Oleh: Dr. Untung Iskandar (Praktisi Rimbawan, eks Dirjen Kementerian Kehutanan)
Masih jelas dalam ingatan. Keberhasilan KLHK dalam menurunkan laju dan angka deforestasi. Sebagaimana pers release Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (DIPSDH), Ditjen PKTL, KLHK Rabu, 3 Maret 2021 lalu. Menjadi angin segar di tengah menurunnya kinerja ekonomi tersebab pandemi.
Menarik mengkaji dialektika deforestasi. Bukan hanya sebatas perkara teknis spasial dan statistik numerik tutupan lahan. Lebih dari itu. Deforestasi sesungguhnya menyangkut hal yang lebih substantif. Fundamental. Persoalan cara pandang tentang lingkungan hidup dan kehutanan. Mewujud menjadi salah satu inti kebudayaan (core culture). Tak lain adalah membangun sebuah kebudayaan yang selaras dengan alam dan lingkungannya. Bagi keberlanjutan sistem penyangga kehidupan secara lintas generasi. Dari zaman ke zaman sesuai tingkatan perkembangan peradaban.
Karena itu, tak berlebihan bila soal deforestasi ini sangat terkait erat dengan peradaban. Ya, deforestasi sejatinya bisa menjadi awal mula runtuhnya peradaban. Sedemikian serius dan essensialnya. Tak berlebihan. Bagi Indonesia mempertahankan dan membangun hutan sama halnya dengan mempertahankan dan membangun peradaban. Sebaliknya, deforestasi –yang identik dengan kerusakan bahkan kehancuran hutan- tentulah identik dengan keruntuhan peradaban.
Deforestasi dan Keruntuhan Peradaban
Bagaimana membedah dialektika deforestasi dan peradaban. Apalagi deforestasi dan kaitannya dengan keruntuhan peradaban. Asosiasi kata deforestasi dengan collapse bersumber dari Professor Jared Diamond (COLLAPSE How Societies Choose to Fail or Succeed, Viking, 2005). Prestasi pemerintah (baca: KLHK) sangat menarik karena berhasil melepaskan diri dari skenario bencana (doomsday scenario).
Berdasarkan paparan Prof. Diamond dinyatakan yang dimaksud Collapse/keruntuhan adalah: “penurunan drastis dalam ukuran populasi manusia dan/atau kompleksitas politik/ekonomi/ sosial, di wilayah yang cukup luas, untuk waktu yang lama”. Ada pula reviewer menerjemahkan Collapse/keruntuhan peradaban sebagai “hilangnya populasi, identitas, dan kompleksitas sosial-ekonomi, secara cepat dan permanen, layanan publik hancur, dan kekacauan terjadi ketika pemerintah kehilangan kendali atas monopoli kekerasan.”
Lebih jauh Professor Diamond mengidentifikasi lima faktor yang berperan dalam keruntuhan perabadan sekelompok masyarakat. Secara ringkas kelimanya meliputi (1) Perubahan iklim; (2) Konflik dengan sesama; (3) Runtuhnya partner dagang utama; (4) Masalah-masalah lingkungan; dan (5) Respons masyarakat terhadap empat faktor di atas. Namun sebab utama (the underlying causes) dari masalah keruntuhan peradaban adalah penduduk berlebih (over population) dibanding daya dukung lingkungan. Ada pula sebuah masalah lingkungan yaitu dampak buruk pengenalan (sengaja atau tidak) species asing pada suatu kawasan.
Professsor Diamond membuat daftar duabelas masalah yang mendorong runtuhnya peradaban masa kini. Delapan dari daftar itu sudah meruntuhkan masyarakat di masa lalu. Mulai dari 1) deforestasi/ penggundulan hutan dan penghancuran habitat; 2) masalah tanah (erosi, penggaraman dan hilangnya kesuburan tanah); 3) masalah pengelolaan air; 4) perburuan berlebihan; 5) penangkapan ikan berlebihan; 6) efek spesies yang didatangkan/species exotic pada species asli/endemik; 7) pertumbuhan populasi manusia yang berlebihan; 8) dan peningkatan dampak per kapita manusia.
Disini nampak bahwa issue pertama adalah deforestasi yang dikaitkan dengan penghancuran habitat. Sangat bernuansa ekologis. Menjelma menjadi konsep-konsep dasar ekologi manusia. Kompleks dan berkelindan. Bermuara pada ekologi budaya. Empat issue baru yang dihadapi masyarakat masa kini jelas terkait soal lingkungan. Simak substansinya. Pertama, perubahan iklim yang dipicu aktivitas manusia. Kedua, akumulasi racun di lingkungan. Ketiga, kelangkaan energi, dan terakhir, pemanfaatan sepenuhnya kemampuan fotosintesis bumi. Tak pelak lagi. Faktor perubahan iklim dan tiga faktor lainnya berkaitan dengan issue deforestasi. Khusus dampak species eksotik dan invasif terhadap lingkungan akan dibahas dalam tulisan lain.
Reviewer memberi penekanan issue “Pertumbuhan jumlah penduduk -yang tidak terkendali- memaksa masyarakat mengadopsi cara-cara produksi berbasis optimalisasi. Melalui intensifikasi pertanian/agrikultur dengan dukungan irigasi, metoda tumpangsari, dan terasering. Dilanjutkan memperluas lahan pertanian. Dimulai dari tanah terbaik. Menjalar pada pembukaan lahan melalui pembakaran hutan. Berakhir dan berujung deforestasi.
Tak luput pendayagunaan daerah tebing juga pengeringan rawa. Seluruhnya dalam rangka memberi makan komunitas seiring makin meningkatnya laju populasi. Praktik-praktik tak berkelanjutan ini mendorong kerusakan lingkungan. Menyebabkan lahan yang ternyata tak cocok ditanami akhirnya harus ditinggalkan. Akibatnya bagi masyarakat masa lampau antara lain kekurangan makanan, kelaparan, maupun perang guna memperebutkan sumber daya yang terlalu sedikit. Pada akhirnya populasi menurun akibat kelaparan, perang atau penyakit. Masyarkat pun kehilangan sebagian kompleksitas kestabilan politik, ekonomi dan budaya yang telah dikembangkan secara susah payah pada masa kejayaan. Tak sedikit yang kemudian menjadi negeri chaotic. Perang saudara, hilangnya orde ketertiban hukum, lenyapnya etika dan ambruknya moralitas. Itulah keruntuhan peradaban.
Membedah Dialektika Deforestasi
Issue utama tulisan ini adalah deforestasi. Dikaitkan kerusakan lingkungan. Bisa menjadi penyebab runtuhnya peradaban. Tampak jelas deforestasi /perusakan lingkungan antara lain karena penebangan berlebihan tanpa kontrol (overfelling). Juga kepentingan konversi lahan menjadi kawasan non kehutanan. Termasuk berbagai malpraktek kelola lingkungan lainnya. Juga aktivitas malpraktek overfishing dan overhunting.
Bagaimanapun sektor kehutanan Indonesia menghadapi dua ancaman laten deforestasi. Deforestasi fisik dan deforestasi administratif. Deforestasi fisik jelas. Berupa overfelling. Ini terjadi pada hutan sekunder dan pada proporsi yang seimbang di luar hutan sekunder (atau hutan primer?). Pembabatan hutan/perusakan lingkungan terjadi pada kawasan hutan yang ditinggalkan dan tidak ada pengelolanya. Kawasan hutan tanaman industri yang dicabut ijinnya, lalu diokupasi pihak ketiga dan ditanami sawit. Sedangkan deforestasi administratif adalah kawasan-kawasan hutan (yang dapat di konversi) yang sudah di keluarkan sebagai kawasan hutan. Namun karena berbagai sebab sampai beberapa waktu belum juga ditanam dengan jenis-jenis bukan tanaman kehutanan.
Rehabilitasi ratusan ribu hektar kawasan deforestasi sebesar 3,000 hektar sebetulnya dapat dipahami kesulitannya karena hutan menurut UU 41/1999 adalah “suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan”. Rehabilitasi hutan adalah rehabilitasi ekosistem yang kelak akan didominasi tegakan pohon.
Beda dengan penghutanan kawasan-kawasan tak berhutan. Berdasar definisi FAO hutan merupakan lahan yang memiliki luas lebih dari 0,5 hektar dengan pepohonan yang tingginya lebih dari 5 meter dan tutupan tajuk lebih dari 10 persen. Atau pohon mencapai ambang batas ini di lapangan. Dengan definisi ini penghutanan baik reforestation maupun afforestation dapat dilakukan dengan menanam pepohonan yang dapat mencapai tinggi 5 m dan tajuknya menutup sedikitnya 10 persen luas lahan penanaman. Tanpa peduli dengan ekosistem lama. Tersebab pasti akan timbul ekosistem baru.
Dengan demikian sangat jelas dan nyata. Bahwa deforestasi dengan berbagai varian dan implikasinya telah mendorong ancaman kehancuran ekosistem. Berbagai catatan sejarah juga membuktikan bahwa akumulasi deforestasi bermuara pada kerusakan lingkungan. Berujung pada ancaman keruntuhan peradaban. Banjir bandang, tanah longsor hingga kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan karena kerusakan lingkungan dan malpraktek manusia dalam mengelola sumberdaya alam jelas menjadi ancaman nyata kehancuran peradaban. Termasuk dampak wabah penyakit, kelaparan dan perang sebagai dampak kian terbatasnya SDA yang selama ini menjadi sumber kehidupan masyarakat.
Indonesia sangat serius dalam mencegah dan mengatasi deforestasi. Penyebab kerusakan dan kehancuran lingkungan. Sejauh ini, tantangan deforestasi justru direspons sektor kehutanan dengan kegiatan massif rehabilitasi hutan dan lahan. Juga pembangunan besar-besaran hutan tanaman industri. Sebagai upaya menghijaukan kembali bentang alam, sekaligus meningkatkan kapasitas penyerapan gas rumah kaca (GRK).
Menjadi jelas. Bahwa dialektika sebab-sebab keruntuhan/collapse suatu masyarakat, sejauh ini masih bisa diantisipasi dan ditanggulangi Indonesia. Salah satunya melalui kerja keras menurunkan laju deforestasi. Dengan program rehabilitasi ribuan hektar atas ratusan ribu hektar kawasan deforested. Menjadi pintu masuk pengembalian fungsi bentang alam. Bagi keberlanjutan fungsi penyangga ekosistem kehidupan. Lebih jauh, Indonesia juga tidak berada dalam proses collapsed sepanjang dapat membangun hutan di kawasan-kawasan hutan yang terdegradasi atau terdeforestasi.
Yang patut dibanggakan, rimbawan Indonesia bersama partner mampu membangun dan mengelola hutan tanaman industri. Mengolahnya dalam berbagai industri dan menjual produk-produk turunannya di pasar global. Pembangunan dan pengelolaan hutan tanaman industri berperan dalam carbon sequestration dan mitigasi bencana perubahan iklim. Dengan demikian, kelola hutan tanaman industri menunjukkan manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan.
Akhirnya, pandangan dan keyakinan masyarakat global tentang hutan Indonesia sebagai paru-paru dunia, perlu tindakan simpatik. Misalnya mengkampanyekan “please contribute to keep the world lung healthy”. Melalui pendanaan pemeliharaan paru-paru dunia tersebut. Bukan bantuan, namun memang sudah selayaknya dunia berkontribusi.
Sesungguhnya tidaklah etis apalagi elok. Komunitas dunia hanya menjadikan hutan tropis sebagai paru – paru dunia tak lebih sekedar jargon sloganis. Menerima manfaat riil, namun sama sekali tidak turut memelihara dan melestarikannya. Sungguh tak bermoral. Dalam konteks ini, Indonesia secara konkrit telah mempraktekkan sebuah high politic dalam percaturan dunia. Berkontribusi mewakafkan hutan tropis untuk kemaslahatan komunitas dunia. Sebagai bagian membangun peradaban Nusantara berbasis ideologi Pancasila dan keberagaman Bhineka Tunggal Ika. Bangga menjadi Rimbawan.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Ales Krivec/Unsplash