbantahkan. Bahwa kinilah saatnya melakukan perubahan RHL. Yang dilandasi perubahan sikap mental untuk lebih memberikan ruang dan peluang kepada petani untuk mengembangkan potensinya. Melalui RHL swakelola dengan pendekatan padat karya. Mengembalikan peran aparat kehutanan sebagai fasilitator. Sementara petani hutan sebagai eksekutor. Sembari terbangun sikap saling percaya dan saling mendukung satu sama lain. Semua menemukan momentum terbaiknya melalui RHL swakelola padat karya berkelanjutan hari ini dan di masa depan. Semoga. ***