Oleh: Dr. Soewarso (Direktur Sinar Mas Forestry)
Secara umum, ekosistem hutan tropis lahan basah memiliki 3 formasi utama. Ketiganya meliputi hutan mangrove (mangrove forest), hutan rawa gambut (peat swamp forest) dan hutan rawa (freshwater swamp forest). Hutan rawa gambut merupakan bagian kekayaan ekosistem unik hutan tropis dengan karakteristik biofisik yang khas. Terbentuk dari tutupan bahan organik selama ribuan bahkan jutaan tahun.
Secara ekologi hutan rawa gambut sangat penting. Berfungsi sebagai pengatur hidrologi bagi keberlanjutan siklus air. Gambut memiliki karakter seperti spons. Memiliki kandungan air sebesar 13 kali bobotnya. Berperan dalam pencegahan sekaligus penanganan perubahan iklim global melalui penyerapan dan penyimpanan karbon.
Ekosistem hutan rawa gambut relatif fragile (rentan) terhadap ancaman kebakaran hutan dan lahan. Terutama bila abai terhadap prinsip kelola tata air yang baik. Kebakaran hutan rawa gambut berdampak signifikan terhadap pelepasan karbon dan pencemaran udara yang meningkatkan GRK dan perubahan iklim. Bagaimanapun, lahan gambut menyimpan karbon sekitar 300 milyar ton (Sjors 1980 dalam Andriesse, 1988). Dengan kompleksitas sekaligus keunikan hutan rawa gambut, mutlak perlu dipahami aspek kebakaran hutan rawa gambut dari sisi faktor penyebabnya. Untuk kemudian disusun model prediksi upaya pencegahannya.
Membedah Variabel Penentu
Terdapat dua subsistem sebagai sumber kebakaran hutan rawa gambut. Pertama, subsistem ekosistem hutan rawa gambut yang bersifat biofisik. Subsistem ini berperan sebagai penyedia bahan bakar potensial. Kedua, subsistem perusahaan HPH dan masyarakat sekitar hutan rawa gambut. Aspek ini menjelma menjadi faktor sosial ekonomi sumber datangnya api “liar”.
Ekosistem hutan rawa gambut di kelompok hutan S. Sugihan dan S. Lumpur yang dipilih dari kajian tersebut dengan pertimbangan ekosistem yang rawan kebakaran hutan pada setiap musim kemarau. Terletak di Kecamatan Air Sugihan dan Tulung Selapan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Propinsi Sumatera Selatan. Dengan areal hutan seluas 861.041 ha, menurut RTRWP kawasan tersebut berada di dalam kawasan budidaya pengembangan kehutanan. Sementara berdasarkan TGHK kawasan tersebut berada dalam kawasan HP, HPK, HL dan APL.
Pada saat penelitian tahun 2000, ekosistem hutan rawa gambut di kedua kelompok hutan diatas sudah mengalami degradasi sangat berat sehingga sangat rentan ancaman kebakaran hutan dan lahan. Kondisi penutupan lahan arealnya yang tidak berhutan dengan tingkat kerusakan sangat berat. Berdasarkan sejarah pengelolaan, kawasan tersebut telah diusahakan perusahaan swasta nasional sejak tahun 1980 dalam bentuk ijin HPH. Meliputi HPH PT Sinar Belanti Jaya, PT Sribunian Trading Co, PT SBA Wood Industries, PT Daya Penca dan PT Famili Jaya. Hanya PT SBA Wood Industries yang beroperasi melaksanakan rehabilitasi hutan pasca kebakaran dalam bentuk pembangunan hutan tanaman (HTI). Berdasarkan catatan, di lokasi tersebut telah terjadi kebakaran hutan sejak tahun 1982, 1987, 1991, 1994, 1997 dan 1998, 1999, 2000, 2001 dan 2002.
Bayangkan, kebakaran hutan terjadi hamper setiap tahun selayaknya sebuah siklus tahunan. Karenanya diperlukan strategi pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan rawa gambut. Untuk itu, diperlukan informasi variabel penentu terjadinya kebakaran hutan rawa gambut, meliputi keterkaitan faktor biofisik maupun faktor sosial ekonomi. Targetnya mampu menyusun strategi pencegahan kebakaran hutan rawa gambut menggunakan model prediksi.
Model Prediksi Pencegahan Kebakaran
Untuk mendapatkan model prediksi, diperlukan pemahaman atas keragaan vegetasi hutan rawa gambut, baik lokasi dan ruang (spasial). Menggunakan instrument analisa data citra satelit dengan berbagai tingkat ketelitian resolusi spasial. Disamping melakukan pemantauan secara komprehensif dan kontinyu. Mulai pengamatan global, regional hingga lokal. Selain itu, riset juga memungkinkan pemantauan bulanan perubahan-perubahan lahan suatu lokasi. Sehingga seluruh elemen lansekap diketahui informasi yang bersifat keruangan dan non keruangan. Analisa keragaan vegetasi meliputi (a) Klasifikasi tutupan lahan, (b) indeks vegetasi, (c) Komposisi floristik, dan (d) kenakeragaman vegetasi.
Telah menjadi sebuah keyakinan. Bahwa penyebab kebakaran hutan dan lahan adalah aktivitas manusia. Mencapai 99 persen dalam rangka pemanfaatan kawasan hutan. Faktor alam hanya sebagai pendukung kebakaran dalam bentuk menyediakan bahan bakar potensial. Interaksi sistem sosial di wilayah kelompok hutan S. Sugihan dan S. Lumpur adalah ketergantungan masyarakat lokal terhadap sumber-sumber kehidupan dari kawasan hutan rawa gambut. Antara lain ketergantungan akan air, ikan, satwa, kayu, bahan makanan dan sebagainya.
Kajian faktor sosial ekonomi mencakup karakteristik masyarakat di dalam dan di luar hutan yang tergantung hutan rawa gambut. Dilakukan kajian atas faktor sosial ekonomi meliputi (1) karakteristik jati diri, (2) mata pencaharian, (3) kondisi tempat tinggal, (4) persepsi terhadap keberadaan HPH/HTI dan (5) kelembagaan formal dan non formal. Bermuara pada tingkat pendapatan masyarakat sebagai variabel prediktor guna memprediksi kebakaran hutan sebagai variabel respon.
Ekosistem hutan rawa gambut di kelompok hutan S. Sugihan dan S. Lumpur sejak 1997 rentan kebakaran dengan peluang makin tinggi di dekat kanal dan jauh dari sungai/pemukiman. Hasil kajian menunjukan ekosistem kelompok hutan S. Sugihan dan S. Lumpur telah mengalami degradasi signifikan yang indikatornya yaitu menurunnya tegakan hutan rawa gambut sebesar 77.803 ha, hutan mangrove berkurang 14.484 ha dan bertambahnya lahan terbuka tidak bervegetasi seluas 212.132 ha.
Kondisi itu masih diperburuk dengan bertambahnya areal genangan air (water body) sebesar 66.744 ha (2001). Besaran indeks vegetasi (NDVI) kondisi 1996 dan 2001 menurun rata-rata sebesar 33 persen dari rata-rata NDVI 0,37 menjadi 0,25. Hasil analisis vegetasi di lapangan pada kondisi tahun 1996 & 2002 menunjukan nilai-nilai penurunan komposisi jenis sebesar 69 persen dari semula 29 spesies di semua tingkat permudaan menjadi 9 spesies (20 spesies tidak ditemukan). Indeks keanekaragaman jenis pada semua tingkat permudaan (1996) menurun dari 2 menjadi 0.04 untuk tingkat semai, pancang 1,37 dan tiang 1,00 (2002). Faktor biofisik yang mempengaruhi laju penjalaran api adalah suhu udara (35oC), tebal bahan bakar (89 cm), kelembaban nisbi udara (49 %), ketebalan gambut (193 cm) dan indeks vegetasi (0,29). Sedangkan tinggi api dipengaruhi tebal bahan bakar dan suhu.
Faktor sosial ekonomi paling menentukan kebakaran hutan rawa gambut adalah jumlah pengeluaran rumah tangga dan kegiatan bertani di lahan usaha tani. Secara spasial, faktor biofisik paling mempengaruhi kebakaran hutan rawa gambut adalah jarak sungai. Sedangkan faktor sosial ekonomi adalah jarak kanal/rel dan pemukiman. Berdasarkan model prediksi kebakaran hutan rawa gambut spasial ditemukan peluang kebakaran hutan yang tinggi di lokasi-lokasi dekat kanal/rel dan jauh dari sungai maupun pemukiman masyarakat.
Rekomendasi
Pencegahan kebakaran hutan rawa gambut dilakukan melalui peniadaan peluang bersatunya bahan bakar potensial dan sumber api. Melalui beberapa langkah pendekatan.
Pertama, pengaturan tata air (hidrologi) melalui pendekatan konservasi air dengan menggunakan bendung karet yang secara otomatis dapat membuka dan menutup sesuai keinginan (automatic water level control). Kedua, menjaga tinggi muka air sesuai kebutuhan yaitu meningkatkan kadar air lapang bahan bakar potensial menjadi > 30 persen sehingga tidak mudah terbakar jika ada sumber api liar. Ketiga, pola usaha tani terpadu berbasis agroforestry secara menetap dengan teknik PLTB (Pembukaan lahan Tanpa Bakar) menjadi salah satu alternatif pendekatan pencegahan kebakaran hutan rawa gambut. Keempat, pengamanan hutan bekerjasama perusahaan dengan masyarakat merupakan salah satu cara pencegahan kebakaran yang efektif. Terakhir, kebijakan pemerintah dan sistem monitoring kebakaran secara menyeluruh serta pencegahan kebakaran yang melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan terhadap hutan rawa gambut.
Bagaimanapun, ekosistem hutan rawa gambut yang telah mengalami kerusakan akan sangat rentan terhadap ancaman kebakaran. Maka menggabungkan upaya pencegahan kebakaran hutan rawa gambut melalui pendekatan teknik biofisik maupun aspek sosial ekonomi masyarakat terbukti berpengaruh signifikan terhadap ancaman kebakaran hutan rawa gambut.
Salah satunya melalui pengembangan usaha tani di lahan pertanian PLTB secara terpadu sehingga dapat menurunkan peluang terjadinya kebakaran hutan rawa gambut. Untuk itu di setiap desa yang berdekatan dengan kawasan hutan agar diberi insentif melalui Program desa Makmur Peduli Api (DMPA). Bisa berupa sarana produksi dengan harapan akan lebih memilih bertani menetap. Dibandingkan masuk kawasan hutan menanam padi sonor, mencari kayu dan atau ikan di lebung (Nglebung). Ketiga aktivitas tersebut terbukti meningkatkan peluang terjadinya kebakaran.
Akhirnya, pasca kebakaran hutan rawa gambut sangat diperlukan penghutanan kembali. Rehabilitasi hutan rawa gambut tentu berbeda dengan rehabilitasi kawasan hutan lainnya. Berdasarkan karakter fisik dan kimia gambut, disarankan agar teknik rehabilitasi hutan rawa gambut tidak melakukan pengeringan karena ruang pori total yang tinggi mempunyai kemampuan menyimpan air sangat tinggi. Namun disisi lain dapat mengakibatkan hidrofobik. Sebuah situasi dimana kawasan gambut tidak mampu menyerap air jika mengalami kekeringan. Harapannya berbagai riset dan kajian akan meningkatkan pemahaman karakteristik khas dan unik kawasan hutan rawa gambut. Dalam rangka memperoleh sistem pengelolaan terbaik. Semoga.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Dokumentasi pribadi penulis