Oleh : Agung Nugraha
(Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Hari ini, Senin, 21 Juni 2021 genap sudah Presiden Joko Widodo berusia 60 tahun. Sebuah refleksi kisah perjalanan panjang seorang rimbawan tulen. Pasca lulus sarjana kehutanan berkarier di perusahaan HPH di Aceh. Kembali ke kampung halaman bertransformasi menjadi pengusaha kayu (baca : meubel). Tumbuh berkembang dan sukses. Memimpin ASMINDO Solo Raya. Hingga masuk ke dunia politik.
Awalnya Walikota Solo dua periode. Naik kelas menjadi Gubernur DKI Jakarta. Lajunya tak terbendung. Memenangi kontestasi Pilpres 2014. Joko Widodo dilantik sebagai Presiden RI ke-7 pada 20 Oktober 2014. Mengukuhkan kembali posisinya sebagai nakhoda NKRI. Dilantik Presiden RI periode kedua pada 20 Oktober 2019. Di hari jadinya ini, menarik mengkaji bagaimana sesungguhnya ideologi kehutanan yang diusung Presiden Jokowi ? Inilah dialektika paling menarik bagi seluruh rimbawan. Tanpa kecuali.
Rimbawan Pasca Kayu
Tak ada yang lebih membanggakan sebuah komunitas. Melihat keberhasilan seorang anggota keluarga besarnya memimpin NKRI. Sebagai Presiden. Sebuah fenomena langka. Entah kapan akan terulang. Seorang rimbawan yang berhasil menduduki kursi Presiden RI dua periode. Karena itu seyogyanya para rimbawan berupaya memahami secara kritis dialektis. Atas konsep-konsep pemikiran Presiden Jokowi. Komitmennya mewujudkan Indonesia hebat. Bermartabat. Di tengah percaturan politik sejagat.
Alih –alih paham -bahkan mendukung- kenyataannya justru sebaliknya. Ironi. Banyak rimbawan –senior apalagi junior- tidak kunjung mengetahui eksistensi pemikiran Presiden Jokowi. Gagal paham. Apalagi memaknai dan mengkontekstualisasi politik kehutanan yang tercermin dari kebijakan dan program Sang Presiden. Harus diakui. Presiden Jokowi adalah seorang rimbawan yang dengan sepenuh hati dan keyakinan pasti. Mengambil jalan politik kehutanan sebagai seorang “Rimbawan Pasca Kayu”.
Rimbawan paska kayu sesungguhnya sebuah konsep besar. Sebuah ideologi dimana rimbawan tidak lagi menempatkan kayu sebagai basis utama kelola ekonomi sumberdaya hutan. Pola pikir kehutanan konvensional yang berimplikasi kelola hutan ekstraktif. Menjadikan kayu (timber) sebagai orientasi utama. Kontekstualisasi sederhananya Rimbawan Paska Kayu adalah era kayu telah lewat.
Bagi Presiden Jokowi yang dibesarkan sebagai pengusaha kayu, mustahil menjadikan kayu tidak penting. Tentu saja kayu tetaplah memiliki nilai ekonomi. Pun ideologi kayu sebagai orientasi utama di era enam dekade lalu bukanlah sebuah kesalahan mutlak. Hanya, harus diakui ada banyak celah dan lubang yang tak berhasil ditutup dalam implementasinya. Yang menyebabkan implementasi ekstraksi kayu tidak sepenuhnya sesuai dengan konsep idealnya.
Sekali lagi Presiden Jokowi tetap menilai penting keberadaan dan peran kayu. Namun cara memperolehnya tidak harus berasal dari hutan alam primer. Kayu dalam perspektif Presiden Jokowi harus dan wajib berasal dari tegakan pohon yang ditanam. Dengan catatan di kawasan hutan yang layak sosial, lingkungan dan ekonomi. Antara lain hutan tanaman, wana tani ataupun hutan rakyat. Yang memang ditujukan khusus sebagai timber estate.
Karena itu, rimbawan paska kayu yang dianut Presiden Jokowi sesungguhnya merefleksikan sebuah neo ideologi kelola hutan dan pembangunan kehutanan. Hari ini dan masa depan. Dalam konteks rimbawan paska kayu, merefleksikan ideologi dan pandangan politik ekonomi kehutanan yang menolak bahkan anti kebijakan ekstraktif. Tercermin dari moratorium perijinan hutan alam primer dan lahan gambut. Presiden Jokowi justru melihat peran ekonomi kehutanan bukan pada orientasi hasil hutan kayu semata. Melainkan dalam bentuk ekosistem bentang alam –termasuk DAS- yang utuh dengan 90 % – 95 % seluruh potensinya. Mulai dari jasa lingkungan, ekowisata, flora fauna, hasil hutan non kayu hingga seluruh potensi ekosistemnya.
Karhutla Dan Perhutanan Sosial
Presiden Jokowi menyadari sepenuhnya. Terdapat dua mandat konstitusional yang senantiasa menjadi tugas sejarah setiap insan rimbawan. Termasuk pengusung dan penganut rimbawan paska kayu seperti dirinya. Kedua mandat itu (1) mewujudkan hutan lestari, dan (2) mewujudkan masyarakat sejahtera. Keduanya menjadi ideologi kehutanan. Dinamis sekaligus kontekstual.
Dalam kacamata manajemen strategik kehutanan Presiden Jokowi, terdapat dua aspek utama yang harus diupayakan dan diwujudkan. Pertama, hutan lestari hanya bisa diaktualisasikan melalui keberhasilan pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla), dengan mengedepankan pendekatan pencegahan. Kedua, masyarakat sejahtera hanya bisa direalisasikan melalui keadilan akses kelola hutan sekaligus pemerataan distribusi asset SDH. Diaktualisasikan melalui kebijakan sekaligus program perhutanan sosial -dan reforma agrarian-.
Intinya, Presiden Jokowi tidak hendak membebani hutan dan kehutanan sebagai lokomotif pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana kebijakan di masa lalu. Di sisi lain, semua kompleksitas persoalan kehutanan saat ini sebagai warisan kolektif akumulatif masa lalu harus bisa dipetakan. Dikoreksi dan selanjutnya ditata ulang. Sekaligus dituntaskan. Melalui kebijakan dan program pembangunan kehutanan yang adil, solutif dan berkelanjutan.
Pilihan strategi pencegahan karhutla selain karena alasan sosial ekonomi, Presiden Jokowi juga hendak menegaskan beberapa pesan sosial politik. Baik lokal, nasional maupun global.
Pesan pertama, Presiden Jokowi berkomitmen negara harus hadir secara nyata. Riil dan konkrit. Bahkan hingga di tingkat tapak. Selama ini bencana karhutla berlangsung setiap tahun. Mengesankan seakan akan negara –baik pusat, provinsi, kabupaten/kota bahkan hingga desa- absen. Bahkan terkesan tidak peduli. Semua mahfum dan paham. Sembilan puluh sembilan persen karhutla disebabkan perbuatan manusia. Hal itu menjadi dasar lapisan gunung es problematika karhutla.
Tak lain berbagai malpraktek illegal. Mulai penebangan dan perburuan satwa illegal, perambahan hutan, hingga penggunaan kawasan hutan lainnya secara illegal. Karhutla disinyalir merupakan strategi “cerdas tapi culas dan lagi keblalasan.” Membumi-hanguskan sekaligus menghapus semua jejak malpraktek kehutanan di atas. Untuk selanjutnya berharap memutihkannya (baca : legalisasi) melalui pengembangan lahan pertanian dan perkebunan produktif di kawasan hutan. Murah namun dengan untung luar biasa besar. Sementara penerimaan negara sama sekali “zonk”. Alias negara buntung.
Kalau hari ini ada terminologi keterlanjuran, memang bisa dipahami karena terdapat “blunder” kebijakan di masa lalu. Ekses buruk euphoria politik desentralisasi. Namun keterlanjuran pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dalam skala sangat luas -jutaan hektar- tentulah bukan sebuah nomenklatur sederhana bernama “keterlanjuran”. Melainkan bisa jadi “indikasi” sebuah desain “pembiaran berjamaah” secara sistematis. Massif dan melibatkan oknum struktural di berbagai lembaga negara. Lagi-lagi rakyat bukan hanya menjadi penonton. Namun sekaligus korban. Demikian pula hutan.
Pesan kedua, rimbawan RI-1 itu hendak menghadirkan rasa aman dan rasa nyaman kepada seluruh rakyat. Karhutla yang tak terkendali jelas menjadi ancaman langsung bagi kelangsungan dan keberlanjutan kehidupan warga masyarakat di tingkat tapak. Masyarakat desa hutan. Juga masyarakat adat. Termasuk ancaman bagi warga diluar kawasan hutan. Bahkan komunitas nasional dan regional tingkat ASEAN yang ribuan kilometer jaraknya dari pusat bencana karhutla.
Pesan terakhir, Presiden Jokowi hendak menyampaikan sinyal terang benderang. Terkait komitmen mengangkat martabat dan harga diri bangsa. Dampak karhutla tahunan, Indonesia (baca : Presiden RI) selalu diremehkan dan dicemooh negeri jiran. Termasuk kecaman komunitas internasional. Indonesia kehilangan integritas dan kredibilitas akibat tuduhan “parodi sandiwara keledai.” Refleksi pepatah binatang malang yang selalu jatuh ke lobang yang sama. Tersebab dinilai tidak mampu mengatur dan mengendalikan bencana karhutla yang hampir rutin berlangsung setiap tahun. Mengakibatkan kerusakan hutan dan lingkungan. Menghasilkan kabut asap hingga lintas batas negara. Termasuk menyematkan Indonesia sebagai juara emitter karbon kelas dunia.
Bagaimana dengan rasionalitas program perhutanan sosial ? Terdapat pula beberapa pesan politik yang hendak disampaikan presiden rimbawan itu.
Pesan pertama, Presiden Jokowi berkomitmen mewujudkan sebuah peradaban yang adil dan berperikemanusiaan sebagaimana mimpi para pendiri bangsa. Harapan para pejuang negara dan pahlawan nasional. Menjadikan hutan sebagai sumber hidup dan kemakmuran. Mewujud dari, oleh dan untuk rakyat Indonesia yang berkeadilan. Itu sudah merupakan sebuah harga mati. Tidak ada kompromi.
Pesan kedua, Presiden Jokowi hendak mewujudkan kedaulatan anak bangsa menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Pemilik hutan sekaligus pengelola lahan. Bukan sekedar pekerja atau buruh. Membiarkan rakyat menyaksikan “asing dan aseng” berpesta pora atas kelimpahan hasil hutan Indonesia adalah sebuah dosa pembiaran para elit dan politisi. Penyimpangan itu tak lebih hanya menghasilkan perilaku “sontoloyo.” Elit berkelakuan “badut” sekaligus politisi bermental “bandit.” Sebagaimana ungkapan ekstrim para aktivis. Sementara pemilik SDH sesungguhnya –masyarakat adat dan warga desa hutan- yang sah secara historis, sosiologis dan yuridis hanya menjadi penonton. Sungguh sangat ironis. Jelas tidak boleh lagi ada toleransi.
Pesan ketiga, Presiden tak hendak menunda pemberdayaan rakyat dan memajukan desa. Dihidupkan kembali setelah sekian lama dibuat lemah tak berdaya. Diaktualisasikan melalui kebijakan membangun dari pinggiran. Sudah saatnya semua pihak mengembalikan kiblat pembangunan kepada alur sejarah yang telah lama hilang. Tersebab diabaikan. Pemberdayaan masyarakat melalui perhutanan sosial memberikan sebuah pengakuan politik sekaligus perlindungan hukum. Guna mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Termasuk melalui revitalisasi desa dan rekonstruksi seluruh kelembagaannya. Mutlak tidak boleh ada negosiasi.
Secara lugas, intisari kebijakan pengendalian karhutla dan perwujudan program perhutanan sosial adalah aktualisasi nyata Presiden Jokowi atas konsep TRISAKTI dan NAWACITA. Menjadikan hutan dan kehutanan sebagai ujung tombak perwujudan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi sekaligus pengembangan identitas sosio kultural yang berkepribadian. Tidak ada konsep dan aktualisasi politik kehutanan yang lebih lugas dibandingkan Presiden Jokowi. Tak lain seorang presiden rimbawan. Seorang rimbawan yang sekaligus presiden.
Penutup
Ada banyak yang “mencibir”. Tak sedikit pula yang “nyinyir”. Atas komitmen revolusi mental Presiden Jokowi. Termasuk di kalangan rimbawan sekalipun. Bagi mereka yang “gagal paham” sangat wajar. Tersebab tidak kunjung memahami konsep dan orientasi rimbawan paska kayu. Sebagaimana digagas dan diusung Presiden Jokowi.
Betapa dengan penerapan kebijakan pencegahan karhutla dan perhutanan sosial, revolusi mental itu sesungguhnya sedang berlangsung hebat di sektor kehutanan. Dan tentu saja di kalangan rimbawan. Bahkan tengah terjadi pertarungan sosial, politik dan ekonomi. Dalam berbagai bentuk dan turunannya. Mulai dari pertarungan fisik dan kasat mata. Hingga yang bermain pada tataran narasi konsep dan dialektika.
Perubahan orientasi menuju rimbawan paska kayu adalah sebuah keniscayaan. Bagi Presiden Jokowi, revolusi mental itu tercermin dari hilangnya perilaku arogan, berpandangan sempit dan kaku ala kaca mata kuda. Bersikap intoleran kepada sektor lain, mempertahankan perilaku pencari rente, hingga menganut paham ekslusif yang menganggap non rimbawan sebagai “kaum liyan”. Asing bahkan teralienasi. Mempertahankan sikap dan perilaku seperti itu telah menyebabkan sektor kehutanan dan rimbawan distigma penghambat pembangunan. Bahkan menjadi musuh bersama (common enemy).
Sejarah akan mencatat. Apakah revolusi mental berbasis rimbawan paska kayu akan terwujud ? Atau sebaliknya. Gagal. Bisa jadi pula menghasilkan negosiasi baru. Kompromi politik ekonomi. Akulturasi sosial kultural. Semua bisa melihat dan membuktikan. Melalui aktualisasi mandat konstitusional hutan dan sektor kehutanan. Sebagai subsistem pendukung pembangunan nasional ke depan. Menuju seratus tahun Indonesia 2045. Indonesia yang adil, makmur dan berdaulat. Dengan 60 persen lebih wilayah Indonesia kawasan hutan, tidaklah mungkin mimpi pembangunan nasional bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat akan terwujud. Tanpa dukungan dan kontribusi sektor kehutanan. Juga partisipasi dan pengorbanan rimbawan.
Tak ada saran yang lebih bijak lagi elegan. Selain berdamai dan menerima perubahan. Seraya menyadari bahwa era kehutanan ekstraktif telah berlalu. Berganti orientasi. Sebagaimana diusung Presiden Jokowi. Sang rimbawan pasca kayu. Di hari jadinya ini, Presiden Jokowi jelas tak berharap kado mewah. Apalagi hadiah berlebihan. Mampu memahami sekaligus memaknai setiap pidato Presiden –refleksi konsep pemikirannya- saja sudah menjadi kado paling istimewa. Sangat berarti.
Akhirnya, selamat ulang tahun ke-60 Pak Jokowi. Semoga Allah SWT., Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, senantiasa melimpahkan berkah dan rahmat-Nya kepada Pak Presiden. Terus berjuang demi kemaslahatan seluruh rakyat sekaligus kegemilangan negara dan bangsa Indonesia. Aamiin YRA.***
* Tulisan disarikan dari ratusan naskah pidato Presiden Jokowi di berbagai forum acara dan kesempatan di sektor kehutanan dan lingkungan hidup periode 2014-2020.
**Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.