oleh : Ir. Hudoyo M.M., (Plt. Direktur Jenderal PDASHL, KLHK)
Pembangunan nasional selama beberapa dekade selain telah berhasil mendongkrak pertumbuhan ekonomi, juga berdampak terhadap kelestarian lingkungan. Tercermin dari degradasi lahan, menurunnya keanekaragaman hayati dan meningkatnya perubahan iklim. Konsep pembangunan berkelanjutan diyakini menjadi solusi sebagaimana tertuang dalam KTT Bumi (1992) dan KTT Pembangunan Berkelanjutan (2012). Menghasilkan kesepakatan lingkungan global, yaitu Konvensi Rio.
Dalam prakteknya, tidak mudah mengimplementasikan konvensi global di tingkat lokal. Implementasi Konvensi Rio di Indonesia menghadapi berbagai kendalayang tercermin pada dominasi pendekatan pembangunan konvensional yang cenderung masih bersifat sektoral.
Karena itu, pendekatan pembangunan berkelanjutan yang bersifat lintas sektoral dengan melibatkan dukungan dan partisipasi para pihak merupakan kunci keberhasilan. Cross Cutting Capacity Development Project (Proyek CCCD) berbasis pengelolaan DAS yang dilaksanakan di tingkat tapak pada Model DAS Mikro merupakan sebuah model jalan tengah.
Proyek CCCD di Indonesia
Tidak mudah membumikan konsep pembangunan berkelanjutan yang telah menjadi komitmen pemenuhan lingkungan global. Tercermin dari keberhasilan roda pertumbuhan ekonomi inklusif yang mampu mengentaskan kemiskinan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan tetap menjamin keberlanjutan fungsi konservasi lahan, keanekaragaman hayati serta rendah emisi karbon.
Problemnya terutama terletak pada lemahnya legislasi dan kebijakan, belum efektifnya peran kelembagaan serta rendahnya kapasitas individu dan kelompok masyarakat. Kondisi tersebut diperburuk dengan tiadanya instrumen ekonomi yang mampu memberikan insentif kepada masyarakat dalam upaya menjaga dan mempertahankan kelestarian lingkungan. Pada akhirnya, semua itu diperburuk dengan rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan. Pembangunan yang mengarus-utamakan Konvensi Rio. Tertuang dalam Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity/CBD), Konvensi Kerangka Kerja Pencegahan Penggurunan (UN Convention to Combat Desertification/UNCCD) dan Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change/UNFCCC).
Adalah Proyek CCCD yang bertujuan membantu mengatasi berbagai keterbatasan dalam impementasi Konvensi Rio. Melalui manajemen DAS berkelanjutan, Proyek CCCD hendak memperkuat serangkaian instrumen kebijakan, hukum, dan ekonomi. Menjadikannya sebagai mekanisme insentif yang lebih kokoh untuk mengarus-utamakan kewajiban lingkungan global. Melalui kerjasama kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan, Cq. Ditjen PDASHL bersama Ditjen KSDAE dan Ditjen PPI yang didukung United Nation Development Programe dan Global Environment Facility, proyek ini hendak memenuhi sejumlah kapasitas dasar guna mewujudkan Konvensi Rio. Baik di tingkat sistem, organisasi/kelembagaan maupun individu dan kelompok.
Secara konseptual, Cross Cutting merupakan sebuah metode untuk menghubungkan suatu isu dengan isu Iain sehingga memiliki keterkaitan atau keterhubungan. Pembangunan umumnya bersifat multidimensi, melibatkan dinamika partisipasi para pihak dengan mempertimbangkan beragam aspek. Tidak jarang memiliki irisan dan keterkaitan erat antar bidang yang bersifat lintas sektoral.
Dalam konteks Indonesia, pendekatan pembangunan lintas sektoral menjadi sangat penting dan strategis. Setidaknya, terdapat tiga rasionalitas mendasar. Pertama, tujuan pembangunan konvensional di masa lalu sangat didominasi kepentingan ekonomi. Melalui target pertumbuhan ekonomi semaksimal mungkin sehingga seringkali bersifat A-sosial dan tidak ramah lingkungan.
Kedua, disadari bahwa kerangka politik kebijakan dan ketersediaan kelembagaan kerjasama pembangunan lintas sektoral menjadi kunci sehingga memiliki urgensi tinggi. Namun bentuk kerjasama antar kementerian dan lembaga tersebut belum memiliki format ideal. Komunikasi dan koordinasi lintas sektoral dalam konteks pembangunan merupakan sebuah prioritas bagi suksesnya perwujudan Konvensi Rio, namun dalam implementasi masih sangat sulit diwujudkan.
Ketiga, terbatasnya kapasitas individu dan kelompok yang tercermin dari rendahnya kesadaran atas aktualisasi komitmen mengarus-utamakan Konvensi Rio dalam setiap program dan atau kegiatan pembangunan yang bersifat lintas sektoral. Sudah menjadi rahasia umum kuatnya ego sektoral dalam pembangunan di Indonesia seringkali mengabaikan kepentingan sektor lain.
Realitas di atas tercermin dari fenomena sikap pesimis masyarakat yang menjadi responden survey pemahaman Konvensi Rio. Dalam kontesk pengetahuan yang dimiliki terhadap Konvensi Rio yang relative kurang mencapai 55,5 persen. Sementara kategori sikap ragu-ragu hingga keyakinan atas ketidakmampuan melaksanakan Konvensi Rio mencapai 68,2 persen. Terakhir dalam konteks kategori perilaku menunjukkan bahwa aktivitas yang tidak pernah menunjukkan keterkaitan dengan Konvensi Rio mencapai 65,94 persen (Proyek CCCD. 2019).
Pendekatan Model DAS Mikro
Proyek CCCD sebagai pengejawantahan tiga Konvensi Rio meletakkan kegiatan dalam skala pengelolaan lahan/DAS terpadu. Untuk memperoleh lokasi kegiatan yang representatif sesuai maksud dan tujuannya diperlukan suatu wadah pengelolaan DAS pada skala lapangan. Targetnya agar dapat digunakan sebagai tempat memperagakan berbagai proses kegiatan partisipatif dan multi pihak, multi dimensi aktivitas dan multi komoditas dalam kerangka pengelolaan DAS terpadu.
Basis kegiatan Proyek CCCD meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring serta evaluasi kegiatan rehabilitasi. Termasuk penerapan kegiatan teknik-teknik konservasi tanah dan air, usaha tani yang sesuai dengan kemampuan lahan. termasuk aspek sosial ekonomi dan kelembagaan masyarakat. Pengembangan DAS Mikro sebagai model pengelolaan DAS di tingkat tapak bertujuan membangun model dalam pemecahan masalah pengelolaan DAS. Sehingga lokasi DAS terpilih adalah Model DAS Mikro yang dapat merepresentasikan satu atau lebih masalah utama yang akan dibangun model pemecahan masalahnya.
Berdasarkan hal tersebut, telah ditetapkan 2 DAS Mikro terpilih sebagai lokasi Proyek CCCD. Pertama, DAS mikro Way Khilau yang merupakan bagian dari Sub DAS Way Bulok, DAS Sekampung, Lampung. Terletak di Desa Bayas Jaya, Kecamatan Way Khilau dengan status kawasan berada di kawasan hutan lindung Register 21 Perintihan Batu seluas 1.383,8 hektar dan areal penggunaan lain seluas 442,3 hektar. Kedua, DAS mikro Sumberbulu yang merupakan bagian dari Sub Sub DAS Bangsri, Sub DAS Lesti, DAS Brantas, Malang, Jawa Timur. Terletak di desa Bambang dan Bringin, Kecamatan Wajak, Kabupaten Malang, Provinsi Jawa Timur.
Target utama pemanfaatan DAS Mikro adalah untuk menghasilkan rumusan norma, standar, kriteria, prosedur dan pedoman pengelolaan sumberdaya alam yang efektif untuk dikembangkan dalam skala yang lebih luas dan operasional. Hal ini sesuai dengan maksud dan tujuan Proyek CCCD yang memiliki target sebagai jalan tengah sekaligus menjembatani upaya penerapan Konvensi Rio dalam pembangunan lintas sektoral.
Pada akhirnya, Proyek CCCD sebagai upaya membumikan 3 (tiga) Konvensi Rio di tingkat lokal dengan menetapkan lokasi proyek di tataran Model DAS Mikro terbukti tepat dan efektif dalam menghasilkan pendekatan program. Mampu memberikan dorongan pergerakan roda ekonomi lokal melalui insentif hibah mikro (Micro Grant) yang didukung partisipasi kontribusi dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) maupun para pihak lainnya di masing-masing lokasi Das Mikro.
Penutup
Setiap kegiatan berskala proyek selalu memiliki keterbatasan universal. Dalam hal anggaran dan waktu. Sesuai jangka waktu pelaksanaan Proyek CCCD sebagaimana identitas Project ID 00096387 dan Atlas Award ID 000090780. Proyek CCCD yang dimulai sejak Agustus 2016 ini secara resmi telah berakhir pada Agustus 2020.
Secara substansial, refleksi keberhasilan Proyek CCCD di DAS Mikro Way Khilau Lampung tercermin dari upaya penguatan kebijakan pengelolaan DAS di tingkat tapak. Tercermin dari diperolehnya 3 (tiga) SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan terkait dengan Kulin KK kegiatan perhutanan sosial di kawasan hutan lindung Register 21. Disamping 9 usulan Kulin KK yang kini sedang dalam proses. Sementara untuk DAS Mikro Sumberbulu di Malang, keberhasilan membumikan 3 Konvensi Rio tercermin pada penguatan kebijakan kelola hutan melalui persetujuan kerjasama kemitraan konservasi pemungutan HHBK di TNBTS dengan Pokdarwis masyarakat setempat.
Meskipun secara kuantitatif skala luas wilayahnya masuk kategori DAS Mikro, namun secara kualitatif skala substansi persoalan – persoalan yang dihadapi kedua lokasi Proyek CCCD sangat kompleks. Terutama menyangkut isu – isu degradasi lahan, keanekaragaman hayati serta perubahan iklim. Yang menarik dan patut memperoleh apresiasi adalah kemampuan mewujudkan capaian kinerja Proyek CCCD dimana walaupun kegiatannya terbatas di tingkat DAS Mikro namun mampu mengkapitalisasi berbagai hasil dan capaian kegiatannya dalam konteks yang lebih luas. Dengan demikian, sesuai maksud dan tujuan awalnya, maka capaian hasil Proyek CCCD akan bisa menjadi model. Sebuah model yang dapat diaplikasikan dalam sebuah pengelolaan bentang alam di wilayah lain dalam implementasi berskala luas. Semoga.***
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.