Oleh : Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Belakangan ini media ramai memberitakan. Pun berita di berbagai media sosial. Informasi yang sama menjadi pembicaraan hangat. Trending topic. Adalah pemberian gelar Profesor Kehormatan. Gelar Guru Besar tidak tetap yang disematkan civitas akademika Universitas Pertahanan (Unhan).
Pemberian gelar Profesor Kehormatan sesungguhnya merupakan sebuah hal biasa. Seluruhnya memiliki prinsip legalitas. Juga prosedur standar. Menjadi luar biasa, tatkala sosok yang memproleh gelar adalah tokoh kuat dan berpengaruh di jagat politik NKRI saat ini. Tak lain mantan pemimpin tertinggi NKRI ke-5. Presiden RI wanita pertama. Dr. Hj. Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri. Sangat popular dikenal sebagai Megawati Soekarnoputri (MSP), alias Mbak Mega.
Sudah pasti pemberian gelar profesor kehormatan itu memiliki rasionalitas kuat. Tentu ditopang serangkaian tujuan tersirat maupun tersurat. Pertanyaannya, bagaimana memahami pemberian gelar Profesor Kehormatan di atas dalam kacamata sosio kultural ? Termasuk memaknainya ditengah ramainya dialektika masyarakat yang masih kuat dengan budaya paternalistik. Beserta seluruh simbol-simbol budaya politik tradisional maupun modern.
Legenda Srikandi Banteng
Tak terbantahkan. Megawati Soekarnoputri sejatinya merupakan fenomena. Seorang legenda hidup. Bukan hanya dari perspektif sosio kultural. Namun tentu juga dari perspektif politik kekuasaan. Sosok dan kiprahnya berhasil menembus dominasi elit politisi pria. Menjelma menjadi salah satu putri terbaik bangsa. Memberikan kontribusi dalam sejarah perjalanan biduk negara. Terutama menjelang reformasi 1998 dan sesudahnya.
Sosok kharismatik, anak biologis sekaligus pewaris ideologis Proklamator RI itu mencerminkan kesempurnaan karakter seorang tokoh besar. Penuh kisah pergulatan hidup. Dari seorang Ibu rumah tangga biasa. Berubah drastis menjadi seorang tokoh politik istana. Hingga secara dramatis tak terbendung menjadi pemimpin bangsa. Jatuh bangun menjadi simbol perlawanan rezim (Orba). Hingga peran dan kontribusinya bagi kemaslahatan “wong cilik” (baca : rakyat). Termasuk membawa negara bangsa dari ancaman perpecahan dan kehancuran di era krisis pasca reformasi.
Potret kehidupan Srikandi Banteng itu memang ibarat putaran sempurna roda kehidupan. Menggelinding kencang tak tertahankan. Bak cokro manggilingan. Paripurna. Terlahir sebagai bagian dari dinasti politik tertinggi keluarga Proklamator di Gedung Agung, Yogyakarta 23 Januari. Tujuh puluh empat tahun lalu. Menjelma menjadi bagian dari trah Presiden RI ke 1. Tumbuh dipuncak kasta sosial politik istana. Namun sungguh ironis karena pada akhirnya justru menjadi seorang sudra diluar istana. Tahanan politik rezim pemerintahan saat itu. Hingga –secara langsung tak lagsung- berdampak terhadap perjalanan akademiknya. Dipaksa hidup sebagai rakyat biasa. Tersebab peristwa politik tahun 1965.
Pada akhirnya sejarah memanggil putri Sang Proklamator RI itu terjun ke gelanggang politik. Menjadi seorang politisi. Menduduki kursi anggota DPR RI hingga tiga periode. Selanjutnya sejarah menuliskan dalam tinta emas peran dan kontribusinya. Menjadi Wakil Presiden dan Presiden RI ke-5. Lahir di istana, terusir keluar istana, masuk kembali ke istana. Kini menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) –partai sempalan PDI- yang selalu menjadi pemenang kontestasi pemilihan umum. Sejak mulai era reformasi hingga saat ini.
Dengan rekam jejak ketokohan yang demikian lengkap, didukung capaian jam terbang politik yang telah mencapai puncak, sekaligus kompleksitas pengalaman panjang berliku, menyebabkan Mbak Mega memiliki pengetahuan implisit yang demikian dalam. Khususnya terkait soal kepemimpinan nasional. Lengkap dengan kemampuan dan kapasitas praksisnya dalam menghadapi sekaligus mengatasi berbagai persoalan rakyat. Bahkan juga krisis negara bangsa.
Semua itu menjelma menjadi sebuah pengetahuan riil nan konkrit. Terkapitalisasi namun tidak cukup bisa terkodifikasi. Karenanya sulit diungkapkan atau diekstraksi tersebab mengalir alamiah. Tidak menggunakan landasan konsep atau basis teori khusus. Dan karenanya pula, menjadi lebih sulit ditransfer dan ditransformasikan kepada orang lain atau masyarakat banyak. Kecuali dengan cara menuliskannya secara struktural. Atau melalui proses verbal.
Konkritnya, sang Srikandi Banteng mocong putih menjalani dunia pendidikan maupun akademik bukan melalui dominasi jalur formal. Sang legenda hidup Ketua Umum partai berlogo banteng bermoncong putih itu justru besar karena pengetahuan implisit non formal. Umum dikenal dengan istilah “tacit knowledge”. Pengetahuan yang digali dan ditimba ditengah praksis kehidupan nyata. Berpolitik menggunakan insting. Menjadi pemimpin dengan landasan moral dan nilai-nilai yang bersumberkan dari ideologi Pancasila.
Karenanya, gelar Guru Besar tidak tetap dari Universitas Pertahanan yang diterimanya itu kian melengkapi sekaligus mengukuhkan perjalanan intelektual Sang Srikandi Banteng. Setelah sebelumnya mendapatkan 9 (Sembilan) gelar doktor honoris causa. Baik dari dalam maupun luar negeri. Pada akhirnya, Megawati Soekarnoputri secara resmi memperoleh gelar Profesor Kehormatan. Diformalkan melalui orasi di depan forum senat guru besar dan civitas akademika Unhan dengan pidato ilmiah berjudul “Kepemimpinan Stratejik Pada Masa Krisis”
Melalui orasinya, Mbak Mega hendak menyampaikan dengan sangat gamblang. Bahwa sebesar dan seberat apapun ujian yang melanda bangsa Indonesia, sepanjang rakyat dan seluruh komponen bangsa konsisten dan senantiasa berpegang teguh pada Pancasila sebagai ideologi sekaligus dasar negara, maka kehancuran NKRI sebagai sebuah entitas negara bangsa adalah sesuatu yang mustahil. Termasuk kemustahilan terjadinya “desrupsi” NKRI sebagai akibat dinamika pesatnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak terkecuali perkembangan lingkungan strategis di era kesejagatan. Sampai kapanpun, Indonesia akan tetap berdiri kokoh dalam payung naungan Pancasila ditengah percaturan negara bangsa di dunia.
Memaknai Gelar Profesor Kehormatan
Bagi orang Indonesia yang masih sangat mengagungkan gelar formal –akademik- ditengah masyarakat, maka menyandang gelar profesor tentulah memberikan makna sosio kultural sangat besar. Termasuk berbagai implikasi dalam kehidupan sosial, ekonomi bahkan politiknya.
Gelar professor tentu berbeda dengan gelar akademik lainnya. Professor secara etimologis bermakna “seseorang yang dikenal oleh publik berprofesi sebagai pakar”. Profesor juga bisa bermakna seorang guru senior, dosen dan/atau peneliti. Dengan segala pengakuan hak dan kewenangan yang melekat pada gelar kepakarannya.
Dalam konteks pengukuhan Mbak Mega sebagai Guru Besar tidak tetap Unhan tersebut, terdapat beberapa tafsir sekaligus pemaknaan subyektif atas perspektif kerangka berpikir (logical framework) yang menjadi rasionalitasnya.
Pertama, posisi Mbak Mega sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). BPIP merupakan lembaga di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Memiliki tugas penting sekaligus sangat strategis. Membantu Presiden merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila. Termasuk memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila. Baik kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.
Mempertimbangkan penting dan strategisnya posisi politik BPIP, maka sudah selayaknya lembaga itu diketuai oleh seorang tokoh mumpuni. Kapasitas dan pengalaman sosial politik seorang Mbak Mega jelas tidak perlu disangsikan. Namun, dalam konteks kultur masyarakat Indonesia yang melihat kapasitas identik dengan gelar akademik yang disandangnya, maka pemberian gelar Profesor Kehormatan kepada Mbak Mega merupakan sebuah upaya untuk menyetarakan posisi sosio kulturalnya agar sesuai dengan penguasaan keahlian akademik di bidangnya. Yang selanjutnya akan memberikan pengakuan akan kapasitas Mbak Mega di tengah masyarakat.
Kedua, dengan posisi sebagai ketua Dewan Pengarah BPIP, maka sekaligus menempatkan pula Mbak Mega sebagai ketua Dewan Pengarah -Ex-officio- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). BRIN sebagai lembaga tempat berkumpulnya para pakar, bernaungnya kaum intelektual hingga wadah berkiprahnya kelompok masyarakat paling terpelajar secara formal, mengharuskan Mbak Mega memiliki kesejajaran. Tercermin dari kesetaraan gelar akademik yang tak kalah. Menjadikan posisi akademik Mbak Mega minimal sejajar. Harapannya, tidak ada lagi suara “miring apalagi nyinyir” terkait pertanyaan bahkan gugatan atas kapasitas akademik Mbak Mega.
Ketiga, apa yang telah dilakukan Mbak Mega saat menjadi Wakil Presiden dan terutama Presiden RI ke – 5 pantas menjadi sebuah model. Betapa tidak. Di tengah dahsyatnya turbulensi perubahan sosial politik pasca reformasi 1998, keberhasilan Mbak Mega mengawal dan mengantarkan transisi sosial politik NKRI tanpa perpecahan dan pertumpahan darah merupakan buah tangan dingin keberhasilannya. Mencerminkan sekaligus membuktikan kapasitas kepemimpinan stratejik Mbak Mega. Khususnya dalam menghadapi krisis politik yang diikuti krisis ekonomi yang mengancam eksistensi NKRI.
Kharisma Mbak Mega yang sangat kuat. Pengaruhnya yang kokoh mengakar hingga ke kelompok akar rumput (grass root), militansi “buta” kaum “wong cilik” yang rela berkorban “bela pati” cap jempol darah kepada Mbak Mega, serta keberadaannya sebagai Ketua Umum PDIP dengan kewenangan yang sangat besar –bahkan tanpa reserve- menunjukkan betapa efektifnya kepemimpinannya.
Tatkala partai lain tidak mampu menggerakkan mesin politik dalam berbagai momen kontestasi politik -Pilpres, Pilkada hingga Pileg- PDIP dengan kepemimpinan Mbak Mega justru membuktikan sebaliknya. PDIP sangat solid. Dibuktikan dengan selalu tampil sebagai pemenang Pemilu.
Penutup
Mudah diduga. Keputusan dunia kampus seringkali menghasilkan ekses non akademik. Menimbulkan polemik. Residu pro kontra. Bahkan nuansa kontroversial. Apalagi tatkala masyarakat Indonesia masih percaya serta meyakini nilai-nilai budaya politik dengan semua simbol-simbol beserta seluruh tafsirnya. Akan sangat sulit untuk tidak memaknai sebuah keputusan besar sebagai sesuatu yang nir makna politis. Tak terkecuali pemberian gelar Profesor Kehormatan kepada Mbak Mega.
Namun dengan memahami setiap rasionalitas peristiwa politik, warga masyarakat diharapkan memperoleh sebuah proses edukasi. Termasuk edukasi untuk memberikan tafsir politik atas rasionalitas umum yang berkembang di tengah masyarakat. Tak terkecuali peristiwa pemberian gelar Prefesor Kehormatan kepada Mbak Mega. Atas kapasitas kepemimpinan stratejiknya dalam menghadapi krisis Indonesia sesaat maupun pasca reformasi 1998. Setiap orang bebas memberikan tafsir budaya dan politik. Namun harapannya tentu tafsir itu tetap dalam koridor yang relevan dan rasional. Sehingga menjadi sebuah proses dialektika yang konstruktif dan produktif. Bukan sebaliknya. Destruktif dan kontra produktif. Semoga. ***