Oleh: Dr. Untung Iskandar (Praktisi Rimbawan, eks Dirjen Kementerian Kehutanan)
Sungguh mengejutkan, sekaligus menggembirakan. Besarnya respon berbagai kolega atas tulisan mimpi dan harapan menjadi bangsa eksportir dan manufaktur (manufacturing and exporting nation) sebagaimana dimuat di http://forestgam.com/dampak-pembentukan-swf-dan-lpi-di-sektor-kehutanan/ mendorong penulisan artikel lanjutan.
Landasan berpikirnya adalah kebijakan pembentukan SWF (Sovereign Wealth Fund) dengan nama Indonesia Investment Authority (INA) khusus untuk mengelola investasi. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyebut SWF adalah kendaraan finansial untuk mengatur dana publik. Melalui investasi SWF terhadap dana milik negara tersebut, diharapkan ada stabilisasi ekonomi. Fungsi SWF juga untuk melakukan diversifikasi ekonomi. Jika sebelumnya hanya mengandalkan ekspor komoditas tak terbarukan, sekarang bisa lebih tinggi lagi nilainya yaitu dengan ekspor manufaktur dan jasa. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia segera melepaskan predikat eksportir komoditas tak terbarukan. Termasuk eksportir bahan mentah hasil galian menjadi eksportir hasil menufaktur atau fabrikasi.
Skenario Negara Eksportir
Untuk menjadi sebuah negara eksportir sukses, hal paling pertama dan utama tentu memahami konsep dasar kegiatan ekspor dan perannya dalam perekonomian suatu negara. Salah satu model pendekatannya menggunakan persamaan matematis. Rumus Y = C + I + G ( X – M). Intinya, salah satu cara menghitung pertumbuhan ekonomi adalah menjumlahkan belanja pemerintah (G) dengan investasi (I), konsumsi (C), sekaligus Ekspor. Kemudian dikurangi impor (X-M).
Konsumsi/ C (consumption), biasanya komponen terbesar perekonomian nasional. Terdiri konsumsi rumah tangga, akan barang tahan lama (durable good), atau barang sekali pakai (non durable good) serta pelayanan jasa (services). Negara yang konsumsi masyarakatnya tinggi akan mendorong banyaknya produsen dan investasi. Pada akhirnya meningkatkan prospek peningkatan lapangan pekerjaan dan lapangan berusaha. Aspek investasi/ I (investment). Terdiri pembelian peralatan dan mesin oleh bisnis. Memiliki peran sangat penting guna mendongkrak pertumbuhan ekonomi suatu negara. Investasi adalah membeli modal/barang-barang yang tidak dikonsumsi. Melainkan digunakan kegiatan produksi sehingga menghasilkan barang dan jasa. Dengan melakukan investasi suatu korporasi tidak hanya menambah barang modal saja. Melainkan juga menambah lapangan kerja yang lebih besar seiring meningkatnya produksi.
Faktor lain pengeluaran pemerintah/ G (government expenditures). Merupakan pengeluaran pemerintah (belanja pemerintah) untuk membayar gaji ASN, membeli senjata TNI/Polri dan berbagai investasi Pemerintah. Dari sisi belanja pemerintah (G), dalam APBNP 2013 (kemenkeu.go.id), didapati hampir setiap tahunnya sejak tahun 2007 anggaran pemerintah didominasi anggaran subsidi BBM dan belanja pegawai. Berikutnya, komponen eksport / X (exports). Ekspor Indonesia didominasi komoditas yang harganya ditentukan konsumen. Kasus sawit dan batubara sangat terkenal. Inilah fokus menjadi negara manufacturing yang semula mengekspor bahan mentah. Menjelma menjadi eksportir barang terfabrikasi sehingga harganya tidak ditentukan konsumen. Terakhir, komponen import / M (imports). Misalnya impor barang-barang konsumsi mewah, impor obat-obatan dan impor berbagai barang untuk keperluan penyelenggaraan negara.
Dari formula di atas tampak jelas perkembangan ekonomi ditentukan tingginya investasi dan ekspor barang dan jasa. Baru disusul yang lain. Fokus pengutamaan investasi dan ekspor adalah karena investasi berkembang, sebaliknya pengangguran berkurang. Timbul multiplier effect yang meluas. Terutama bila investasi yang tumbuh adalah investasi di sektor riil atau sektor tradable.
Faktor Produktivitas
Pada sisi SDM, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan tantangan terbesar dan terkini Indonesia adalah lepas dari Middle Income Trap. Sebuah situasi dimana tingkat pendapatan belum bisa naik kelas dari pendapatan menengah rendah. Lebih hal itu tersebab rendahnya produktivitas SDM Indonesia. Rendahnya produktivitas SDM juga dihitung dari total faktor productivitas (TFP). Faktanya, pekerja formal Indonesia masih didominasi SDM dengan tingkat pendidikan rendah. Dengan konfigurasi prosentase SMP ke bawah 36,6%, SMA 23% dan SMK 16,4%. Sisanya, diploma dan universitas 24%.
Karena itu penting dan mendesak meningkatkan Total Faktor Productivitas. Simak beberapa fenomena menarik dinamika dan perkembangan negara – negara dengan SDA rendah namun memiliki tingkat SDM tinggi. Berdampak pada tingginya produktivitas masyarakat dan negara.
Data Dana Moneter Internasional (IMF) menunjukkan pertumbuhan ekonomi Korea Selatan dan Taiwan telah bergantung pada inovasi teknologi perusahaan lokal. Korea Selatan telah mendirikan 35 perusahaan milik negara di sektor energi, konstruksi, dan perbankan. Pada tahun 1970-an, untuk meningkatkan kinerja perusahaan publik, Korea Selatan mulai memprivatisasi perusahaan milik negara, memberikan pinjaman dan perlindungan dari persaingan pasar ke kelompok bisnis milik keluarga―yang disebut chaebol- di Korea.
Bagaimana dengan Taiwan ? Pemerintah didukung perusahaan swasta telah berperan membantu Taiwan tumbuh menjadi kekuatan ekonomi dunia saat ini. Taiwan membangun laboratorium semi konduktor di National Chiao Tung University. Laboratorium tersebut menjadi tempat pelatihan banyak insinyur tulang punggung industri semi konduktor Taiwan. Lebih jauh, Badan Penelitian dan Layanan Elektronik (ERSO) milik negara didirikan di dekat universitas tersebut. Kemudian ERSO menciptakan perusahaan spin-off bernama United Microelectronics (UMC) dengan investasi modal 40 persennya berasal dari pemerintah. UMC kemudian menjadi pusat Taiwan mengembangkan teknologi chip. Mendidik dan melatih insinyur lokal. Membangun fondasi industri semi konduktor Taiwan.
Kesimpulannya, dukungan industri dalam negeri pemerintah Korea Selatan dan Taiwan—melalui pinjaman murah dan perlindungan pasar— menjadi kunci keberhasilan. Memberikan ruang bagi perusahaan meningkatkan anggaran mengembangkan inovasi teknologi. Kedua negara juga meningkatkan kualitas pendidikan. Sebagai komitmen menyediakan tenaga kerja berkualitas tinggi dan terampil.
Analog Sektor Kehutanan
Di sektor kehutanan dikenal konsep landscape forestry. Populer pula dengan sebutan bentang-alam-kehutanan. Suatu manajemen yang mengorganisasi bentang alam hutan memanfaatkan hasil hutan menjadi benda atau barang, jasa serta pengaruh pada aspek lain. Pada hakekatnya bentang-alam-kehutanan mendasarkan pengetahuan dinamika biologi. Sekaligus memanfaatkan flora dan fauna maupun asosiasi benda-benda abiotik. Seluruhnya bermuara menjadi produk kayu dan non kayu. Juga jasa berupa lingkungan dan pariwisata.
Pendekatan (kelola) bentang-alam (lanskap) dalam kaitannya dengan konservasi, pertanian dan penggunaan lahan lain berupaya mencari cara mengatasi makin rumit dan luasnya tantangan lingkungan, sosial dan politik. Seluruhnya telah melampaui batas-batas tata kelola tradisional. Pendekatan ini bukan resep, penentu atau terbungkus disiplin ilmu tertentu.
Satu masukan untuk manufaktur atau fabrikasi adalah pengertian tentang vaue-chain. Rantai nilai. Menurut investopedia, rantai nilai adalah model bisnis yang menggambarkan berbagai aktivitas untuk menciptakan produk atau layanan. Untuk perusahaan yang memproduksi barang, rantai nilai terdiri langkah-langkah yang terlibat membawa produk dari konsepsi hingga distribusi. Termasuk segala sesuatu di antaranya — seperti pengadaan bahan mentah, fungsi manufaktur, dan aktivitas pemasaran.
Perusahaan melakukan analisis rantai nilai dengan mengevaluasi prosedur rinci dalam setiap langkah bisnisnya. Tujuan analisis rantai nilai adalah meningkatkan efisiensi produksi. Dengan demikian perusahaan dapat memberikan nilai maksimum produk atau layanan dengan biaya yang ditentukan. Simak sebuah contoh value chain berikut ini.
Karakteristik industri furniture yang perlu mendapat perhatian khusus adalah ketidakpastian permintaan konsumen. Tersebab pertambahan jumlah penduduk tidak berdampak langsung terhadap kenaikan permintaan produk furniture. Karena itu, kebijakan produksi lebih sulit dibuat. Di sisi lain, Industri furniture sangat tergantung ketersediaan pasokan bahan baku kayu. Penurunan luas hutan produksi sangat berpengaruh kepada perilaku industri furniture. Kegiatan impor bahan baku dan–mungkin- dilakukan industri furniture agar tetap survive. Tak lain karena setiap tahun rata-rata terjadi kekurangan pasokan bahan baku sebesar 3.386.282 m3 dibandingkan kebutuhannya.
Penutup
Meskipun belum menyentuh posisi juru kunci, namun dibanding beberapa negara Asia miskin SDA namun memiliki SDM berkualitas tinggi Indonesia relatif tertinggal. Bahkan di kalangan negara ASEAN, produk kehutanan Vietanam sudah mulai menyalip Indonesia. Malaysia ? Jangan sebut karena sudah sejak lama negeri jiran serumpun itu selalu meremehkan NKRI. Upaya mengejar ketertinggalan tersebut, mutlak dilakukan Pemerintah RI dengan meningkatkan Total Factor Productivity.
Pada akhirnya peluang Indonesia keluar dari middle income trap tersebab rendahnya total factor productivity dan rendahnya tingkat pendidikan serta ketrampilan pekerja Indonesia harus menjadi PR besar Pemerintah. Kunci solusinya adalah peningkatan kualitas pendidikan. Menyediakan tenaga kerja berkualitas tinggi dan terampil. Diawali perubahan pola manajemen pendidikan. Harus berorientasi ketrampilan dan profesionalisme semua bidang kehidupan.
Di sisi lain, ada baiknya manajemen pelaku usaha furniture dan wood products mulai melihat peluang menerapkan landscape forest management. Menggabungkan kayu, HHBK dan jasa lingkungan di satu hamparan hutan. Tentu dengan dukungan SDM berpendidikan dan ketrampilan memadai. Kita tunggu.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Ken Shono/Unsplash