Oleh: Dr. Untung Iskandar (Praktisi Rimbawan, eks Dirjen Kementerian Kehutanan)
Salah satu isu utama perubahan iklim tentulah pembangunan dengan seluruh dampaknya. Termasuk pembangunan kehutanan yang berdampak terjadinya deforestasi dan degradasi lahan sebagai salah satu pendorong gejala pemanasan global. Bermuara pada perubahan iklim. Dengan demikian, deforestasi sebagai wujud nyata dampak kegagalan kelola hutan sama sekali bukan semata soal teknis kehutanan dan lingkungan. Lebih dari itu –menurut Prof. Diamond- deforestasi terkait erat soal peradaban. Kemampuan mempertahankan sistem penyangga kehidupan secara lintas generasi. Dengan mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari demi kesejahteraan rakyat. Menahan sekecil mungkin bahkan menihilkan deforestasi.
Komparasi Deforestasi
Masih menggunakan acuan tulisan yang sama. Kali ini Prof. Diamond membahas Republik Dominika. Sebuah negara di Karibia dengan luas 48.730 km persegi atau setara 18.815 sq mi. Wilayahnya berbagi pulau Hispaniola dengan Haiti di barat. Dikenal dengan pantai, resor, dan padang golfnya. Medannya terdiri hutan hujan, savana, dan dataran tinggi. Termasuk Pico Duarte, gunung tertinggi di Karibia. Ibu kota Santo Domingo memiliki landmark Spanyol. Antara lain Katedral Gotik Primada de America yang berdiri sejak 5 abad lalu di distrik Zona Kolonialnya.
Prof. Diamond terpesona dengan kelola sumberdaya hutan di Republik Dominika. Rafael Trujillo, seorang kepala pemerintah Dominika, bekerja luar biasa keras. Administratur yang sangat hebat, sekaligus politikus cerdik. Trujillo memanfaatkan kuasanya untuk memodernisasi Dominika, mengembangkan ekonomi, infrastruktur, dan industri.
Sang Presiden memperluas perlindungan hutan, membangun taman-taman nasional, mendirikan korps jagawana untuk perlindungan hutan, menekan penggunaan api untuk pembukaan hutan, hingga melarang penebangan pohon pinus di Constanza, Cordillera Tengah. Pada tahun 1937 Trujillo mempekerjakan seorang ahli lingkungan terkenal dari Puerto Rico, (sebuah protektorat USA) Dr. Carlos Chardon untuk menghitung potensi pembalakan Dominika yang merupakan hutan pinus paling luas di Karibia. Potensinya mencapai $40.000.000,-. Nilai yang sangat besar saat itu. Dalam operasi pembalakan Dominika, Trujillo mewajibkan penerapan tindakan ramah lingkungan. Salah satunya dengan tidak menebang pohon tua sebagai sumber biji untuk reboisasi alami. Pada tahun 1950 Trujillo memesan penelitian ahli-ahli Swedia untuk mempelajari potensi Dominika dalam membangun bendungan-bendungan pembangkit listrik tenaga air.
Lebih jauh, Prof. Diamond juga kagum pada penerus Trujillo, Joaquin Balaguer. Balaguer menyadari kebutuhan mendesak Dominika mempertahankan daerah berhutan guna memenuhi kebutuhan energi atas listrik tenaga air. Memastikan tersedia cukup air untuk industri dan pemenuhan kebutuhan domestik. Segera setelah menjadi presiden, Balaguer melarang semua pembalakan komersial dan menutup semua penggergajian. Sebuah tindakan yang segera mendapat perlawanan keluarga-keluarga kaya pemilik kepentingan usaha pembalakan.
Balaguer bereaksi dengan langkah lebih drastis. Menarik tanggung jawab perlindungan hutan dari Departemen Pertanian. Kemudian menyerahkan kepada angkatan bersenjata, dan menyatakan pembalakan legal sebagai kejahatan dan ancaman terhadap keamanan Negara. Benar-benar langkah radikal.
Bagaimana mengatasi dampak langkah radikal di atas. Balaguer menerapkan dua kebijakan. Pertama, membuka kran impor kayu dari Chile, Honduras, dan AS. Kedua, mengurangi produksi arang tradisional dari pohon. Sebagai konsekuensinya, pemerintah meneken kontrak impor gas alam cair dari Venezuela. Juga membangun beberapa terminal untuk mengimpor gas tersebut, mensubsidi biaya gas untuk masyarakat agar bisa menghapus konsumsi arang -yang ternyata merusak hutan-. Juga menetapkan peredaran kompor dan tabung propane gratis guna mendorong peralihan dari arang.
Bagaimana dengan konteks Indonesia ? Bagi Indonesia yang luas hutannya beribu kali luas hutan Republik Dominika pasti tidak dapat serta merta mengikuti pola Republik Dominika. Untuk menghutankan kembali (hutan dalam pengertian FAO, bukan hutan dalam pengertian ekosistem) Indonesia dapat membangun hutan tanaman industri sebagai cara untuk memenuhi misi yang dituntut UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan. Pasal 3 UU 41/1999 menetapkan “Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan”.
Usaha mencapai sebesar-besar kemakmuran dapat dicapai dengan penyediaan kesempatan kerja dan kesempatan berusaha di sektor kehutanan dan sektor-sektor ekonomi kaitannya. Salah satu peluang yang sudah terbukti adalah membangun dan mengelola jangka panjang hutan tanaman industri. Beserta membangun dan mengelola industri sekaligus memelihara pola perdagangannya. Sektor kehutanan, industri dan perdagangan Indonesia berpengalaman dalam hal ini. Menggunakan terminologi masa kini, membangun masyarakat manufaturing dan eksportir.
Pembangunan dan Perubahan Iklim
Isu perubahan iklim kini menjadi tantangan terbesar dampak pembangunan. Tantangan ini justru direspons sektor usaha kehutanan dengan membangun hutan tanaman industri secara massif. Menerapkan RIL- Karbon dan silvikultur intensif untuk hutan alam. Juga perlindungan dan kelola lahan gambut hutan tanaman. Seluruhnya sebagai upaya carbon sequestration dan mitigasi GRK.
Salah satu bukti kemampuan itu adalah penelitian tentang jenis-jenis tanaman yang dapat menyerap GRK. Upaya ini bukanlah isapan jempol apalagi hanya sekedar omong kosong. Salah satu abstract penelitian menyatakan dengan gamblang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa reduksi CO terbesar untuk a) jenis pohon yaitu tanaman Ganitri (Elaeocarpus sphaericus) sebesar 81.53 % (0.587 ppm) ; b) jenis perdu yaitu Iriansis (Impatien sp) sebesar 88.61 % (0.638 ppm) ; c) jenis semak yaitu: Philodendron (Philodendron sp) sebesar 92.22 % ( 0.664 ppm); serta d) tanaman gabungan, yaitu Galinggem + Kriminil Merah dengan perbandingan 2 : 1 sebesar 79.22 % (0.244 ppm). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa setiap tanaman mempunyai kemampuan berbeda dalam menyerap polutan CO (Kusminingrum. 2008). Mungkin juga tanaman–tanaman yang disebutkan itu secara ekologis masuk dalam klasifikasi hutan menurut UU 41/1999.
Abstract penelitian Balitbanghut memberikan fakta tak kalah menarik. Bahwa karbondioksida (CO2) dianggap sebagai GRK utama karena memiliki laju pertambahan emisi yang tinggi, waktu tinggal di atmosfer yang lama, dan tingginya emisi berasal dari sektor industri. Berdasarkan hasil-hasil penelitian pada beberapa jenis hutan tanaman, hutan berperan menyerap CO2 dalam jumlah besar. Potensi CO2 yang mampu diserap hutan tanaman jenis Eucalyptus grandis, Acacia mangium, meranti, dan jati berturut-turut adalah 31,948 ton/CO2/ha; 30,100 ton/CO2/ha; 18,640 ton/CO2/ha; dan 5,800 ton/CO2/ha. Dengan peran tersebut, adanya kondisi hutan yang terjaga akan mampu menjaga konsentrasi CO2 di atmosfer tetap stabil. Hal ini berarti pula beberapa bencana alam yang sering dihubungkan dengan fenomena gas rumah kaca dan perubahan iklim global akan dapat dicegah (Junaidi).
Abstract berikutnya menyatakan realitas yang herus dipedomani dan ditindaklanjuti. Bahwa untuk mengurangi emisi gas CO2 Pemerintah Republik Indonesia telah mencanangkan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK). Sesuai Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2011. Salah satu kegiatan utamanya penanaman 105.200 hektar tanaman karet.
Peran ekologis tanaman karet yaitu tajuknya dapat menyerap gas CO2 dari udara. Sementara dari hasil biji karet dapat dibuat biodiesel dengan gas buang CO2 lebih rendah dari bahan bakar minyak (solar). Dengan demikian tanaman karet mempunyai peran penting mitigasi dengan mengurangi gejala perubahan iklim. Jumlah CO2 yang diserap tanaman karet bervariasi tergantung umur tanaman, kondisi tanaman, kesuburan tanah, dan teknis budidaya. Rata-rata stok karbon karet tradional (baca : perkebunan rakyat) 19,8 ton C/ha. Sedangkan karet klon unggul (baca : perkebunan besar) 42,4 ton C/ha. Jumlah gas CO2 yang diserap perkebunan karet di Indonesia mencapai 291,16 Mton CO2e. Potensi produksi biodiesel RSO di Indonesia mencapai 424.460 ton. Campuran solar dan biodiesel dari RSO dapat menurunkan emisi gas buang CO2 sebesar 40,14% (Supriadi, 2012).
Dari tiga abstrak penelitian Badan Riset dan Inovasi Kehutanan di atas dapat disimpulkan betapa besar peran hutan alam dan hutan tanaman dalam mengelola lingkungan. Khususnya mitigasi GRK. Bahkan di arena politik global, Indonesia selalu dipuji dengan sebutan hutan Indonesia adalah paru-paru dunia. Menjelma menjadi negara super power lingkungan. Namun justru institusi negara di sektor ini –KLHK- sering memperoleh penilaian tidak semestinya. Betapa untuk memelihara kesehatan paru-paru dunia yang ada di Indonesia, dunia perlu berkontribusi untuk pemeliharannya. Andai dunia berkontribusi nyata tidaklah sulit bagi Indonesia membangun hutan. Sehingga kawasan-kawasan hutan rusak bisa direhabilitasi. Eksistensi hutan (alam dan tanaman) menunjukkan sehatnya paru-paru dunia.
Penutup
Hari ini Presiden Jokowi menyampaikan perspektif Pemerintah RI kepada para pemimpin negara-negara dunia dengan kepala tegak. Menyampaikan kerja keras dan kinerja yang telah dilakukan bersama semua elemen bangsa. Khususnya upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan serta kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Semua bermuara pada penurunan laju deforestasi.
Salah satu prestasi nyata yang ditunjukkan KLHK dibawah komando Dr. Siti Nurbaya MSC., adalah keberhasilan menurunkan laju deforestasi. Tentu didukung semua pemangku kepentingan. Deforestasi netto tahun 2018 – 2019 di dalam dan di luar kawasan hutan adalah sebesar 462,5 ribu ha; deforestasi bruto sebesar 465,5 ribu ha dan reforestasi sebesar 3 ribu ha. Sementara deforestasi netto tahun 2019 -2020 di dalam dan di luar kawasan hutan Indonesia adalah sebesar 115,5 ribu ha; deforestasi bruto sebesar 119,1 ribu ha, reforestasi sebesar 3,6 ribu ha. Deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 104,4 ribu ha; sebesar 58,1% atau 60,64 ribu ha berada di dalam kawasan hutan; seluas 43,7 ribu ha atau 41,9% berada di luar kawasan hutan (KLHK. 2020).
Ditengah percaturan global yang kian kompetitif, disertai atmosfer sikap negara-negara maju yang seringkali masih bersikap ambigu bahkan hipokrit, Indonesia harus berani menyuarakan sekaligus mengedepankan kepentingan geopolitik nasionalnya. Dengan tetap mempertimbangkan dinamika perubahan lingkungan strategis di tingkat global. Apapun itu, Indonesia harus solid dan mandiri. Berdiri di atas kaki sendiri. Demi martabat dan harga diri. Dulu, kini bahkan hingga akhir nanti. Bravo NKRI.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat Presiden