Oleh: Ir. Darori Wonodipuro, MM (Anggota Komisi IV DPR RI)
Sungguh sangat patut diapresiasi. Setelah hampir empat dekade akhirnya aktualisasi konsep perhutanan sosial benar-benar menjadi “jangkar” pembangunan kehutanan nasional. Ya, hari ini hutan untuk rakyat atau “Forest for People” yang diusung sebagai tema Konggres Kehutanan Dunia ke-8 tahun 1978 lalu di Jakarta tidak lagi hanya menjadi jargon. Tak semata – mata menjelma sebagai slogan kosong. Secara formal perhutanan sosial (PS) telah termaktub dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK).
Seperti biasa, konsep tidak selamanya sesuai kenyataan. Sebaliknya, rencana seringkali kedodoran dalam implementasi. Sebagai wakil rakyat, dalam beberapa pengamatan kunjungan lapangan disertai dialog dengan para konstituen di berbagai wilayah menghasilkan beragam fakta penting nan genting. Bahwa, aktualisasi PS –khususnya di Pulau Jawa- justru memberikan berbagai dampak dan ekses yang tidak diharapkan. Mulai dari perubahan bentang alam yang tak sesuai dengan fungsi kawasannya, ancaman timbulnya konflik horizontal antar warga masyarakat sebagai refleksi perebutan lahan hingga perubahan cepat konstelasi sosial politik di tingkat akar rumput. Konsekuensi lebih lanjut, selain akan merusak lingkungan, juga berpotensi menimbulkan gangguan sosial politik. Bahkan bila tidak cepat diantisipasi dan diatasi berbagai ekses negatip PS di Pulau Jawa bisa menimbulkan situasi “chaotic.” Disertai dampak sosial, politik dan ekonomi yang lebih luas.
Anomali PS Pulau Jawa
Konsep memang tidak selalu sesuai kenyataan. Asumsi tidak selamanya sesuai harapan. Fenomena lapangan adalah realitas faktual. Tidak bisa dikondisikan ideal. Ibarat sebuah riset yang mampu dikontrol sepenuhnya bak “ceteris paribus.” Keberagaman kondisi biofisik lahan bisa menjadi faktor penyebabnya. Pun keberadaan aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang bersifat khas, unik dan lokal spesifik antara satu wilayah dengan wilayah lainnya juga mengharuskan sebuah kebijakan dan program yang tidak bersifat general. Kata para leluhur bijak “ora iso digebyah uyah”. Lapangan dengan masyarakat di dalamnya adalah wilayah yang hidup dan dinamis. Aktif dan responsif sehingga membutuhkan proses dan tahapan. Termasuk sikap bijak dan sabar atas dinamika lapangan.
Persoalannya menjadi berbeda, tatkala ketidak-sesuaian konsep dengan realitas itu memang “by design”. Ibarat kura-kura dalam perahu. Sudah paham namun pura-pura tidak tahu. Bahwa, mempertimbangkan faktor biofisik dan aspek sosio kultural dan ekonomi masyarakat, program PS seyogyanya tidak dipaksakan. Yang justru berujung menghasilkan penyimpangan. Hal ini bisa menjadi bumerang serangan balik yang potensial dikapitalisasi sepihak oleh “pihak tak bertanggung jawab” yang tak menginginkan perubahan. Termasuk perubahan radikal dalam waktu cepat yang justru dinilai akan mengganggu kepentingan serta kemapanannya.
Ada banyak laporan masyarakat, LSM, akademisi dan para pihak lainnya. Soal ketidaksesuaian PS di Pulau Jawa. Dari berbagai temuan kasus ketidaksesuaian di atas, setidaknya terdapat empat kasus menonjol. Menghasilkan “anomali” PS di Pulau Jawa. Karena itu patut menjadi sinyal pertimbangan. Sekaligus menjadi lampu kuning pembelajaran.
Kasus pertama, praktek PS di Muara Gembong. Diresmikan tahun 2017 lalu langsung oleh Presiden Joko Widodo. Basis kegiatannya untuk produksi budidaya udang vename. Sekaligus merestorasi tanaman mangrove. Harapannya, dengan kejelasan alas hak lahan tambaknya melalui skema PS bisa mendongkrak produktivitas petani tambak. Apalagi Pemerintah mendukung penuh melalui pembangunan infrastruktur, dengan dukungan permodalan melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR). Belum lagi, sudah terdapat pihak yang akan menjadi “off taker” hasil panen budidaya udang tersebut. Namun, melalui sebuah kunjungan “incognito” atas perintah Ketua Komisi IV DPR RI, areal PS tersebut di lapangan justru mangkrak. Sangat memprihatinkan.
Kasus kedua, terjadi di Banjarnegara. Hutan lindung di dataran tinggi yang diberikan ijin kelola PS justru di babat masyarakat pemegang ijin. Diganti dengan budidaya tanaman kentang. Bayangkan, bentang alam yang semula kawasan hutan lebat untuk konservasi tanah dan air, justru dirubah menjadi areal pertanian kentang. Hal serupa tapi tak sama terjadi pula di kawasan Gundih. Dimana tanaman kayu putih yang memiliki fungsi penyerapan air sekaligus pelindung lahan dari erosi justru ditebang. Diganti budidaya ubi. Hal ini tentu sangat memprihatinkan karena PS di kawasan hutan lindung memiliki prinsip dan syarat yang sangat ketat. Prakteknya, PS justru tidak sesuai dengan asas kelestarian. Pulau Jawa yang sudah sangat terbatas proporsi luas kawasan hutannya, justru kian diperkecil. PS yang tak bisa dipisahkan dari aspek kelestarian justru menjadi ancaman fungsi lindung kawasan. Malpraktek yang justru membuka pintu masuk terjadinya bencana alam.
Kasus ketiga, PS yang secara konseptual menjadi solusi konflik lahan justru sebaliknya. Melahirkan konflik lahan. Fenomena kasus tersebut ditemukan di Malang Selatan. Lahan-lahan hutan produksi yang semula dikelola lembaga lokal justru akan diambil alih lembaga lain dengan masyarakat yang berasal dari luar wilayah kawasan hutan dimaksud. Tentu hal ini menimbulkan resistensi dan instabilitas. Berpotensi menimbukan konflik horizontal karena melibatkan dua kelompok dengan jumlah massa yang sangat besar. Tingginya konflik dan sensitifnya masalah lahan bagi masyarakat, jelas akan sangat mengancam jatuhnya korban.
Terakhir, fenomena anomali malpraktek PS di Pulau Jawa adalah maraknya jual beli ijin PS. Bisa dibayangkan betapa akan sangat kecewanya Presiden Jokowi yang telah memperjuangkan dan mengusung kepentingan petani gurem dan buruh tani yang notabene adalah “wong cilik,” justru berakhir tragis. Dikhianati para oknum pencari rente. Yang pada akhirnya hanya akan membesarkan kembali para pengusaha yang sudah demikian besar penguasaan asset lahannya. Potret riil yang telah menjadi lampu merah ancaman keberhasilan kebijakan dan program prioritas Presiden Jokowi : perhutanan sosial dan reforma agraria.
Menanti Permen PS
Hari ini pertaruhan keberhasilan pembangunan kehutanan, sekaligus perubahan yang diusung Presiden Joko Widodo tengah berlangsung. Seru, keras bahkan sangat dahsyat. Revolusi mental memang tengah berkembang. Dibangun dan diperjuangkan. Tak terkecuali di sektor kehutanan. Melalui terobosan UUCK beserta berbagai PP turunannya pelan namun pasti akan merubah proses bisnis kehutanan konvensional. Membongkar bentuk dan struktur kelembagaan pemegang ijin kelola hutan hingga dinamika nilai – nilai (values) yang harus dianut dan diterapkan. Targetnya jelas. Agar sektor kehutanan mampu membangun adaptasi. Tetap bisa bertahan bahkan terus berkembang sesuai dinamika pengetahuan dan teknologi di era maupun zamannya. Sebaliknya, tidak mengalami desrupsi. Bangkrut dan hilang tak berbekas menjadi artefak sejarah.
Terkait Permen Perhutanan Sosial, termasuk pengaturan PS di Pulau Jawa oleh perusahaan negara, seyogyanya Menteri Kehutanan Dr. Siti Nurbaya, MSc. Sebagai pemegang mandat tertinggi teknis kehutanan –dan lingkungan hidup- benar-benar menerapkan sikap kritis. Demi mewujudkan komitmen, visi dan misi Presiden Joko Widodo sebagaimana diusung melalui program Nawacita. Hal itu bisa terwujud melalui beberapa langkah strategis.
Pertama, melihat dengan jernih dan benar konteks PS di Jawa yang memiliki kondisi lingkungan bentang alam maupun biofisik lahan yang khas. Termasuk kompleksitas aspek sosial ekonomi dan budayanya. Memang, Presiden Jokowi selalu mengedepankan pendekatan Indonesia sentris, bukan Jawa sentris. Namun mengabaikan keunikan dan kekhasan Pulau Jawa dalam konteks PS berpotensi menimbulkan konsekuensi yang sangat mahal biaya sosial, ekonomi, lingkungan dan politiknya.
Kedua, dengan berpijak pada kritikan publik dan berbagai pemangku kepentingan yang merasa kurang dilibatkan dalam proses penyusunan UUCK dan beragam PP turunannya, seyogyanya hal itu tidak kembali terulang dalam proses penyusunan Permen LHK sebagai operasionalisasi langsung UUCK dan PP turunan bidang kehutanan. Ada baiknya, walau sedikit membutuhkan waktu lebih lama aspirasi dan pandangan para pihak tetap didengarkan dan diakomodasi dalam substansi pasal demi pasal Permen LHK. Ini bukan soal penghormatan publik. Namun jauh dari semua itu adalah membangun kultur birokrasi yang mengedepankan akuntabilitas penyusunan kebijakan. Legitimate. Tidak semata-mata normatif dan legal formal.
Ketiga, ada baiknya bila dalam proses penyusunan Permen PS dimaksud, dilakukan terlebih dahulu sebuah evaluasi komprehensif atas konsep dan implementasi kebijakan maupun program PS. Khususnya di P. Jawa. Dengan melibatkan para pihak yang kompeten, berpengalaman dan tentu saja independen. Termasuk jajaran Perum Perhutani sebagai saksi dan pelaku utama PS sesuai versi mereka. Evaluasi dimaksud harus dilakukan lembaga maupun individu yang memiliki rekam jejak kredibel dengan integritas yang diakui publik. Hal ini akan sangat membantu memetakan secara jelas dan tegas. Membedakan PS yang berhasil karena proses dan tahapannya akuntabel, kredibel dan legitimate. Sebaliknya, berhasil pula menyaring implementasi PS “abal – abal” yang hanya akan menghasilkan nila “moral hazard“ setitik membuat rusak keluhuran visi misi program PS secara keseluruhan.
Keempat, Komisi IV DPR RI selaku mitra kerja KLHK dari dulu hingga yang akan datang selalu membuka pintu lebar-lebar untuk sebuah kebersamaan sosial politik dengan Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya, MSc. beserta seluruh jajarannya. Demi terwujudnya pembangunan kehutanan yang adil, lestari dan berkelanjutan. Khususnya keberhasilan implementasi PS.
Akhirnya, PS di Pulau Jawa adalah sebuah keniscayaan. Komitmen Presiden Joko Widodo membumikan PS harus didukung sepenuhnya. Bukan karena secara konseptual menjadi solusi jitu berbagai persoalan akut dan kronis kehutanan selama ini. Lebih dari itu, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian akses kelola hutan seluas-luasnya memang sudah harus ditunaikan. Sesuai ideologi pembangunan kehutanan : hutan lestari rakyat sejahtera. Sejalan amanat konstitusi pengelolaan hutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mempertimbangkan bahwa pada saat ini di Perum Perhutani terdapat ± 150,000 ribu hektar kawasan yang tidak produktif, sementara di sekitarnya terdapat ± 5,000 desa kategori miskin, maka potret kondisi ini harus bisa dielaborasi secara cerdas dan kritis. Menjadi pintu masuk operasionalisasi PS di P. Jawa. Melalui Permen Perhutanan Sosial di Pulau Jawa. Sebagai tindak lanjut SK Menteri Kehutanan No 73 tahun 2021. Kita tunggu saja.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Dokumentasi pribadi penulis