Oleh: Prof. Dr. Moh. Sambas Sabarnurdin (Pengajar Fakultas Kehutanan UGM)
Akumulasi tuntutan kebutuhan manusia telah membebani sumber daya hutan (SDH). Menyebabkan kerusakan permanen. Kesadaran bahwa SDH tidak dapat menghindari semua tekanan, maka salah satu hal terpenting bagi penyelesaian berbagai problematika hutan dan kehutanan adalah mengantisipasi perubahan sikap mental sekaligus menyiapkan bekal rimbawan dalam pemanfaatan SDH. Pertanyaannya bagaimana mewujudkan konsep dan rencana tersebut. Tulisan berikut mencoba mengukur dan membedahnya.
Equilibrium Fungsi SDH
Diakui sekaligus diyakini, akumulasi kebutuhan manusia atas SDH Indonesia telah melampaui daya dukungnya. Kerusakan hutan setiap tahun, cenderung tidak berkurang. Kesalahan menggunakan SDH harus dibayar mahal. Ongkos sosial ekonomi dan lingkungan seringkali bersifat tak ternilai. Berdampak bukan hanya di tingkat lokal, namun juga global.
Secara umum deforestasi dan degradasi lingkungan menyebabkan kemiskinan di pedesaan. Deteksi atas kekeliruan penggunaan SDH makin mencuat. Parapihak mulai mempertanyakan tujuan, cara pengambilan keputusan, maupun orientasi praktek kehutanan. Termasuk gugatan atas kesiapan rimbawan sendiri sebagai pemegang profesi.
Jelas diperlukan strategi inovatif. Demi kelestarian SDH. Kuncinya terletak pada penerapan pendekatan paradigma baru. Diperlukan sistem penyelenggaraan pengurusan hutan sesuai cita-cita reformasi. Menciptakan sistem pengelolaan hutan yang berkeadilan, terbuka, dan demokratis. Demi hutan lestari bagi sebesar – besarnya kepentingan rakyat.
Pada dasarnya terdapat dua kelompok demand yang saling bersaing atas SDH. Di satu sisi pemenuhan kebutuhan pokok hidup manusia. Di sisi lain kebutuhan perlindungan lingkungan. Konsekuensinya, rimbawan harus senantiasa mendahulukan pengamanan tujuan perlindungan diatas tujuan produksi. Implikasi lanjutannya harus membagi kawasan hutan berdasarkan DAS, sub DAS, atau sub-sub DAS. Selanjutnya mengklasifikasikan berdasarkan kriteria pengaruh pemanfaatan hutan terhadap kesehatan tata air DAS tersebut. Sementara untuk keperluan adat penduduk setempat, ditetapkan juga kriteria hutan sebagai dasar keputusan menetapkan hutan sebagai “Kawasan dengan Tujuan Istimewa”. Sekaligus sebagai upaya penyelesaian konflik laten dan akut.
Hutan tanaman adalah alternatif logis untuk mencukupi kebutuhan bahan baku industri. Dengan pengembangan hutan tanaman yang produktif, efisien dan lestari, diharapkan tekanan terhadap hutan alam dan hutan lindung akan berkurang. Sebagai ilustrasi, untuk hutan jati seperti dihitung Sadhardjo (2003) dengan potensi produksi jati JPP 200 m3/ha pada akhir daur (20 tahun) akan hanya diperlukan unit luasan efektif yang lebih kecil. Tak lebih dari 2,000 ha. Dengan nilai setara hasil yang selama ini diperoleh dari luasan sekitar 15,000 ha. Implikasinya akan tersedia lebih banyak kesempatan untuk mengoptimumkan hutan bagi manfaat lainnya. Seperti halnya konservasi, perlindungan biodiversitas, dan kesejahteraan masyarakat lokal yang selama ini terabaikan.
Perubahan orientasi dan pendekatan pemanfaatan hutan memang mendesak dilakukan. Sejarah memberikan pelajaran sekaligus bukti nyata, kebutuhan akan perubahan kelola hutan sesuai dengan konteks waktu dan perubahan lingkungan strategis menjadi “conditio sine qua non”. Pemanfaatan eksploitatif hutan di masa lalu menghasilkan fenomena paradoks. Kehutanan mampu menjadi penggerak pembangunan, namun ironis karena keberhasilannya bersifat semu. Keberhasilan yang ternyata diikuti kerusakan hutan dan keuntungan yang diperoleh sangat didominasi segelintir kecil pihak (Nugraha, 2000). Karenanya, SDH harus dikelola adil dan demokratis karena praktek kelola hutan masa lalu dinilai gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat (adat dan lokal). Disamping tidak bisa menjamin kelestarian SDH (Simon, 1998).
Modal Rimbawan Ke Depan
Rimbawan harus lebih tanggap pada kebutuhan masyarakat. Harus mampu mengantisipasi dan proaktif terhadap tantangan zaman ke zaman. Arti pengelolaan hutan telah bergeser. Dari semula produksi kayu menuju hal-hal substansial dan kompleks. Pengentasan kemiskinan, deforestasi, rehabilitasi, penghormatan hak penduduk asli, dan pemberdayaan masyarakat. Jelas, tuntutan perubahan pendekatan pengelolaan atau pemanfaatan hutan menjadi sebuah keharusan. Terdapat berbagai rasionalitas. Baik faktor eksternal maupun internal rimbawan. Dari sisi eksternal setidaknya terdapat tiga faktor penting.
Pertama, kepedulian masyarakat terhadap praktek pengelolaan hutan makin meningkat. Rakyat paham pentingnya hutan. Bahkan masyarakat tertentu telah berhasil mengelola hutan secara lestari bagi peningkatan sosial ekonominya. Mewujudkan hutan untuk kesejahteraan.
Kedua, kebijakan kehutanan adalah bagian integral dari perkembangan sosial ekonomi suatu bangsa. Terkait hal tersebut, kondisi fisik dan sosial ekonomi negara amat menentukan alokasi sumberdaya alam. Proporsi alokasi lahan sektor kehutanan ditentukan kebutuhan ekonomi negara secara keseluruhan. Tidak pernah tetap sepanjang waktu. Melainkan diatur oleh permintaan dan pasokan barang maupun jasa hutan. Dengan demikian, pengambilan keputusan dituntut harus dilakukan dalam suasana desentralisasi. Bersama parapihak. Termasuk warga masyarakat desa hutan.
Ketiga, pendekatan lama seperti orientasi target, asumsi hutan homogen, produk tunggal, unit perencanaan pada level kawasan, perencanaan makro, dan prosedur kerja tetap sudah mulai ditinggalkan. Menjadi usang. Diganti pendekatan baru yang lebih progresif seperti orientasi proses, hutan beragam, hasil ganda, perencanaan bersifat mikro, pada level petak dan tapak, serta terbuka terhadap setiap perubahan atau inovasi baru. Hal ini juga dilandasi oleh fenomena baru. Bahwa pengetahuan kehutanan tidak lagi menjadi monopoli rimbawan.
Perubahan Sikap dan Mentalitas Rimbawan
Dinamika kesejagatan dan perubahan lingkungan strategis dengan sistem tata nilai baru, mengharuskan rimbawan berubah. Wajib melakukan adaptasi agar bisa bertahan (survival). Bahkan memenangi pertarungan. Di setiap medan. Kapanpun dan dimanapun.
Ke depan, rimbawan harus lebih luwes, terbuka, dan mampu menangani hal-hal yang kompleks. Kondisi ini memerlukan kebebasan menjalankan otoritas profesi. Berani terjun aktif dalam perdebatan umum dan berpendapat secara bebas. Sensitif dan berani mengkritisi kebijakan pemerintah (atau perusahaan) sebagai wujud partisipatif dalam membangun kewaspadaan maupun kepedulian serta komitmen pada kepentingan publik. Tentang apa yang seharusnya menjadi landasan, sekaligus jaminan bagi terwujudnya kebijakan SDH yang sehat dan berkelanjutan. Rimbawan juga harus peka terhadap gerak masyarakat desa. Termasuk mampu memahami kearifan lokal dalam mengelola sumberdaya alam secara lestari.
Dengan tantangan di atas, rimbawan ke depan harus memiliki bekal yang bukan hanya cukup. Tidak boleh sekedar pas – pasan. Rimbawan wajib dibekali keahlian berfikir holistik dan kontekstual serta mampu bertindak sebagai fasilitator. Sebagai pengelola hutan setiap rimbawan harus mumpuni sebagai ahli biologi praktis, berpandangan seorang perencana, berkeahlian seorang administrator. Termasuk luwes dan banyak akal di tengah kompleksitas persoalan, tuntutan ekosistem sebagai basis pengelolaan hutan, sekaligus hutan sebagai suatu entitas penopang kehidupan (Sabarnurdin, 2008).
Terakhir, dalam konteks orientasi ideologi, seorang rimbawan harus menegaskan kembali komitmennya pada ideologi Forest for People. Menempatkan kepentingan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Rimbawan juga harus menyadari bahwa rencana kehutanan nasional akan efektif bila bertumpu pada dan telah diterima warga negara yang sebelumny telah well informed (hasil konsultasi public atau FPIC/Padiatapa).
Penutup
Dalam kaitan idealisme profesi, generasi rimbawan harus rendah hati. Bersedia mendengarkan pendapat orang lain untuk bahan pertimbangan penyelesaian masalah kehutanan. Dengan demikian secara resiprositas rimbawan pun akan makin didengar, dihargai dan diiakui pihak lain.
Sejujurnya, profesionalisme rimbawan itu ada. Tetapi kurang dikenal. Mengelola sumberdaya alam membutuhkan seorang professional. Namun dibanding profesi lain –seperti hukum, kedokteran, dan psikologi – kehutanan sering kedodoran. “Kurang” professional”. Di Asia Tenggara, kehutanan sebagai disiplin ilmu telah menjadi bagian dari struktur institusi pemerintah. Namun sebagai sebuah profesi di mata masyarakat ternyata kehutanan itu “invisble”. (Houghton, 2000).
Akhirnya rimbawan harus makin sadar akan upaya mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap manfaat hutan tak langsung itu benar – benar ada dan berharga. Rimbawan hendaknya tidak gagal paham tentang pengelolaan hutan Indonesia yang berjalan ke arah soft forestry (sebagai corrective action) bukan lagi hard forestry yang exploitative.” Apalagi melupakan fungsi yang harus diutamakan. Tak lain sisi konservasi hutan sebagai sumberdaya genetik yang harus dilestarikan. Demi kemaslahatan umat manusia secara lintas generasi. Semoga.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: fkt.ugm.ac.id
Rimbawan yang berkarakter