Oleh: Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Tak pernah terbayangkan. Perum Perhutani yang selama ini dikenal kokoh kuat, menjadi kebanggaan rimbawan, kini menghadapi prahara. Bukan hanya akan merubah proses bisnisnya. Perubahan politik dan kebijakan itu bahkan diprediksi akan berdampak terhadap keberlanjutan operasionalnya. Termasuk masa depan SDM rimbawannya.
Adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang kini menjadi payung hukum berbagai sektor usaha. Dalam konteks penyelenggaraan kehutanan, telah terbit Peraturan Pemerintah No 23 Tahun 2021. Terkait kebijakan Perhutanan Sosial (PS) di Jawa, telah terbit SK Menteri LHK No. 73 tahun 2021 sebagai peraturan pelaksananya.
Konsekuensinya jelas. Sebagian areal Perum Perhutani akan diubah skema pengelolaannya menjadi areal PS berbasis Kawasan Hutan dengan Pengelolaan Khusus (KHDPK). Tidak main-main. Dari total kawasan seluas 2,2 juta hektar, akan direstrukturisasi menjadi areal PS seluas ± 800,000 hektar. Pertanyaannya, mampukan perubahan besar itu bergulir baik sesuai konsep dan tujuannya. Ataukah, akan banyak para penumpang gelap yang ikut bermain –bahkan berpesta pora- dalam tarik ulur kepentingan yang justru dikhawatirkan membelokkan agenda PS.
Sinyal Keras Perubahan
Perum Perhutani merupakan salah satu kelembagaan kelola hutan terbaik di Pulau Jawa. Dikenal harum akan keberhasilan pengelolaan hutannya. Menjadi standar prefesionalisme rimbawan. Pun menjelma menjadi kiblat kelembagaan pengelolaan hutan berbasis KPH. Pendek kata, Perum Perhutani pernah tercatat mengisi berbagai narasi sejarah keberhasilan kelola hutan di Indonesia, khususnya wilayah P. Jawa. Analog konsep pemikiran ekologi hutan Jawa adalah Indonesia kecil (Geerzt, 1976), maka Perum Perhutani ditasbihkan menjadi panutan kelembagaan kehutanan di Indonesia.
Stabilitas memang melenakan. Melahirkan status quo yang identik kemapanan. Cenderung anti perubahan. Hingga tiba masa perubahan yang diusung melalui gerakan reformasi 1998. Berhasil memporak-porandakan struktur dan kultur Perum Perhutani. Perhutani yang semula dianggap digdaya dan sangat stabil, tak berdaya dari “gonjang ganjing” reformasi. Perum Perhutani berada di persimpangan jalan. Alih-alih mengikuti gerakan perubahan melalui adaptasi bisnis dan corporate culture, yang terjadi justru sebaliknya. Adaptasi elitis mempertahankan status quo dibungkus semangat reformasi semu.
Jauh sebelum reformasi telah banyak literatur yang berisi tesis para pakar, premis akademisi dan proyeksi peneliti. Baik asing maupun domestik yang menyoal kebijakan kelola hutan di Jawa. Mengkritisi dan menggugat kinerja Perum Perhutani dalam mendongkrak kesejahteraan rakyat. Yang paling melegenda tentulah tulisan karya Nancy Lee Peluso. Sosiolog yang menghasilkan narasi besar berjudul Rich Forests Poor People (1992). Merekomendasikan konsep kehutanan sosial sebagai solusi problematika kelola hutan di Jawa. Diadopsi Perum Perhutani melalui program PHBM. Dua dekade kemudian, Program PHBM yang dilakukan Perum Perhutani dinilai belum optimal meningkatkan pendapatan masyarakat dan menurunkan konflik lahan (Awang, 2020). Tercermin dari potret kemiskinan masyarakat dan tingginya konflik lahan di desa-desa di sekitar kawasan hutan Perum Perhutani.
Itu baru sebagian. Dari sisi manfaat ekonomi riil kawasan hutan, termasuk kawasan hutan yang dikelola Perum Perhutani masih sangat rendah (Nurrochmat, 2021). Ironisnya, kinerja ekonomi Perum Perhutani yang dicerminkan dari laba perusahaan cenderung mengalami penurunan. Secara ekologis, kondisi itu diperburuk oleh perubahan luas tutupan hutan di P. Jawa dari sekitar 2,2 juta hektar (2000) menjadi 800 ribu hektar (2009).
Bagaimana dari sisi sosio kultural Perum Perhutani. Hal ini juga dipertanyakan dan digugat. Bahkan oleh Presiden Jokowi sendiri. Sang Presiden mengkritisi agar Perum Perhutani tidak berperilaku kolonial melebihi sang kolonial itu sendiri dalam mendistribusikan lahan berbasis sekma PS (2019). Sebuah tamparan keras akan sikap mental dan perilaku “oknum” Perum Perhutani yang seringkali dinilai jauh dari semangat kebangsaan dan konstitusi. Atas kondisi-kondisi tersebut, negara (baca : Pemerintah) memandang perlu mengupayakan perubahan kebijakan penataan kembali kawasan hutan di Jawa. Targetnya demi peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemulihan lingkungan kawasan serta menyehatkan kinerja Perhutani.
Dekonstruksi Kelola Hutan Jawa
Di era kepemimpinan periode pertama Presiden Joko Widodo, lahirlah kebijakan dan program PS (dan TORA). Kebijakan tersebut merupakan dekonstruksi atas kemapanan konsep kelola hutan yang selama ini menjelma menjadi narasi legal. Teks formal yang diacu sebagai sebuah kebenaran (Derrida & Christoper. 2017). Analogi konsep tersebut menyatakan bahwa kelola hutan dan penguasaan sumberdaya hutan identik dengan penguasaan negara (BUMN). Yang kemudian didistribusikan kepada para pemodal (BUMS). Kebijakan PS merupakan dekonstruksi teks kehutanan konvensional yang menjadikan keadilan akses kelola hutan dan pemerataan penguasaan asset sumberdaya hutan oleh rakyat banyak merupakan sebuah keniscayaan.
Dekonstruksi kedua atas konsep kehutanan konvensional adalah bahwa hanya melalui konsep efek menetes ke bawah (trickle down effect), maka kesejahteraan rakyat akan terdongkrak. Melalui konsep pembangunan yang mengejar pertumbuhan ekonomi berbasis kelola hutan Perum Perhutani, maka rakyat di P. Jawa akan terserap menjadi tenaga kerja. Termasuk penciptaan peluang usaha bagi masyarakat luas. Melalui dekonstruksi konsep tersebut, kini rakyatlah yang diberi kepercayaan mengelola hutan di Jawa secara langsung. Bukan sekedar menjadi mitra Perum Perhutani melalui entitas LMDH. Apalagi sekedar menjadi buruh dan pesanggem.
Yang palig penting, konsep dekonstruksi kelola hutan di Jawa tidak berarti menjurus pada penghancuran konsep lama (kelembagaan Perum Perhutani) tanpa solusi. Dekonstruksi justru menawarkan konsep baru menggantikan konsep lama yang telah usang. Dalam konteks kebijakan PS merupakan sebuah program prioritas sekaligus unggulan. Hingga periode kedua kepemimpinan Presiden Jokowi. Sebagai lanjutan upaya solutif kegagalan kelola hutan di masa lalu melalui perwujudan ideologi Nawacita. PS merupakan aktualisasi ideologi Nawacita. Meliputi negara hadir di tengah masyarakat, gagasan membangun dari pinggiran, komitmen produktivitas rakyat berdaya saing tinggi, serta mewujudkan kemandirian ekonomi.
Kebijakan PS berlaku dan diterapkan di seluruh Indonesia. Tak terkecuali di kawasan hutan di P. Jawa yang sebagian besar merupakan areal Perum Perhutani. Dari luas total PS yang ditargetkan sebesar 12,7 juta hektar, sampai saat ini telah terealisir 4,5 juta hektar. Dengan jumlah KK sebanyak 929,892 dan jumlah SK mencapai 6,899 (Suwito. 2021). Sementara capaian PS di areal Perum Perhutani sampai Maret 2021 telah mencapai 238.616,31 Ha, sebanyak 592 SK dengan 152.022 KK (Said, 2021)
Catatan Kritis
Kebijakan PS di Perum Perhutani telah bergulir kencang. Menggelinding membesar bak bola salju. Dari sisi hukum kebijakan tersebut tak terbendung. Tak mungkin mundur. Namun satu hal yang harus selalu dipertimbangkan adalah menjaga dan mengawal agar implementasinya sesuai dengan konsep dan tujuan awalnya. Narasinya tidak boleh berubah bahkan berbelok melenceng keluar jalur. Yang justru paradoks karena kian memperbesar ekskalasi konflik. Bahkan bisa melahirkan konflik baru. Kedua, mampu meminimalkan potensi masuknya para penumpang gelap dan pencari rente. Para avontourir politik yang hendak mengail di air keruh. Demi pemenuhan target ekonomi individu maupun kepentingan politik kelompok.
Kebijakan PS di Jawa jelas sangat potensial. Luar biasa strategis. Bernilai ekonomi sangat tinggi. Memiliki dampak politik signifikan. Lahan adalah kebutuhan hidup setiap orang. Diperjuangkan bahkan dipertaruhkan dengan segenap jiwa. Lahan di Jawa memiliki nilai yang sangat penting dan strategis. Karena itu, sikap bijak dan kehati-hatian dalam implementasi kebijakan PS di P. Jawa adalah sebuah keniscayaan. Tanpa meninggalkan sikap tegas, konsisten dan non diskriminasi. Tersebab keberhasilannya akan menjamin terwujudnya legacy keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak. Namun kegagalannya bisa sebaliknya. Menimbulkan gelombang konflik yang bila tak terkendali. Bahkan mengarah pada situasi chaotic sosial politik.
Melihat dinamika kebijakan PS di Jawa, terdapat beberapa catatan kritis. Harus segara dilakukan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Dr. Siti Nurbaya, MSc.
Pertama, kembali pada khitah PS yang mengedepankan pemenuhan hak masyarakat lokal maupun asli setempat. Jangan sekali kali, orang yang tidak jelas dan berasal dari antah berantah dan ribuan kilometer jauhnya tiba-tiba memperoleh hak ekslusif mengelola kawasan hutan. Sementara warga masyarakat setempat asli yang telah berpuluh tahun menjadi petani penggarap atau mitra kelembagaan Perum Perhutani justru diabaikan.
Kedua, terhadap banyaknya informasi jual beli SK dan lahan PS di Jawa yang kini beredar, harus segera diverifikasi. Apakah ini sekedar rumor atau memang faktual. Selanjutnya dipastikan bila terbukti maka harus dilakukan tindakan tegas berupa pencabutan SK. Bila hanya rumor, maka ini jelas bagian perlawanan dari para status quo yang terancam eksistensi dan kepentingannya atas kebijakan pro rakyat. Kebijakan PS.
Ketiga, memahami benar keberadaan pendamping masyarakat yang tergabung dalam berbagai kelompok LSM, Ormas, dan kelembagaan lainnya. Harus tercatat rekam jejaknya sebagai individu dan kelompok yang telah sejak lama dikenal berkecimpung dan mengabdi sebagai pendamping masyarakat. Bukan individu apalagi elit ormas yang terafilisasi partai politik tertentu. Harapannya PS tidak menjadi alat menghimpun sumberdaya bagi kepentingan kekuasaan 2024. Politik PS sangat penting. Namun politisasi PS wajib dihindari. Tersebab diyakini hanya akan menghancurkan PS. Termasuk merusak kelembagaan KLHK serta merendahkan marwah dan citra rimbawan.
Keempat, kepada segenap jajaran elit Perum Perhutani diharapkan tidak melakukan langkah-langkah “politik” yang justru akan menjadi “blunder” bagi kehancuran institusi dan kerugian seluruh SDM-nya. Termasuk kerugian atas kawasan hutan dan warga masyarakatnya. Menggandeng atau bahkan melibatkan berbagai pihak justru akan memperluas areal “pertarungan politik”. Konsekuensinya, akan semakin memperkeruh situasi. Ingat adagium konflik. Semakin banyak pihak yang terlibat konflik, maka penyelesaiannya pun akan semakin sulit dan kompleks. Tersebab setiap pihak memiliki agenda dan kepentingan masing-masing.
Akhirnya, kebijakan PS mutlak harus dijalankan sesuai khitahnya. Perum Perhutani dan warga masyarakat harus mampu memaknai sekaligus memanfaatkan kebijakan tersebut secara tepat. Menjadikan kebijakan PS sebagai momentum solusi konflik lahan. Sekaligus menjadikan Perum Perhutani kembali berjaya dengan fokus bisnis yang efektif dan efisien. Demi kesejahteraan masyarakat. Semoga.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Dokumentasi penulis
Mengenai kebijakan / Regulasi PS hedaknya harus hati hati dalam pelaksanaanya,petugas kami ( Mohon maaf ) banyak belum paham secara detail tentang Aturan PS maka agar tercapai PS Yng tujuanya Mulya harus ada tim pendamping yang betul betul punya lisensi / kredibel, dalam menterapkan Regulasi ini ,dan juga harus inten / intensif terutama pada lokasi 2 perhutani Yng tekanan masyarakatnya agak ektrim..agar tidak terjadi salah tapsir di masyarakat tentang PS Yng pada akhirnya jd konplik ..