Oleh: Dr. Ir. Bambang Hendroyono, MM (Plt. Dirjen PHPL Kementerian LHK)
Perubahan iklim telah menjadi isu dan agenda mendesak. Dampak perubahan iklim dalam wujud berbagai musibah bencana alam, kembali menyadarkan warga dunia. Bahwa bumi menuntut komitmen perbaikan lingkungan bagi kelestarian fungsi ekosistemnya.
Dalam konteks Indonesia, letak geografis dan klimatologis merupakan bagian dari karakter yang bersifat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Hal itu antara lain tercermin dari trend peningkatan bencana yang didominasi bencana hidro meteorology. Antara lain banjir, tanah longsor, kekeringan, angin puting beliung dan gelombang tinggi.
Pembangunan berkelanjutan rendah karbon adalah jawaban sekaligus solusi. Sebagai wujud mitigasi perubahan iklim. Menjadi kesepakatan global sebagaimana tertuang dalam Perjanjian Paris 2015. Bertujuan meningkatkan respons terhadap ancaman perubahan iklim dalam konteks pembangunan lestari maupun upaya memberantas kemiskinan.
Peran Sektor Kehutanan
Indonesia memiliki posisi istimewa dalam konteks perubahan iklim. Selain sebagai emitter, Indonesia juga memiliki peran dalam penurunan emisi. Keistmewaan itu tidak lain karena keberadaan dan peran hutan tropis dalam menyerap sekaligus menurunkan emisi. Karenanya, sejak awal Indonesia telah menyatakan komitmennya terhadap Perjanjian Paris. Tentu dengan tetap melihat kemampuan dan kepentingan geopolitik NKRI.
Implementasi penanganan penurunan perubahan iklim pada konteks nasional tertuang dalam Komitmen NDC (Nationally Determined Contribution). Menjelma menjadi komitmen Indonesia menurunkan laju perubahan iklim dengan pengurangan emisi GRK yang dilakukan melalui kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
Terdapat dua aspek penting NDC. Pertama, target penurunan emisi tahun 2030 sebesar 29 persen dengan kemampuan sendiri, atau sebesar 41 persen dengan bantuan asing. Kemitraan global. Kedua, mewujudkan ketahanan ekonomi, sosial dan penghidupan masyarakat yang rentan dampak perubahan iklim dalam kerangka pelestarian lanskap dan ekosistem.
Sektor-sektor yang memiliki peran besar dalam upaya mitigasi perubahan iklim antara lain adalah sektor energi, kehutanan, pertanian, limbah, proses produksi dan penggunaan produk. Dalam pencapaian NDC Indonesia, sektor kehutanan menjadi target terbesar dalam upaya penurunan emisi yakni sebesar 17.2 persen atau setara 60 persen.
Penetapan rencana aksi mitigasi perubahan iklim untuk pencapaian target NDC pada sektor kehutanan menjadi sebuah keniscayaan. Hal itu antara lain tercermin pada lima langkah strategi. Pertama, penurunan deforestasi. Kedua, peningkatan penerapan prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan, baik di hutan alam (penurunan degradasi) maupun di hutan tanaman. Ketiga, rehabilitasi lahan-lahan terdegradasi.Keempat, restorasi gambut. Terakhir, pengendalian kebakaran gambut.
RIL/RIL-C dan Kontribusi Hutan Produksi
Khusus di kawasan hutan produksi, upaya penurunan emisi direalisasikan melalui kegiatan penurunan deforestasi dan penurunan degradasi hutan. Hal itu diwujudkan melalui pengelolaan hutan lestari (SFM). Salah satu metode pendekatannya melalui penerapan teknik Reduced Impact Logging (RIL).
Mengapa praktek pembalakan konvensional harus ditinggalkan ? Diganti praktek pemanenan berbasis RIL. Secara teknis, setidaknya terdapat beberapa rasionalitas. Pertama, penebangan konvensional kurang memperhatikan resiko kerusakan tegakan. Di sisi lain kegiatan penyaradan konvensional tidak dilakukan melalui sebuah perencanaan. Pun, pembuatan jalan utama dan jalan cabang diduga kurang sesuai dengan kaidah lingkungan. Termasuk pembukaan hutan untuk pembuatan TPn dan TPK hutan sering terlalu luas dan banyak jumlahnya. Terakhir, deaktivasi jalan sarad tidak dilakukan atau tidak dilakukan penanaman kembali. Dalam konteks perubahan iklim, praktek pemanenan konvensional jelas menjadi salah satu penyebab deforestasi dan degradasi lahan. Dua hal yang menjadi penyebab tingginya emisi karbon.
Lalu mengapa harus menerapkan RIL dalam kelola hutan alam ? Jawabannya sangat jelas. RIL merupakan teknik dengan suatu pendekatan sistematik dan menyeluruh dalam pemanenan hasil hutan kayu tegakan alam dengan berbagai tahapan. Mulai dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi. Bertujuan mengurangi kerusakan tanah dan tegakan tinggal. Meningkatkan efisiensi pemanfaatan hasil hutan kayu yang tumbuh alami, serta meminimalkan dampak pemanenan hutan terhadap aspek ekologi dan sosial.
Berdasarkan berbagai riset dan penelitian –baik di Indonesia maupun di mancanegara- diketahui penerapan RIL pada kelola hutan alam memberikan berbagai keunggulan kuantitatif maupun kualitatif. Dari aspek lingkungan, implementasi RIL mampu mengurangi kerusakan tegakan tinggal dan tanah hingga 50 persen. Termasuk menurunkan limbah hingga 30 persen. Sementara dari aspek silvikultur, metode RIL mampu meningkatkan pertumbuhan dan mutu tegakan. Pun dari aspek produksi, pemanenan berbasis RIL mampu meningkatkan efisiensi logging dan menambah volume produksi. Hingga 10 persen. Dalam konteks penurunan emisi, pemanenan kayu dengan metode RIL berdampak positip terhadap emisi co2 dan simpanan karbon. Mampu mempertahankan simpanan karbon dan menekan emisi CO2, sekaligus mampu meningkatkan laju penyerapan CO2 dan penyimpanan karbon hutan.
Pertanyaannya, sebagai sebuah metode yang menjadi bagian dari sistem silvikultur hutan alam, apakah RIL memiliki payung hukum kuat bagi upaya implementasinya. Termasuk sanksi bagi yang tidak menerapkan apalagi melanggarnya. Berdasarkan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 32 dinyatakan bahwa pemegang Perizinan Berusaha (PB) wajib menjaga, memelihara dan melestarikan hutan yang dikelolanya.
Lebih jauh, melalui PP No. 23 Tahun 2021, Pasal 156 huruf o, dinyatakan bahwa setiap pemegang PBPH pada Hutan Produksi, berkewajiban melaksanakan pemanenan hasil hutan kayu. Caranya ? Dengan menerapkan teknik pembalakan berdampak rendah. Tak lain metode RIL. Bagaimana bila unit manajemen tidak menerapkannya ? Terjawab dengan jelas. Pasal 283 huruf i, menyatakan pemegang PBPH pada Hutan Produksi dikenakan sanksi administratif apabila tidak melaksanakan pemanenan hasil hutan kayu dengan menerapkan teknik pembalakan berdampak rendah (RIL).
Dalam Rancangan Peraturan Menteri KLHK tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi, RIL memberikan dua perspektif sekaligus. Insentif dan sebaliknya disinsentif. Pada Pasal 153, pemegang PBPH dengan kegiatan Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu tumbuh alami (hutan alam) yang sudah melaksanakan penebangan berdampak rendah atau RIL atau bahkanRIL-C dapat mengajukan permohonan peningkatan efisiensi penebangan. Dalam bentuk angka faktor eksploitasi (FE). Sebaliknya, Pasal 165, menyatakan bahwa setiap pemegang PBPH pada Hutan Produksi wajib melaksanakan pemanenan hasil hutan kayu dengan menerapkan Teknik pembalakan berdampak rendah (RIL). Lebih jauh, Pasal 362, Pemegang PBPH dikenakan sanksi administratif apabila tidak menerapkan RIL.
Pada akhirnya, penerapan metode RIL yang dilanjutkan dengan perhitungan penurunan emisi karbon itulah yang disebut dengan RIL Karbon atau RIL-C. Terdapat dua pendekatan. Pertama, penurunan Emisi RIL berdasarkan Stok karbon di hutan pasca produksi. Data yang dihasilkan adalah penurunan emisi ton C/ha, dalam bentuk angka prosentase penurunan emisi. Kedua, Penurunan emisi RIL untuk setiap 1 m3 yang diproduksi. Data yang dihasilkan adalah angka penurunan emisi per m3 produksi, dalam bentuk prosentase penurunan Emisi/m3.
Penutup
Terbitnya UU No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, dimana terdapat keterbukaan peluang menjalankan usaha yang bersifat multibisnis di areal konsesi IUPHHK-HA, khususnya jasa lingkungan yaitu karbon. Di sisi lain, terbitnya Peraturan Menteri LHK No. P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 yang ditindaklanjuti Keputusan Direktur Jenderal PHPL No. SK.62/PHPL/SET.5/KUM.1/12/2020, dimana RIL menjadi dasar pemberian insentif.
Bagaimanapun, dinamika kebijakan penurunan emisi melalui REDD+ dalam rangka pemenuhan NDC Indonesia tahun 2030 yang kini semakin dekat, dimana hutan produksi, khususnya yang dikelola perusahaan pemegang IUPHHK-HA memiliki potensi dan peluang nyata dalam upaya penurunan emisi karbon. Sekali lagi melalui RIL – C (dan Silin) yang perlu didayagunakan.
Sudah saatnya dikembangkan sebuah metode perhitungan karbon pasca RIL yang standar, akuntabel dan kredibel. Siapapun atau lembaga manapun bisa sepanjang memenuhi berbagai kualifikasi nasional dan internasional. Karena itu, pengembangan metode perhitungan karbon di IUPHHK-HA seyoganya memenuhi kualifikasi. Beberapa hal penting strategis mendasar, antara lain (1) Sesuai dengan Panduan Nasional (SNI) serta endorsemen dan legalisasi KLHK, Cq. Ditjen PPI maupun Panduan Internasional (IPCC); (2) Dapat mengetahui stok karbon pada Blok RKT & lingkup konsesi perusahaan; (3) Dapat menduga stok karbon pada rotasi berikutnya; (4) Mengetahui jenis pohon produksi pada rotasi berikutnya dan juga stok karbonnya; serta (5) Mudah dilakukan dan tidak membutuhkan biaya besar;
Dengan memahami bahwa IUPHHK-HA merupakan entitas PBHP yang jelas kelembagaan dan dasar hukumnya, maka Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, cq. Ditjen PHPL berupaya keras mengoptimalkan kontribusi penurunan emisi karbon yang berasal dari hutan produksi (HP). Khususnya kawasan hutan yang dikelola entitas perusahaan pemegang IUPHHK-HA. Semoga.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Dokumentasi pribadi penulis