Oleh: Rafie Mohammad (Mahasiswa S1 Fakultas Kehutanan UGM, Intern Staff Sebijak Institute)
Dalam beberapa dekade terakhir, concern atas kepentingan lingkungan (khususnya perubahan iklim) telah mendorong gerakan penurunan emisi gas rumah kaca dan transisi energi menuju pendayagunaan energi terbarukan dan rendah karbon. Salah satu sektor yang mengalami perubahan revolusioner adalah sektor transportasi, termasuk di dalamnya kendaraan pribadi roda empat yang menuju ke arah elektrifikasi. Hal ini diindikasikan oleh berkembang pesatnya perusahaan kendaraan elektrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) seperti Tesla dan shifting besar-besaran perusahaan otomotif menuju produksi massal BEV.
Sebelum BEV, kendaraan berbasis energi terbarukan lainnya seperti fuel cell electric vehicle (FCEV) yang berbasis hidrogen sudah sempat dikembangkan, tetapi surut dan dinilai sebagai commercial failure. Dibanding FCEV, BEV dinilai punya kans lebih besar untuk menyaingi kendaraan konvensional bermesin pembakaran dalam (internal combustion engine/ICE). Di samping keunggulan mutlak kendaraan energi terbarukan yaitu emisi yang rendah, BEV juga memiliki kelebihan lain seperti efisiensi daya yang mencapai 73%-90%, jauh lebih tinggi dari kendaraan ICE yang berkisar di angka 16%-37%. Selain itu, akses dan metode pengisian daya BEV lebih feasible dibanding kendaraan berbasis energi terbarukan lain seperti FCEV.
Akan tetapi, berbagai kelebihan ini tidak serta merta membuat BEV mutlak mendapatkan sambutan positif, termasuk di Indonesia. Berbagai kritik menyertai perkembangan BEV, khususnya terkait feasibility penggunaan BEV oleh masyarakat luas. Tak hanya itu, klaim “ramah lingkungan” yang menjadi andalan propaganda BEV juga mendapatkan kritik dari kalangan pemerhati lingkungan.
Beberapa kritik di antaranya –harga jual dan biaya penggantian baterai yang (masih) tinggi serta metode pengisian daya yang belum sepraktis kendaraan ICE—merupakan problem global. Dalam hal ini, Indonesia tak dapat berbuat banyak dalam mengatasinya, mengingat Indonesia belum terlibat aktif dalam percaturan dunia otomotif tingkat global. Sementara itu, beberapa kritik lainnya lebih bersifat nasional dan penanganannya berada dalam kewenangan pemerintah Indonesia.
Perkembangan BEV di Indonesia (kurang) ramah lingkungan
Salah satu masalah utama kendaraan ICE yang saat ini umum kita gunakan sehari-hari adalah sifatnya yang kurang ramah lingkungan karena menggunakan bahan bakar minyak dan mengeluarkan emisi yang saat ini menjadi “musuh utama” mitigasi kerusakan lingkungan. Oleh sebab itu, pengembangan kendaraan berbasis energi terbarukan seperti BEV dilakukan untuk menciptakan kendaraan yang lebih ramah lingkungan. Akan tetapi, kondisi saat ini cenderung menyiratkan bahwa BEV di Indonesia “tidak seramah itu” terhadap lingkungan.
Persoalan pertama –yang sudah sering diangkat—adalah bauran energi pembangkitan listrik Indonesia masih didominasi oleh tenaga batu bara sehingga meski BEV itu sendiri tidak menimbulkan emisi, tetapi sumber energinya tetap polutif. Hal ini berkaitan dengan biaya penggunaan batu bara yang relatif terjangkau sehingga sesuai dengan prinsip biaya terendah (least cost) yang menjadi pedoman PLN dalam penyediaan listrik. Belakangan, muncul angin segar dari Darmawan Prasodjo (Wakil Dirut PLN) yang menyebutkan bahwa biaya energi listrik terbarukan saat ini sudah lebih murah dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sehingga potensi penurunan operasional PLTU di masa depan makin terbuka. Meski belum tampak langkah signifikan dalam hal ini, tetapi perkembangan transisi energi ini menarik untuk disimak, terlebih lagi transisi ini menjanjikan energi yang lebih ramah lingkungan sekaligus peningkatan efisiensi keuangan PLN.
Persoalan kedua adalah penyediaan baterai sebagai inti dari BEV. Seiring perkembangan kendaraan elektrik, pemerintah getol “memancing” produsen baterai dan perusahaan otomotif untuk berinvestasi di Indonesia dalam bentuk produksi baterai untuk BEV. “Umpan” yang digunakan adalah kekayaan Indonesia dalam hal cadangan nikel, salah satu komponen utama baterai BEV. Merebaknya investasi produksi baterai BEV di Indonesia tentunya akan meningkatkan eksploitasi cadangan nikel melalui pertambangan. Meski investasi ini secara teoretis berdampak positif bagi perekonomian dan perluasan lapangan kerja, tetapi sudah bukan rahasia lagi jika pertambangan semacam ini sering kali menimbulkan dampak negatif bagi kepentingan masyarakat dan lingkungan hidup, khususnya dalam hal pencemaran dan penguasaan lahan.
Tidak adanya legalitas untuk electric car conversion
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, harga jual BEV jauh lebih mahal dibanding kendaraan versi ICE, bahkan pada tipe kendaraan yang sama. Sebagai perbandingan, Hyundai Kona versi elektrik dibanderol seharga 697 juta rupiah (OTR Jabodetabek, April 2021), sementara harga Hyundai Kona versi gasoline sekitar 390 juta rupiah. Secara teknis, tingginya banderol harga BEV lebih dikarenakan teknologinya yang masih mahal alih-alih masalah perpajakan, mengingat skema pajak kendaraan (PKB dan PPnBM) tahun 2021 untuk kendaraan ICE tidak lebih ringan dibanding BEV.
Persoalannya, hingga saat ini di Indonesia belum ada terobosan mengenai BEV yang terjangkau dan usable seperti halnya Tiongkok. Oleh sebab itu, tak heran jika angka penggunaan BEV di Indonesia masih sangat rendah jika dibandingkan kendaraan ICE. Lalu, apakah ada solusi yang lebih terjangkau untuk memiliki BEV? Tentu ada, yaitu electric car conversion.
Proses ini pada dasarnya mengonversi kendaraan ICE menjadi BEV dengan conversion kit berbanderol terjangkau. Konversi ini dapat diterapkan pada berbagai jenis kendaraan (khususnya roda empat), terlepas dari usia maupun kelas kendaraan. Artinya, konversi ini dapat menjadi sarana pengurangan carbon footprint sekaligus limbah melalui restorasi kendaraan bekas.
Akan tetapi, berbeda dari negara seperti Irlandia yang memungkinkan kendaraan ICE untuk diregistrasi ulang sebagai EV setelah melalui review kendaraan, regulasi di Indonesia cenderung menghambat upaya konversi semacam ini. Alih-alih mengakomodasi restorasi kendaraan yang tersertifikasi, aturan di Indonesia cenderung mendorong kendaraan untuk mempertahankan sistem penggerak standarnya. Penggantian sistem penggerak hanya dapat dilakukan jika mesin dibeli secara legal dan terdokumentasi dari manufaktur kendaraan yang dimaksud. Padahal, hingga saat ini bisa dikatakan tidak ada manufaktur kendaraan di Indonesia yang menjual mesin baru secara retail (apalagi electric conversion kit).
Sebenarnya, pemerintah bisa saja mengembangkan sistem regulasi untuk mendorong manufaktur menyediakan electric conversion kit sebagai bahan konversi yang tersertifikasi atau malah membuka peluang bagi nonpabrikan untuk mengembangkan conversion kit legal. Adanya hal tersebut dapat mendorong adaptasi BEV nasional sekaligus mengurangi fenomena abandoned vehicle. Akan tetapi, sangat mungkin jika pemerintah memiliki pertimbangan lain sehingga kebijakan semacam itu tidak diimplementasikan, misalnya kepentingan pelaku industri kendaraan baru.
Lantas, apakah itu berarti perkembangan BEV di Indonesia berada dalam kondisi buruk? Tentu saja tidak, mengingat adaptasi BEV merupakan satu langkah kecil dari transisi energi dan sudah didukung berbagai kebijakan, termasuk Perpres No. 55 Tahun 2019. Akan tetapi, peningkatan concern dalam hal-hal yang dibahas dalam artikel ini dirasa perlu sebagai konsideran dalam menelurkan kebijakan-kebijakan yang lebih harmonis dengan salah satu tujuan utama pengembangan BEV yaitu transisi energi. Untuk apa melakukan satu langkah kecil, jika kita dapat melakukan langkah yang lebih besar?
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Martin Katler/Unsplash