Oleh: Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Perpres itu akhirnya terbit juga. Mengakhiri bisik – bisik beberapa bulan terakhir. Sekaligus memastikan rumor yang selama ini beredar. Adalah Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Badan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden itu dipastikan akan mengintegrasikan seluruh lembaga penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi. Dibawah kewenangan penuh Presiden.
Dalam konteks pembentukan BRIN dan BRIDA, bagaimana para pihak memahami maksud dan memaknai tujuan lembaga penelitian nasional -dan daerah- ke depan ? Adakah upaya politisiasi lembaga penelitian dan para penelitinya sebagaimana dikritisi sebagian pihak. Termasuk bagaimana konteks keberadaan dan peran litbang kehutanan dalam konstelasi BRIN. Tak terkecuali proyeksi kiprah dan peran para penelitinya ke depan.
Desakralisasi Lembaga Negara
Litbang bukan institusi seksi. Seringkali diabaikan sebagian elit dan para politisi. Namun bagi yang paham, keberadaan dan peran litbang memiliki posisi penting dan strategis di setiap negara. Tersebab menjadi salah satu tolok ukur kemajuan. Juga komitmen mewujudkan rasionalisasi pola pikir dan modernisasi iptek warga masyarakatnya. Tercermin dari kualitas riset, invensi dan inovasi. Berbanding lurus dengan besaran anggaran riset dan penelitian.
Kebijakan peleburan litbang yang ditindaklanjuti penyatuan menjadi lembaga penelitian baru telah menuai berbagai konsekuensi. Pro kontra hingga kontroversi. Implikasi dimaksud tentu sedikit banyak terkait pandangan subyektif para pihak. Termasuk kepentingan dibalik kebijakan peleburan dan penyatuan itu. Hingga sejauh mana politik akomodasi kepentingan para pihak dimaksud.
Bagi mereka yang selalu berpikir stabilitas (baca: zona nyaman), maka tidak akan pernah membayangkan perubahan cepat. Apalagi radikal. Perubahan umum di sebuah lembaga negara adalah mutasi atau rotasi. Seringkali diikuti perubahan tupoksi. Masih dalam batas toleransi. Kalkulasinya pun bisa diprediksi. Termasuk diantisipasi. Namun tentu berbeda bila perubahan tersebut menyangkut eksistensi organisasi. Perubahan radikal dalam bentuk pembubaran atau peleburan jelas bertentangan dengan paham stabilitas yang diyakini selama ini.
Lebih jauh, keberadaan dan peran lembaga negara –konon- bersifat final. “Given” dan “Taken for granted.” Mustahil berubah drastis. Apalagi bubar. Kenyataannya, hari ini seluruh keberadaan badan litbang kementerian dilebur. Disatukan dalam lembaga baru bernama BRIN. Kebijakan tersebut terbukti nyata. Pasca terbitnya Perpres No. 33 tahun 2021.
Tampaknya, pola pikir Bussines As Usual sebagai refleksi “status quo” di kalangan para peneliti harus mulai dibuang jauh. Presiden Jokowi justru kembali melakukan sebuah terobosan out of the box. Membuka kotak Pandora politik desakralisasi lembaga negara. Dalam hal ini lembaga penelitian di seluruh kementerian dan beberapa lembaga penelitian khusus lainnya.
Dalam kacamata Presiden, sebuah lembaga negara yang tidak sejalan maksud dan tujuan, tentulah kontrakdiktif. Lembaga penelitian namun justru tidak pernah menghasilkan terobosan iptek tepat guna. Bermanfaat bagi kemaslahatan dan kehidupan keseharian warga masyarakat. Karenanya, ditengah dinamika global dan pesatnya perubahan lingkungan strategis, upaya menyesuaikan berbagai kelembagaan negara –termasuk lembaga penelitian- adalah sebuah keniscayaan. Tujuannya meningkatkan kualitas iptek nasional. Memperbanyak inovasi maupun temuan teknologi terapan. Demi memenangi kompetisi global.
Ada sisi baik pembubaran litbang kementerian. Menyatukannya dalam lembaga BRIN. Sebuah desakralisasi lembaga penelitian. Mestinya para peneliti litbang berbagai kementerian bisa memanfaatkan momentum tersebut. Dengan mengembangkan kreativitas guna membangun spirit kebebasan berpikir. Menggali orisinalitas ide dan gagasan. Membangun keberanian berpikir out of the box. Sekaligus membangun jiwa kompetisi untuk menjadi peneliti terbaik. Bukan sekedar riset ilmu untuk ilmu. Ataupun penelitian sekedar mengumpulkan nilai (cum). Yang sangat dibutuhkan adalah riset yang tepat guna. Bermanfaat bagi dunia nyata.
Ambiguitas BRIN
Di tengah keberanian melakukan desakralisasi eksistensi lembaga negara yang diharapkan bisa memberikan angin segar, Perpres BRIN masih menyisakan celah. Bahkan lubang hitam yang wajib diklarifikasi. Bersifat ambigu. Dikhawatirkan justru menjadi titik lemah. Sasaran tembak. Selain akan bertentangan dengan semangat membangun kreativitas, kebebasan berpikir dan berani bersikap kritis, juga akan membuka peluang pemanfaatan BRIN bagi kepentingan non riset. Beberapa titik lemah tersebut terbaca dalam beberapa klausal Perpres BRIN.
Pertama, kebetulan atau “by design” struktur BRIN sama bahkan identik dengan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Keduanya terdiri dari dua sub kelembagaan. Sama-sama terdiri dari Dewan Pengarah (DP); dan Pelaksana (Pasal 5). Pertanyaan ini sangat mudah mengemuka, termasuk mudah “dipolitisasi” tersebab selain kesamaan struktur, dari sisi keanggotaan personalia BRIN juga terkait erat dengan BPIP. Disebutkan bahwa keanggotaan DP BRIN terdiri dari (1) Ketua; (2) Wakil Ketua; (3) Sekretaris; dan (4) Anggota (Pasal 7 ayat 1).
Lebih lanjut dinyatakan bahwa Ketua DP BRIN secara ex-officio berasal dari unsur DP badan yang menyelenggarakan pembinaan ideologi Pancasila (Pasal 7 ayat 2). Mengapa BRIN –tempat para peneliti independen- Dewan Pengarahnya harus diketuai oleh salah satu unsur DP BPIP. Begitu strategisnya BRIN. Sebaliknya, begitu lemahnya BRIN dari basis ideologi Pancasila. Lalu bagaimana badan atau kementerian lain ? Agar tidak menimbulkan tuduhan masuknya kepentingan politik mestinya hal ini seyogyanya perlu diperjelas.
Kedua, mengapa perlu penjelasan atau bahkan klarifikasi ? Tersebab peran DP BRIN sangat penting. Tidak main – main. DP BRIN –sebagaimana Perpres- mempunyai tugas memberikan arahan kepada Kepala BRIN yang notabene CEO BRIN. Dalam merumuskan kebijakan dan penyelenggaraan penelitian, pengembangan, pengkajian, dan penerapan, serta invensi dan inovasi. Termasuk pengawasan dan pengendalian (Pasal 4). Satu hal yang sangat sensitif, arahan DP BRIN dimaksud menjadi landasan dalam perencanaan pembangunan nasional di segala bidang kehidupan yang berpedoman pada nilai Pancasila (Pasal 6).
Merujuk Perpres, BRIN memiliki jangkauan kegiatan riset sangat luas. Mencakup 7 Deputy bidang plus satu OPL. Seluruhnya menyangkut hajat hidup saat ini dan di masa depan. Tentu dalam konteks penelitian riset, kajian, invensi dan inovasi. Artinya, BRIN bisa membuat hitam putihnya penelitian di semua bidang kehidupan yang hasilnya menjadi landasan perencanaan pembangunan nasional. Sementara, diakui atau tidak setiap penelitian tidak ada yang benar-benar netral dan bebas nilai. Tersebab roh sebuah riset ditentukan maksud dan tujuan dengan konsekuensi pilihan metodologinya.
Ketiga, bagaimana implementasi dan tata hubungan kerja hasil riset BRIN yang akan menjelma menjadi landasan perencanaan pembangunan nasional. Bagaimana korelasi BRIN dengan BAPPENAS yang selama ini telah menjadi “dapur” penyusun rencana pembangunan nasional. Apakah posisi BRIN – BAPPENAS saling sejajar ataukah saling sub ordinat. Penjelasan dan klarifikasi ini penting karena keberadaan kedua lembaga memiliki legalitas dan dasar hukum yang berbeda. Namun pendekatan dan atau intervensi politik bisa saja membuat perbedaan itu pudar bahkan hilang. Menghasilkan tata hubungan baru yang lebih nyata dan operasional.
Terakhir, kalaulah Ketua DP BRIN secara ex officio adalah anggota BPIP, maka pertanyaannya apakah kedudukan di BRIN tersebut bersifat kolektif (seluruh anggota DP BPIP) ataukah individual. Bila individual, siapa yang pantas menjabat sebagai Ketua DP BRIN, sehingga tidak menimbulkan “syahwat” politik maupun “vested” ekonomi. Sesuatu yang dikhawatirkan bisa menghasilkan kerumitan dan komplikasi sosial politik.
Posisi Litbanghut
Membaca Perpres BRIN, bagi Litbanghut –minus LH- dan para penelitinya apakah merupakan sebuah kemajuan ataukah sebaliknya. Kemunduran ? Pertanyaan bahkan gugatan ini pantas mengemuka tersebab hilangnya bidang kehutanan dalam struktur organisasi kedeputian BRIN (Pasal 9).
Harus diakui, kehutanan tidak memiliki jangkar bidang khusus dalam kedeputian BRIN. Artinya, Balitbanghut tidak dinyatakan secara eksplisit. Sebaliknya, kedeputian bidang yang selama ini beririsan dengan kehutanan hampir seluruhnya eksis. Sebut misalnya Deputy sumberdaya alam, lingkungan hidup, pangan, energi, kebencanaan dan sebagainya. Ada apa dengan kehutanan ?
Pertanyaan berikutnya, akan kemanakah struktur organisasi Balitbanghut menginduk ? Konkritnya, kelembagaan Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Puslitbang Hasil Hutan, Puslitbang Hutan Tanaman, dan Puslitbang Sosial, Ekonomi dan Kebijakan akan menginduk kepada struktur kedeputian apa ? Termasuk kelembagaan Balai Besar Penelitian Dipterocarpa serta Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Hutan.
Lebih jauh, setali tiga uang dengan pertanyaan di atas, maka Balai Penelitian Kehutanan (BPK) yang saat ini tersebar di berbagai wilayah di seluruh Indonesia tentu akan menginduk ke BRIDA. Lalu bagaimana proyeksi peleburan itu. Apakah masih akan memiliki otoritas dan otonomi sebagaimana kedudukan dan kewenangannya selama ini. Atau, jangan-jangan keberadaannya dianggap “tidak penting” dan karenanya bisa dilikuidasi. Kalaupun masih eksis, sebuah kepastian yang harus diterima adalah dilakukannya “down grade” struktural. Baik posisi Litbanghut di pusat (BRIN) maupun BPK di daerah (BRIDA). Benar-benar sebuah ketidakpastian yang harus segera dipastikan agar memberikan kepastian di masa depan.
Akhirnya, sesungguhnya eksistensi peneliti – fungsional- tidak ditentukan label struktural. Melainkan lebih pada kompetensi dan kapasitas. Keputusan BRIN sudah final. Dengan segala resiko dan konsekuensi. Kinilah saatnya bagi peneliti kehutanan untuk membangun adaptasi baru. Siapapun, dimanapun dan kapanpun, peran dan kiprah peneliti kehutanan masih akan tetap dibutuhkan. Semuanya memang akan sangat tergantung mentalitas dan cara pandang. Konstruktif dan adaptif atau sebaliknya. Dekonstruktif dan hilang lenyap. Quo vadis?
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Dok. pribadi penulis