Oleh: Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Dalam sebuah perbincangan, beberapa remaja dan mahasiswa –pasca sarjana- bertanya kritis. Sangat serius. Mengapa Pemerintah berkomitmen rendah atas keselamatan generasi mendatang. Seraya menggugat, para pemuda itu melanjutkan. Bukannya melindungi ekosistem dari bahaya ancaman beragam bencana. Sebaliknya. Pemerintah justru abai atas keberlanjutan ekosistem bumi. Sang remaja dan mahasiswa bahkan menghujat KLHK. Termasuk mengecam Sang Menteri yang dinilai nir empati “sense of crisis” perubahan iklim.
Setelah melalui dialog intens, barulah tersadar. Para generasi muda itu bersikap kritis bahkan cenderung “ekstrim” setelah membaca berbagai pernyataan elit dan tokoh. Salah satunya ungkapan Dr. Dino Patti Jalal. Direktur Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI). Sang diplomat itu mengungkapkan kekecewaan kepada KLHK terkait target capaian bebas emisi atau net-zero emission. Pada acara webinar “Indonesia Net Zero Summit 2021 berkaitan Darurat Perubahan Iklim,” Selasa, 20 April lalu. Dino mengharapkan komitmen Pemerintah RI yang lebih ambisius dalam dokumen perubahan iklim.
Sungguh mengembirakan. Melihat potret budaya literasi generasi muda hari ini. Responsif. Kaya pengetahuan isu-isu penting strategis. Namun, para generasi muda yang umumnya “masih hijau”, selayaknya juga mencari tahu lebih dalam dalam tentang isu yang berkembang. Termasuk memverifikasi pendapat para tokoh maupun publik figur terkait. Sehingga pemahamannya menjadi lebih utuh dan seimbang. Harapannya bila kelak mengemban tugas sebagai pemimpin akan menjadi jauh lebih “bijak.”
Geopolitik Perubahan Iklim
Fenomena perubahan iklim telah menjadi pengetahuan umum. Dampaknya telah menjelma menjadi sebuah ancaman nyata. Komitmen untuk mengatasinya menjadi kesepakatan komunitas global. Sampai disini semua masih bersifat linier. Universal.
Dialektikanya menjadi tidak linier tatkala sudah membahas kepentingan mikro setiap negara. Komparasi geopolitik dan geostrategik masing-masing. Mulai masuk ranah kepentingan politik ekonomi dan lingkungan. Dibungkus kuantifikasi target dan tata waktu. Lebih pelik lagi ketika sudah masuk skema perhitungan. Metodologi. Disini sudah mulai muncul negosiasi. Tarik ulur kepentingan masing-masing negara. Mulai cara halus. Hingga mengarah pada tekanan menyudutkan. Bahkan seringkali dalam wujud psy war. Pertarungan ide dan pemikiran yang bermuara untuk memenangi kompetisi dan pertarungan. Tidak jarang tanpa disadari mengarah pada konsep neo colonialism. Di era modern bahkan post modernism hari ini.
Ya, perubahan iklim telah menjadi narasi geopolitik. Diksinya sangat kental pertarungan kepentingan setiap negara. Hal ini sesuai konsep geopolitik, Frederich Ratzel (1944-1904). Sang penemu konsep geopolitik modern itu menyatakan bahwa hakekatnya pertumbuhan negara mirip pertumbuhan organisme (makhluk hidup). Ia memerlukan ruang hidup (lebensraum) cukup agar dapat tumbuh dengan baik. Demi mempertahankan hidup dan menjaga kesinambungan siklus kehidupannya. Bertahan (survive) dan berkembang. Secara lintas generasi.
Kembali ke dialektika bebas emisi para generasi muda calon pemimpin bangsa di atas. Betapa eratnya korelasi perubahan iklim dengan geopolitik. Tidak terpisahkan. Perubahan iklim disebabkan tingginya laju emisi karbon. Terutama dari negara-negara Industri maju. Indonesia juga menjadi emitter. Antara lain melalui pembangunan yang berdampak terjadinya deforestasi dan degradasi lahan. Namun karena keberadaan hutan tropisnya yang sekaligus menjadi penyerap karbon, maka posisi Indonesia menjadi sangat istimewa. Indonesia dibutuhkan karena kemampuannya menurunkan emisi global melalui skema REDD+.
Sekali lagi, disinilah betapa komunitas dunia membutuhkan Indonesia. Untuk membantu mewujudkan target bebas emisi alias net zero emission. Tak perlu diragukan. Sudah tentu Indonesia memiliki komitmen pencapaian bebas emisi. Namun -sekali lagi- Indonesia juga harus mempertimbangkan kepentingan nasionalnya. Jangan sampai Indonesia menjadi penyerap karbon dunia, namun rakyatnya kelaparan karena nihilnya kontribusi hutan tropis. Tersebab sumberdaya hutannya tersandera kontrak politik kepentingan global.
Ibaratnya, Indonesia bak sebuah lilin. Menerangi sekitarnya, namun karena membakar diri akhirnya redup dan mati. Indonesia harus mampu menerangi dunia, namun pada saat yang sama mampu selalu menjaga nyala api agar tak pernah padam. Baik atas kemampuan sendiri maupun skema take and give. Resiprositas komunitas global. Agar nyala api eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa selalu terjaga. Berdaulat penuh dan bermartabat secara berkelanjutan. Sebagaimana konsep geopolitik Ratzel.
Memaknai Kepentingan Politik RI
Dengan tetap menghargai kritikan bahkan kecaman para elit dan tokoh nasional, setidaknya kepentingan nasional terkait perubahan iklim telah tercermin dari pernyataan politik Presiden Joko Widodo. Sebagaimana disampaikan dalam konferensi The Leaders Summit on Climate 22 April lalu. Terdapat tiga hal utama yang diungkap Rimbawan Bulaksumur itu.
Pertama, Indonesia sangat serius dalam pengendalian perubahan iklim dan mengajak dunia melakukan aksi-aksi nyata, to lead by example. Laju deforestasi Indonesia saat ini turun terendah dalam 20 tahun terakhir. Penghentian konversi hutan alam dan lahan gambut mencapai 66 juta hektare, lebih luas dari gabungan luas Inggris dan Norwegia. Penurunan kebakaran hutan hingga sebesar 82 persen di saat beberapa kawasan di Amerika, Australia, dan Eropa mengalami peningkatan terluas.
Betapa ungkapan Presiden sangat terang benderang. Bahkan telah “menampar” negara-negara tertentu yang hanya bisa “obral janji”. Namun nihil realisasi. Indonesia tidak perlu dibimbing apalagi diajari soal komitmen penurunan emisi. Selama ini Indonesia sudah melakukan langkah nyata. Konkrit. Bahkan dalam skala yang lebih luas. Indonesia tidak mau bertele-tele. Dengan cara-cara berliku sarat skenario ketidakpastian.
Seperti contoh penawaran “gula-gula” bantuan penurunan deforestasi dan degradasi melalui berbagai skema dan bentuk. Indonesia dengan kultur masyarakat yang “konsisten” dan “menepati janji” selalu berupaya menjaga satunya kata dan perbuatan. Menyatakan komitmen tanpa “mengukur baju badan sendiri” justru akan menyusahkan pemimpin yang akan datang. Termasuk membebani generasi mendatang. Itu yang mutlak harus disadari para generasi muda calon pemimpin bangsa. Jangan mudah terpancing pemimpin atau tokoh yang mudah berkomitmen. Pemimpin atau tokoh seperti itu, demi popularitas diri bila perlu negara pun dijual. Diobral bahkan “dicuci gudang”. Tak bernilai.
Kedua, Presiden menyambut baik target sejumlah negara menuju net-zero emissions tahun 2050. Namun agar kredibel, komitmen tersebut harus dijalankan berdasarkan pemenuhan komitmen NDCs tahun 2030. Negara berkembang akan melakukan ambisi serupa, jika komitmen negara maju kredibel disertai dukungan riil.
Lagi-lagi ungkapan Presiden menghunjam jantung para pemimpin dunia. Presiden tidak hendak berlomba hanya dalam komitmen. Namun miskin bahkan nihil realisasi. Komitmen massif tanpa kredibilitas dan integritas sama dengan “pengelabuan intelektual sistematis”. Bagi Presiden, sekedar pernyataan komitmen tentu mudah. Namun tanpa memahami teks dan konteks kompleksitas realitas kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan domestik, maka dipastikan itu bukan merupakan langkah bijak. Konsekuensinya Indonesia justru akan tersandera prioritas pemenuhan kepentingan global. Sementara kepentingan nasional terabaikan. Bahkan terpinggirkan. Termasuk tentu kepentingan mewujudkan masa depan generasi muda Indonesia yang bebas merdeka, kompetitif dan prospektif. Mengabaikan kepentingan tersebut jelas sebuah tindakan inkonstitusional.
Ketiga, untuk mencapai target Persetujuan Paris dan agenda bersama berikutnya, kemitraan global harus diperkuat. Semua pihak harus membangun kesepahaman, harus membangun strategi dalam mencapai net-zero emissions dan menuju UNFCCC – COP ke-26 di Glasgow. Indonesia sedang melakukan rehabilitasi hutan mangrove seluas 620 ribu hektare sampai 2024, terluas di dunia dengan daya serap karbon mencapai empat kali lipat dibanding hutan tropis.
Lagi-lagi sebuah pernyataan yang sangat strategik. Bagaimanapun komitmen bebas emisi setiap negara harus disertai peta jalan (road map) yang jelas. Diturunkan dalam serangkaian strategi yang layak terap (applicable). Dengan proyeksi hasil (outcome) yang nyata (real), terukur (measurable) dan kredibel. Tanpa itu semua sama artinya dengan “jualan kecap”. Indonesia tidak perlu menari dengan tabuhan irama gendang negara lain. Justru akan menjadi “blunder” karena terperdaya jebakan “batman.” Tersandera. Berbagai fenomena dan realitas inilah yang semestinya harus dipahami dan mampu dimaknai para generasi muda Indonesia. Termasuk elit politik maupun tokoh publik lainnya.
Penutup
Perubahan iklim adalah kebutuhan bersama. Menjelma menjadi komitmen sekaligus mandat global. Kenyatannya, implementasi seringkali tak seindah harapan. Pidato Presiden Jokowi sangat terang benderang. Memberikan sinyal “tagihan” rekening atas kerja keras rakyat Indonesia yang belum membuahkan hasil. Kenyataanya, negara industri maju yang jelas sudah menandatangani kontrak kerjasama saja sampai saat ini masih bisa dan “tega” mengabaikannya.
Komitmen pembayaran kerja keras dan kerja nyata rakyat Indonesia yang sudah jatuh tempo pun masih ditunda tanpa alasan jelas. Hingga beredar berbagai rumor liar. Dari tuntutan tata kelola pemerintahan yang baik, kejelasan skema bagi hasil pusat – daerah hingga berbagai isu yang sepenuhnya sebenarnya merupakan urusan politik dalam negeri Indonesia. Wajar muncul kecurigaan. Apakah negara-negara itu tengah mencari celah dan strategi untuk melegalkan “wan prestasi”. Jangan pula rumor candaan plesetan merubah sebutan “Norway” menjadi “No way”. Apatah itu yang dimaksud integritas sebuah komitmen ? Kredibilitas sebuah metodologi ? Jauh dari sikap fair dan adil. Wajarlah bila pemimpin besar revolusi Bung Karno pernah geram dan berujar. “Go to hell with your aid”.
Bagaimanapun, di tengah percaturan global yang kian kompetitif dan seringkali brutal, tampaknya ucapan terkenal Lord Palmerston dari Inggris pada abad XIX menjadi sangat relevan. Right or wrong is my country. Apapun itu, benar atau salah adalah negara kita yang harus selalu dibela. Di dalam negeri, boleh saja Dr. Dino Patti Jalal dan tokoh-tokoh lain mengkritik Presiden. Bahkan mengecam keras Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya MSc. Namun bila telah diputuskan pimpinan tertinggi negara, fatsunnya seyogyanya semua komponen bangsa bersatu padu. Seraya bahu membahu mendukung dan mewujudkannya untuk NKRI yang satu.
Akhirnya, selamat berjuang kepada Presiden Jokowi dan Menteri LHK Dr. Siti Nurbaya MSc., beserta seluruh jajaran. Juga semua komponen bangsa. Semoga seluruh diskusi kritis literasi bebas emisi di kalangan publik, khususnya para generasi muda menjadi inspirasi. Ajang klarifikasi sehingga menjadi amunisi kohesivitas komunitas. Menuju integrasi sosial kultural nasional. Dalam upaya memperjuangkan terwujudnya peran dan kontribusi lingkungan hidup dan kehutanan di masa depan. Semua itu adalah sebuah keniscayaan. Percayalah.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.