Oleh: Dr. Untung Iskandar (Praktisi Rimbawan, eks Dirjen Kementerian Kehutanan)
Belum lama kehutanan Indonesia menggegerkan kehutanan dunia. Melalui sebuah public release Direktorat Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan (IPSDH), Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan (PKTL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Rabu 3 Maret 2021 lalu diungkapkan sebuah prestasi besar. Berdasarkan serangkaian hasil kajian pengolahan data dan analisa spasial, diperoleh data penurunan laju deforestasi. Tak main-main. Mencapai 75 persen. Jelas merupakan sebuah kemajuan kelola hutan yang luar biasa.
Tentu menarik memahami bagaimana pengolahan data dan analisa spasialnya sehingga pada akhirnya diperoleh angka di atas. Tak kalah menarik, faktor-faktor yang menjadi rasionalitas capaian kinerja birokrasi KLHK tersebut. Hal ini penting mengingat selama ini Pemerintah RI Cq. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan lebih sering menjadi bulan-bulanan komunitas lingkungan dan kehutanan global.
Pers release di atas sudah pasti mengejutkan. Bahkan untuk sesaat mungkin mampu membungkam para pengkritik Indonesia. Baik dalam negeri maupun komunitas global. Namun ungkapan menggelegar sesaat akan tiada berarti. Lagi-lagi bila Pemerintah RI Cq. KLHK tidak mampu menindaklanjuti momentum positip tersebut dengan pengembangan berbagai peluang konstruktif pasca penurunan deforestasi. Khususnya melalui kegiatan reforestasi besar-besaran berbasis bisnis multi produk sebagaimana amanat Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Rasionalisasi Kuantifikasi Deforestasi
Menyimak materi pers release, maupun dialektika yang berkembang pasca pers release bukan hanya menumbuhkan sikap penasaran, namun juga rasa ingin tahu. Kepo kata anak milenial. Bagaimana sebenarnya pengolahan dan analisa data deforestasi dilakukan. Baik kuantifikasi maupun spasialnya. Berdasarkan penelusuran, diperoleh data bahwa perhitungan laju deforestasi dilakukan pada seluruh daratan Indonesia seluas 187 juta hektar. Baik di dalam kawasan hutan maupun diluar kawasan hutan. Pemantauan dilakukan menggunakan citra satelit yang disediakan LAPAN. Kemudian diidentifikasi secara visual oleh tenaga teknis penafsir KLHK yang tersebar di seluruh Indonesia.
Hasilnya mengejutkan. Berdasarkan pemantauan hutan Indonesia tahun 2020 menunjukkan bahwa luas lahan berhutan seluruh daratan Indonesia adalah 95,6 juta ha. Atau setara 50,9 persen dari total luas daratan. Seluas 92,5 persen dari total luas berhutan atau 88,4 juta ha berada di dalam kawasan hutan.
Mari menyimak dinamika angka deforestasi. Angka deforestasi netto tahun 2018-2019 di dalam dan di luar kawasan hutan mencapai sebesar 462,5 ribu ha. Berasal dari angka deforestasi bruto sebesar 465,5 ribu ha dan angka reforestasi sebesar 3 ribu ha. Selanjutnya, angka deforestasi netto tahun 2019 -2020 di dalam dan di luar kawasan hutan Indonesia sebesar 115,5 ribu ha. Terdiri dari laju deforestasi bruto sebesar 119,1 ribu ha sekaligus angka reforestasi sebesar 3,6 ribu ha.
Analisa lebih mendalam, diketahui bahwa angka deforestasi tertinggi terjadi di kelas hutan sekunder, yaitu 104,4 ribu ha. Diketahui pula ternyata sebesar 58,1 persen atau 60,64 ribu ha diantaranya berada di dalam kawasan hutan. Sementara sisanya, seluas 43,7 ribu ha atau 41,9 persen berada di luar kawasan hutan. Dengan melakukan perbandingan luas deforested areas pada tahun-tahun di atas, menghasilkan sebuah angka pengurangan deforestasi yang sangat signifikan. Sebesar 75 persen. Sebuah kemajuan bahkan terobosan kinerja kelola hutan.
Dialektika Deforestasi
Harus diakui, data di atas sangat mengesankan. Menyatakan terjadinya penurunan deforestasi tahun 2019-2020 dibanding tahun sebelumnya. Namun analisa data di atas juga menghasilkan fenomena yang juga menimbulkan pertanyaan. Setidaknya, ternyata berdasar citra satelit luas lahan berhutan Indonesia adalah 95,6 juta ha. Seluas 88,4 juta ha berada di dalam kawasan hutan.
Beda pengertian atau definisi ini ditegaskan kembali dengan data deforestasi hutan sekunder, sebesar 58,1 persen berada di dalam kawasan hutan. Sementara 41,9 persen berada di luar kawasan hutan. Lebih jauh, data release tersebut juga menunjukkan bahwa pemerintah melakukan reforestasi sebesar 3,600 ha pada tahun 2019-2020. Disusul tahun berikutnya seluas 3,000 ha. Lebih jauh, data menunjukkan seluas 7,2 juta ha berada di luar kawasan hutan. Data ini memberikan informasi bahwa ada beda pengertian atau definisi tentang lahan berhutan dengan kawasan hutan. Isu lain yang megemuka adalah tidak disebutkan total deforested areas sampai saat ini dalam public release tersebut.
Salah satu issue dalam paparan kecil ini adalah perlunya meninjau kembali pengertian atau definisi kawasan hutan dan hutan di luar kawasan hutan. Berdasar Undang – Undang No. 41 Tahun 1999, Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Berdasar definisi ini, hutan di luar kawasan hutan bukan lagi tanggung jawab kementerian yang mengurusi kehutanan.
Realitas adanya hutan di luar kawasan hutan adalah suatu anomali. Apalagi luasnya tercatat sangat signifikan yaitu 7,2 juta ha. Anomali ini ditambah lagi dengan informasi deforestasi hutan sekunder di luar kawasan hutan seluas 43,7 ribu ha. Sebuah luasan yang hanya sedikit lebih kecil dari kawasan seluruh IUPHHK-HA. Harapannya, Direktorat IPSDH dapat menjelaskan istilah-istilah tersebut sehingga pertanyaan kritis bahkan “nyinyir” atas kajian penurunan laju deforestasi bisa dijawab tuntas.
Issue kedua adalah data tentang reforestasi sebesar 3.000 ha per tahun sejak 2018. Dibanding dengan luas deforestasi, angka ini sangat kecil dan sangat tidak signifikan. Public release itu juga tidak membahas atau tidak mendeskripsi kawasan reforestasi dan manfaat reforestasi. Disinilah pentingnya data total deforestasi dan angka deforestasi per tahun, untuk suatu kawasan hutan. Menjadi pertimbangan penting dua tujuan reforestasi di suatu area. Pertama, menetralisir deforestasi tahun lalu. Lebih lanjut, mereforestasi kawasan-kawasan hutan yang sudah deforested (gundul atau rawang karena deforestasi). Inilah pentingnya informasi tentang total deforested areas beserta lokasinya, sebagai informasi untuk investor yang berminat dan akan berinvestasi ke sektor kehutanan dalam usaha reforestasi menjadi jelas.
Para rimbawan profesional mengetahui akibat buruk deforestasi. Antara lain rusaknya ekosistem, memburuknya kualitas lingkungan (tidak ada sequestration of green house gases, meningkatnya suhu udara), tanah longsor, banjir, serta kerugian-kerugian masyarakat lokal akibat memburuknya kualitas air sungai (disamping banjir). Wajar bila reforestasi perlu dilakukan secara besar-besaran. Selain menjaga kualitas lingkungan juga untuk mempertahankan perolehan manfaat ekonomi dan sosialnya.
Apapun usahanya, reforestasi adalah usaha bisnis karena melibatkan modal, personil, metode yang dipilih, dana yang diperlukan untuk pengusahaan reforestasi serta peralatan yang dipilih. Melihat luasnya deforestasi, kegiatan reforestasi tidak dapat dilepaskan sebagai sebuah usaha bisnis. Reforestasi adalah awal dari kelola hutan jangka panjang karena hasil-hasilnya. Baik kayu, bukan-kayu dan jasa lingkungan. Bukan hanya yang tangible namun juga yang bersifat intangible. Apapun itu, reforestasi harus menguntungkan, karena semuanya marketable.
Dengan demikian pilihan lokasi, luas kawasan reforestasi dan jenis-jenis tanaman untuk reforestasi merupakan pertimbangan penting. Melihat masa lalu, pemerintah masa kini dapat membangun hutan tanaman industri (industrial timber estate) atau format-format lain dari kawasan hutan sebagai sebuah kawasan ekosistem. Bisa jadi Undang – Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Cq. Kehutanan dapat memfasilitasi untuk akselerasi aktivitas reforestasi. Unsur utama pemantapan program reforestasi untuk rehabilitasi deforestasi adalah kepastian lahan hutan. Tak lain yaitu peta dan batas-batas kawasan yang diakui dan dihargai para pihak dan pelaku ekonomi di lapangan.
Penutup
Kinerja mencegah atau mengurangi luas deforested areas pada 2019-2020 berhasil mengurangi 75 persen luas deforested areas dari tahun sebelumnya pantas diapresiasi. Pemerintah juga berhasil melakukan reforestasi seluas rata 3,000 ha pada periode itu.
Semua tahu, peluang kegiatan reforestasi cukup besar, sehingga dapat dilakukan jauh di atas luas itu. Tentu sepanjang pemerintah mampu menyiapkan lahannya yang clean and clear (bebas konflik dan bebas perambahan masyarakat atau usaha lain). Salah satunya adalah membangun hutan tanaman industri (industrial timber estate) yang masa kini dapat digabungkan dengan program pangan dari hutan (food estate) dengan menerapkan agroforestry komersial secara besar-besaran.
Angka tentulah penting karena merupakan simbol yang penuh makna. Namun yang jauh lebih penting dan bermakna atas angka hasil kajian sebagaimana public release Direktorat IPSDH, Ditjen Planologi dan Tata Lingkungan adalah upaya tindak lanjutnya. Bagaimanapun, deforestasi memberikan potensi seraya membuka peluang investasi di sektor kehutanan. Barangkali Undang-Undang tentang Cipta Kerja justru bisa menjadi momentum untuk memfasilitasi jargon Penyelenggaraan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Hal itu bisa direalisasi dengan fokus pada definisi hutan yaitu suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Sekali lagi, semua pihak menanti tindak lanjut konkrit Menteri KLHK pasca penurunan kuantifikasi laju deforestasi melalui usaha reforestasi.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Sumber gambar: Dave Herring/Unsplash