Oleh: Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Selasa, 16 Maret 2021 segenap rimbawan di seluruh Indonesia kembali memperingati momen istimewa. Sebuah hari dimana secara historis untuk pertama kali menjadi titik tolak kelahiran Departemen Kehutanan. Sebuah kelembagaan negara yang menjadi refleksi formal atas eksistensi sekaligus fungsi hutan dan kehutanan Indonesia. Termasuk keberadaan rimbawan selaku individu yang secara edukasi dan pengalaman empiris dinilai memiliki kaitan tak terpisahkan dengan sumberdaya hutan. Dalam perkembangannya, peristiwa monumental tersebut kemudian ditetapkan menjadi Hari Bakti Rimbawan (Anonim. 2017).
Sejak tahun 2014, Departemen Kehutanan telah melebur menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Namun keberadaan rimbawan tentu tetap eksis. Demikian pula perannya masih sangat diperhitungkan. Meskipun dikepung pandemi Covid-19, tahun 2021 ini Hari Bakti Rimbawan tetap mengusung tema besar. “Terus Berbakti di Tengah Pandemi untuk Lingkungan dan Hutan Lestari”.
Sejujurnya bukan tema itu yang semata-mata menarik. Yang jauh lebih provokatif dari ungkapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Dr. Siti Nurbaya MSc adalah ajakan kepada seluruh Rimbawan di berbagai segmen dan profesi di seluruh Indonesia. Untuk melakukan langkap sosial politik penting dan strategis.
Konsolidasi Rimbawan
Pertanyaannya, apakah konsolidasi demi membangkitkan kembali jiwa korsa Rimbawan masih relevan ? Bahkan gugatan yang lebih substansial adalah apakah konsolidasi Rimbawan masih diperlukan ? Lebih jauh apakah keberadaan dan peran Rimbawan dalam memperjuangkan alam Indonesia masih dibutuhkan. Termasuk mewujudkan panji-panji merah putih dan NKRI yang tercermin dari simbol beserta seluruh kontestasi hutan dan kehutanan di era global.
Rasionalitas Konsolidasi
Secara definisi, konsolidasi dimaknai sebagai sebuah usaha untuk menyatukan dan memperkuat hubungan antara dua kelompok atau lebih. Tujuannya membentuk suatu entitas yang lebih kuat dan solid. Dalam konteks sosial, konsolidasi merupakan suatu bentuk penguatan keanggotan masyarakat dalam sebuah kelompok sosial. Yang terdiri dari berbagai elemen. Baik agama, suku, gender, status sosial, serta identitas kultural lainnya.
Dalam konteks konsolidasi Rimbawan, terdapat beberapa konsep dan realitas yang menjadi rasionalitasnya. Bukan hanya relevan, namun juga penting dan strategis untuk diaktualisasikan.
Pertama, Rimbawan dan kelembagaannya sejatinya bukan merupakan organisasi statis. Bukan tak bernyawa tersebab beroperasi di ruang hampa. Rimbawan beserta setiap kelembagaannya –Mulai KLHK, DKN, PERSAKI, KAGAMAHUT, APHI, dan sebagainya- adalah organisasi yang dinamis, hidup dan berkembang. Sebagaimana dikatakan sang politisi Partai Nasdem itu, bahwa Rimbawan Indonesia tersebar di berbagai segmen. Baik profesi, latar belakang almamater, penugasan dan sebagainya. Potret tersebut menyebabkan Rimbawan Indonesia memiliki beragam latar belakang ideologi dan kepentingan yang bisa berbeda dalam konteks sosial, ekonomi, dan ekologi. Karena itu, konsolidasi Rimbawan menjadi penting dan relevan untuk bisa menyatukan komitmen, visi dan misi pembangunan hutan dan kehutanan. Hari ini maupun menyongsong masa depan.
Kedua, sama halnya dengan negara-negara lain di dunia, Indonesia hari ini tengah menghadapi krisis bahkan resesi ekonomi tersebab pandemi Covid-19. Tercermin dari pertumbuhan ekonomi minus. Dalam konteks ini, upaya penciptaan lapangan kerja dan penyediaan pangan melalui Food Estate tetap menjadi prioritas Presiden Jokowi. Terkait upaya tersebut, peran dan kontribusi KLHK melalui kebijakan dan program perhutanan sosial, rehabilitasi mangrove padat karya serta relaksasi multi bisnis di sektor usaha kehutanan diyakini menjadi salah satu kontribusi konkrit dan riil dari sektor kehutanan. Untuk mewujudkan semua hal di atas, tidak bisa tidak diperlukan konsolidasi Rimbawan. Untuk menyamakan persepsi demi meraih ultimate goals untuk membantu menyelamatkan masyarakat dan rakyat dari krisis berkepanjangan dan penderitaan yang lebih dalam.
Ketiga, konsolidasi Rimbawan Indonesia adalah upaya memanfaatkan momentum sosial politik yang luar biasa langka. Bagaimanapun realitasnya Presiden Jokowi tak lain adalah seorang Rimbawan. Belum tentu seratus tahun yang akan datang keberhasilan seorang Rimbawan meraih pucuk pimpinan politik tertinggi di pemerintahan RI akan bisa terulang. Dalam konteks visi, misi dan konsepsi pemikiran Jokowi harus diakui masih banyak kalangan birokrasi yang bukan hanya “terpecah” karena beragam pilihan ideologi dan kepentingan politik. Namun yang lebih fatal adalah juga “gagal paham”. Ketidakmampuan menyamakan gelombang dan frekuensi menyebabkan berbagai implikasi sosial politik. Bahkan kultural. Sebagian besar tentu kontra produktif dalam konteks kebijakan dan program pembangunan.
Meski pahit, berbagai kenyataan di atas harus diakui menjadi potret aktual Rimbawan beserta berbagai kelembagaannya. Kondisional tersebut pula yang dinilai menyebabkan terjadinya kemandegan transformasi kehutanan. Bukan hanya transformasi struktural. Namun juga reformasi kultural sebagaimana tercermin dari pergeseran karakter dan tata nilai (values) Rimbawan Indonesia.
Dampak Konsolidasi
Tak ada yang menyangsikan spirit de corps Rimbawan Indonesia. Namun tak sedikit pula yang mengkhawatirkan dinamika jiwa korsa Rimbawan belakangan ini. Dominasi orientasi kepentingan ekonomi politik di atas kepentingan sosial dan ekologi telah mendorong profesi Rimbawan gagal paham atas amanat konstitusi terhadap tujuan pengelolaan hutan. Apalagi kalau bukan hutan lestari rakyat sejahtera. Lebih dari itu, profesi Rimbawan menghadapi gugatan banyak pihak. Hutan rusak yang berdampak pada tanah longsor dan banjir di setiap musim hujan serta kekeringan maupun kebakaran hutan dan lahan di musim kemarau setiap tahun menempatkan Rimbawan sebagai “pesakitan”. Menjadi bulan-bulanan berbagai pihak. Mulai dari politisi, Kepala Daerah, LSM tak terkecuali komunitas internasional.
Ditengah berbagai situasi paradoks kehutanan di atas, upaya konsolidasi Rimbawan juga diharapkan akan memberikan dampak penyamaan persepsi. Juga frekuensi. Bahwa setidaknya selama tujuh tahun terakhir dibawah kepemimpinan Dr. Siti Nurbaya, MSc, KLHK banyak melakukan terobosan kebijakan dan program. Sebagai pengejawantahan politik kebijakan Presiden Joko Widodo. Berintikan konsep dan implementasi “corrective action” sebagai pondasi kebijakan pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup di masa lalu yang justru abai terhadap amanat konstitusi.
Hari ini, harus diakui pula bahwa ditengah situasi pandemi Covid-19 yang penuh keterbatasan, KLHK justru memperoleh banyak berkah dan manfaat. Berbagai capaian kinerja KLHK di tahun 2020 lalu justru sangat signifikan. Karenanya banyak memperoleh apresiasi berbagai pihak. Domestik maupun internasional.
Sebut antara lain misalnya, pencapaian penurunan deforestasi hingga 75,03 % di periode 2019-2020, seluas 115,46 ribu ha yang sangat fenomenal. Disusul capaian kerja kehutanan sosial yang telah mampu mendobrak stigma ketimpangan akses dan penguasaan asset sumberdaya hutan selama berpuluh tahun. Belum lagi terobosan penanaman mangrove dan rehabilitasi gambut yang dituntut nyata dan mampu diakses secara real time public melalui teknologi digital juga menjadi terobosan besar.
Masih ada lagi. Komitmen dan upaya KLHK menjaga stabilitas ekosistem dan keanekaragaman hayati menjadi pertaruhan martabat RI di dunia internasional. Pun kebijakan pengembangan SDM melalui diklat E-learning dan pemanfaatan berbagai platform digital untuk kegiatan pendidikan dan pelatihan. Tak terkecuali terobosan kebijakan pengembangan usaha kehutanan berbasis multi bisnis. Yang tak kalah menggembirakan, komitmen pencairan dana kredit karbon senilai USD 105 juta tentu akan menambah dan memperkuat posisi tawar KLHK Cq. Rimbawan.
Semua keberhasilan di tengah pandemi tersebut menjadikan berkah tersendiri bagi KLHK. Tentulah seluruh capaian di atas merupakan buah kerja keras seluruh Rimbawannya. Termasuk dukungan Rimbawan di berbagai lembaga lainnya.
Penutup
Hari Bakti Rimbawan kini telah memasuki periode tahun ke 38. Untuk ukuran usia maka periode waktu tersebut bukan lagi bisa dikatakan muda. Bahkan mendekati kematangan sebagaimana pepatah bijak yang menyebutkan bahwa hidup diawali di usia 40 tahun.
Seringkali kita mendengar pembicaraan-pembicaraan di berbagai forum dan kesempatan, ungkapan yang mengecilkan bahkan menegasikan peran apalagi prestasi Rimbawan. Bahkan sang Rimbawan sendiri seringkali kehilangan jati diri tersebab mengalami disorientasi. Menghujat profesi sendiri yang selama bertahun-tahun menjadi sumber hidup dan ladang amal kehidupannya. Banyak pihak meyakini sepenuhnya bahwa salah satu faktor yang mendasarinya adalah tiadanya komunikasi antara Rimbawan yang berada di lingkaran kekuasaan dengan mereka yang berada di luar kuasa.
Memang, ditengah demokratisasi politik dan keterbukaan informasi hari ini, konsolidasi Rimbawan tidak boleh disamakan dengan pemaksaan, apalagi kooptasi kepentingan politik atau pilihan ideologi kehutanan kelompok Rimbawan lain. Konsolidasi bisa saja bermuara pada target minimal. Sekedar silaturahmi sembari bertukar data dan informasi secara obyektif. Bisa pula penyampaian gagasan atau kritik dan saran. Sehingga terbangun sebuah proses dialektika yang penuh etika. Diskursus intelektual yang menjelma menjadi sebuah pendekatan kultur dan tradisi di kalangan Rimbawan Indonesia.
Pada akhirnya sangat diharapkan semua Rimbawan Indonesia tidak menghadapi kondisi “gagal paham” atas rasionalitas pentingnya konsolidasi Rimbawan. Bagaimanapun, konsolidasi Rimbawan bukan hanya sebuah kebutuhan, melainkan sebuah keniscayaan. Rimbawan Indonesia harus mampu melakukan transformasi struktural, mewujudkan reformasi birokrasi serta revolusi mental. Sesuatu yang akan menjadi modal sosial dalam gerbong pembangunan kehutanan ke depan. Selamat Hari Bakti Rimbawan. Bravo Rimbawan Indonesia.
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
Saya suka banget dengan rangkain kalimat ini, ….Dominasi orientasi kepentingan ekonomi politik di atas kepentingan sosial dan ekologi telah mendorong profesi Rimbawan gagal paham atas amanat konstitusi terhadap tujuan pengelolaan hutan. ……. Butuh keberanian lebih untuk mau melakukan otokritik sebagai seorang Rimbawan sejati, …… Keren dan salute untuk apresiasinya.