Oleh : Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Secara konvensional desa identik dengan kawasan pertanian. Konsepsinya didominasi pola pikir agraris dengan kultur tradisional yang seringkali jauh dari modernisasi dan pembangunan. Stigma negatip yang kemudian menjelma menjadi sebuah sesat pikir. Menyebabkan desa berada pada posisi periferi (baca : pinggiran) selama beberapa dekade. Berdampak pada keterpinggiran kawasan perdesaan dari isu strategis maupun agenda prioritas pembangunan.
Hari ini pembangunan kawasan perdesaan mengalami babak baru. Kawasan perdesaan yang seringkali dipandang sebelah mata, bukan fokus dan prioritas pembangunan sehingga cenderung termarginalisasi dan mengalami keterbelakangan wilayah, perlahan namun pasti kini mengalami perubahan. Adalah Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang mendorong paradigma pembangunan kawasan perdesaan mengalami perubahan sangat mendasar. Pembangunan kawasan perdesaan di suatu wilayah administrasi kabupaten/kota menjadi salah satu bukti nyata pengejawantahan pelaksanaan kebijakan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat. Lebih dari itu, pembangunan kawasan perdesaan merupakan perwujudan konsep membangun dari pinggiran. Guna meningkatkan produktivitas petani serta mewujudkan kemandirian ekonomi masyarakat yang disesuaikan potensi dan kekhasan desa masing-masing.
Hari ini, pembangunan perdesaan menjadi bagian utama sistem pembangunan nasional. Implementasinya melalui pengembangan Rencana Pembangunan Kawasan Perdesaan (RPKP). Diatur melalui Permendes No. 5 Tahun 2016 tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan. Tujuannya mengintegrasikan berbagai target lingkungan, sosial dan ekonomi pada dua matra strategis desa. Meliputi pengembangan sumber daya manusia sekaligus pengelolaan sumber daya alam perdesaan yang selama ini cenderung terabaikan.
Ekonomi Hijau Kapuas Hulu
Gelombang pengembangan sektor – sektor berbasis lahan dan industrialisasinya telah membuat banyak wilayah pedalaman Kalimantan –tak terkecuali Kalimantan Barat- mengalami geliat pembangunan. Komoditas kelapa sawit telah menyihir semua pihak untuk turut merasakan nikmatnya pertumbuhan ekonomi. Mulai dari TBS hingga berbagai produk turunannya. Kebun sawit telah menggeser kebun – kebun tradisional petani di berbagai wilayah pedalaman Kalimantan Barat. Termasuk Kabupaten Kapuas Hulu. Tegakan karet dengan produk getahnya yang selama puluhan hingga ratusan tahun menopang ekonomi warga Kapuas Hulu harus “pensiun dini”. Digantikan sang primadona baru. Kelapa sawit.
Sawit memang tak terbendung. Bagaikan banjir bandang yang tak mampu ditahan. Termasuk merasuk masuk ke Kabupaten Kapuas Hulu. Untuk menjamin tetap terjaganya marwah sebagai kabupaten konservasi, telah disusun Rencana Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Agropolitan tahun 2017. Tentu saja sesuai RTRWK tahun 2014-2034.
Terkait Kawasan Strategis Kabupaten Agropolitan, keberadaan RPKP secara substansial merupakan operasionalisasi pengembangan dan pengelolaan Kawasan Strategis Kabupaten. Lebih dari itu, secara konseptual dapat dipandang sebagai alat integrasi dan sinergi peran sektor, pasar dan sekaligus masyarakat. Tujuannya mengikis sejarah kelam masa lalu agar terbangun percepatan pembangunan di kawasan perdesaan. Tentu dengan memanfaatkan setiap peluang dan potensi yang ada secara efektif dan optimal. Harapannya akan menghasilkan pasokan bahan baku di hulu secara berkelanjutan bagi pengembangan komoditas di hilir dengan nilai tambah yang tinggi.
Sektor perkebunan memang potensial sebagai penggerak perekonomian. Dalam konteks ini, komoditas perkebunan kelapa sawit di dalam Kawasan Agropolitan Hijau merupakan salah satu penggerak perekonomian Kabupaten Kapuas Hulu. Termasuk perkebunan sawit mandiri yang telah memberikan kontribusi bagi pengembangan pusat pertumbuhan kawasan. Penciptaan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan Rencana Umum Pembangunan Perkebunan Berkelanjutan Tingkat Provinsi Kalimantan Barat, rencana pengembangan komoditas sawit di Kabupaten Kapuas Hulu dialokasikan pada kawasan seluas 350.000 hektar. Luasan tersebut meliputi kawasan perdesaan sawit mandiri sebagai kawasan penyangga Kawasan Strategis Kabupaten Agropolitan. Pertanyaannya, apa yang menjadi pertimbangan pemilihan komoditas unggulan kelapa sawit mandiri. Yang seringkali menimbulkan polemik bahkan pro dan kontra.
Setidaknya terdapat lima alasan yang menjadi rasionalitas. Pertama, sawit merupakan salah satu komoditas yang menonjol untuk dikembangkan sebagai usaha tani secara komersial di kawasan perdesaan dan secara faktual telah berkembang. Kedua, kondisi tersebut didukung besarnya minat warga masyarakat mengembangkan kelapa sawit secara mandiri. Sawit sudah demikian popular. Ketiga, usaha kebun sawit memiliki peluang dan potensi pertumbuhan cukup besar untuk mendorong upaya percepatan pembangunan wilayah perdesaan. Keempat, kebun sawit merupakan salah satu komoditas penggerak perekonomian yang berkontribusi terhadap penyerapan tenaga kerja, disamping peningatan kesejahteraan warga masyarakat. Terakhir, keberadaan petani kelapa sawit mandiri belum mendapat arahan pengembangan dalam konteks kawasan, dukungan kebijakan dan teknis.
Atas dasar realitas tersebut, dalam upaya pengembangan dan penguatan petani sawit mandiri diterbitkan Peraturan Bupati Kapuas Hulu No 20 tahun 2018 tentang Pembangunan Kawasan Perdesaan. Dengan dukungan penuh WWF Indonesia, upaya mengoperasioalkan konsep perencanaan pengembangan kawasan perdesaan sawit mandiri berkelanjutan dan ramah lingkungan pun kini bergulir. Menggelinding berkembang bak bola salju.
RPKP Sawit Mandiri Kapuas Hulu
Petani sawit Kapuas Hulu tak gampang berpuas dulu. Terlebih, kondisi petani sawit mandiri di kabupaten paling hulu Kapuas itu, kondisi faktualnya harus diakui memang kurang menguntungkan. Tersebab berbagai keterbatasan. Salah satunya dikarenakan pembangunan sektor perkebunan berbasis kawasan memosisikan desa-desa sebagai kawasan hinterland. Kawasan sentra produksi yang mempunyai peran utama sebagai penyangga ekonomi wilayah kabupaten. Kondisi tersebut dari sisi komoditas menuntut adanya upaya peningkatan produktivitas, aspek kelembagaan dan pembenahan aspek legalitas.
Di sisi lain, pembangunan kawasan memerlukan upaya percepatan pembangunan wilayah perdesaan yang mencakup desa sasaran yang perkembangannya tidak secepat perkembangan wilayah lain. Dalam konteks RPKP Sawit Mandiri di kabupaten Kapuas Hulu, desa sasarannya mencakup wilayah pengembangan lima desa dan mencakup dua kecamatan seluas 31,913 Ha. Kelima desa dimaksud meliputi Desa Miau Merah, Desa Sungai Sena, Desa Seberu, Desa Nanga Nuar dan Desa Pala Kota. Kelima desa tersebut mempunyai potensi pertumbuhan perkebunan sawit cukup besar sehingga membutuhkan dorongan ekstra dari pemerintah daerah. Utamanya arahan kawasan, dukungan kebijakan dan teknis.
Untuk memastikan bahwa semua berjalan sesuai peraturan perundang-undangan, serta optimalisasi sinergitas seluruh organisasi perangkat daerah, Bupati Kapuas Hulu No. 308 Tahun 2019 Tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pembangunan Kawasan Perdesaan Kabupaten Kapuas Hulu Tahun 2019. Tujuannya mewujudkan sinergitas dan harmonisasi kebijakan, strategi, rencana dan program sektoral yang dilakukan oleh Kementerian/Lembaga dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten.
Berdasarkan kebijakan tersebut, susunan RPKP sawit mandiri terdiri 2 fungsi utama. Pertama, fungsi pusat kawasan yang merupakan pusat layanan sosial dan ekonomi pada skala kawasan. Fungsi utamanya secara manajerial sebagai pusat koordinasi dan pengendalian seluruh kegiatan. Terkait rantai pasok kelapa sawit mandiri. Kedua, fungsi Hinterland yang merupakan tempat produksi komoditas kepala sawit mandiri. Menjadi wilayah budidaya perkebunan kelapa sawit mandiri yang menyediakan lahan bagi pengembangan kegiatan budidaya perkebunan. Berdasarkan kebijakan Kabupaten Kapuas Hulu.
Sawit adalah komoditas yang sensitif secara lingkungan dan sosial. Termasuk aspek legalitas. Karena itu, lokasi pembangunan kawasan perdesaan kelapa sawit mandiri harus dapat dipastikan berada sesuai dengan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kapuas Hulu. Di samping itu memenuhi ketentuan tidak memiliki dampak merusak lingkungan dalam arti tidak berada di dalam kawasan hutan lindung dan hutan produksi terbatas dan hutan produksi tetap. Juga tingkat kelerengan curam sampai sangat curam dan tidak berada di sempadan sungai.
PENUTUP
Pada tingkat petani, operasionalisasi RPKP Sawit Mandiri Kapuas Hulu memiliki cakupan lebih luas –baik aspek legalitas dan sertifikasi- yang disesuaikan dengan kedudukan masing-masing pabrik PKS eksisting. Sementara pada tingkat volume pasok dan peningkatan keuntungan petani dicapai melalui penguatan kapasitas kelembagaan petani. Juga operasionalisasi BUMDes sebagai pedagang pengumpul /pemasar TBS.
Pada tingkat kawasan perdesaan, pencapaian peningkatan nilai tambah sawit berbasis RPKP Sawit Mandiri diwujudkan melalui intensifikasi budidaya perkebunan. Termasuk penggunaan benih unggul dan perluasan skala ekonomi dalam memproduksi komoditas kelapa sawit. Sumber-sumber penciptaan nilai tambah lainnya dapat diperoleh dari pengetahuan budidaya berkebun yang lebih baik, peningkatan kemampuan produksi dan kualitas TBS. termasuk operasi pengelolaan kebun yang jauh lebih efisien. Bersama BUMDes dalam pemasaran TBS dan koperasi untuk akses yang lebih baik dan harga pupuk yang kompetitif.
Pada akhirnya, intensifikasi budidaya perkebunan kelapa sawit mandiri harus menjadi bagian penting dari “label konservasi” yang melekat erat tak terpisahkan pada Kabupaten Kapuas Hulu. Dengan dukungan WWF Indonesia yang identik dengan lembaga pejuang konservasi dan peduli pelestarian lingkungan upaya tersebut akan bisa diwujudkan. Setidaknya didefinitifkan oleh Pemerintah Pusat –Kemendes- menjadi salah satu Kawasan Perdesaan Prioritas Nasional (KPPN). Oleh karena itu kegiatan usaha komoditas kelapa sawit mandiri sudah seharusnya menerapkan prinsip pengelolaan kebun secara berkelanjutan. Demi kemajuan kawasan perdesaan sekaligus kesejahteraan petani sawit mandiri. Semoga***
Putussibau, 08 Desember 2020
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.