Oleh: Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Selalu ada hikmah dibalik musibah. Tampaknya ungkapan bijak leluhur dan para tetua itu masih sangat relevan. Bahkan menemukan momentumnya. Ditengah situasi pandemi Covid-19 yang telah memaksa perubahan fundamental berbagai sendi kehidupan masyarakat, muncul sebuah peluang besar. Bahkan mungkin tak pernah terbayangkan sebelumnya.
Adalah kehadiran kembali raksasa tidur hasil hutan bukan kayu (HHBK) Indonesia. Minyak atsiri. Beragam jenis minyak yang bersumber dari penyulingan daun atsiri. Tanaman asli hutan Indonesia. Kini benar-benar tengah naik daun.
Menemukan kembali eksistensi dan fungsinya. Melalui temuan-temuan peneliti –farmakologi- yang menyebar cepat di beragam media. Atas khasiat atsiri dalam meredam Covid-19. Diperkuat testimoni para pasien Covid-19 di berbagai warta. Yang telah dinyatakan sembuh pasca –sengaja ataupun tidak- menggunakan khasiat minyak atsiri.
Menjadikan potensi dan peluang atsiri kini menjulang membahana. Di era tatkala kepungan pandemi Covid-19 hampir membuat negara (Baca : Pemerintah) frustasi dan merana. Pun setiap warga dicekam rasa putus asa.
Ya, dengan kombinasi potensi atsiri dalam konteks konservasi lahan kritis dan peningkatan sosial ekonomi petani pedesaan, pengembangan minyak atsiri bisa menjelma menjadi terobosan penting. Program produktif. Kegiatan solutif. Dengan segala multiplier effect prospektif. Luar biasa atraktif.
Konservasi Lahan Kritis
Itulah sepenggal kisah yang hendak saya bagikan. Perjalanan saya pada minggu pertama, September 2020 lalu. Atas undangan para pendamping lapangan sekaligus para tokoh masyarakat sebagai inisiator pengembangan demplot atsiri. Berlokasi tak jauh dari kota Jogja. Tepatnya di Kelompok Tani “Karya Sejati” Dusun Kebonsungu, Desa Dlingo, Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Provinsi DIY.
Menyusuri sepanjang jalan dari kota Jogja menuju Dusun Dlingo, Bantul, sejauh mata memandang di kanan kiri jalan hanya ada satu pemandangan seragam. Bentang alam perbukitan batu cadas. Bukan lagi sekedar “tanah berbatu”. Melainkan benar – benar “batu bertanah”. Mendominasi landscape kawasan. Daerah berbatu kapur dengan ciri khas bukit-bukit kerucut (Conical limestone) dan merupakan kawasan karst. Kiri kanan jalan ditanami berbagai tanaman kayu hasil rehabilitasi. Ada sengon, mahoni dan paling dominan adalah jati. Namun rata-rata pertumbuhannya kurus. Bahkan boleh dikata tak terurus.
Ya, kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan selama dua dekade terakhir memang berhasil menghijaukan kawasan Kecamatan Mangunan hingga Kecamatan Dlingo, Bantul. Secara konservasi memang mulai menghijaukan lahan-lahan kritis di sepanjang perbukitan kiri kanan jalan. Mulai menghadirkan tetes demi tetes aliran mata air di berbagai kawasan perbukitan Bantul dan sekitarnya. Menjadikan sungai Oyo tak pernah surut. Meskipun dikepung kemarau panjang tahun 2020 ini.
Permasalahannya, bagaimana dengan manfaat sosial ekonomi lahan ?
Itulah pertanyaan bahkan gugatan yang selalu mengemuka di kalangan petani lokal. Konservasi tanpa nilai sosial ekonomi, justru menyandera kehidupan mereka. Hanya tiga tahun pertama mereka bisa menanam palawija melalui tumpang sari. Dengan jagung atau tanaman palawija lainnya. Itupun hasilnya tak seberapa. Setahun tak lebih dari setengah juta rupiah. Wajar program pembangunan kehutanan tak terlalu dilirik. Apalagi diminati.
Sementara harapan pada tanaman kayu, khususnya jati tak kunjung prospektif. Jati yang tumbuh lencir bak pensil, hanya menghasilkan diameter minimalis. Lima belas tahun sejak ditanam melalui program Gerhan, rata-rata diemeternya tak lebih hanya 10 cm – 15 cm. Tak ada istilah tebang butuh di kalangan petani Dlingo. Tersebab tanaman jati mereka tidak seperti yang diharapkan bila ditanam di lahan-lahan subur. Tumbuh pesat menghasilkan diameter yang besar. Sehingga menjadi rebutan kalangan pabrik maupun industri pengolahan kayu.
Hingga, saat pandemi Covid-19 mengunci. Muncullah gagasan itu. Menanam tanaman atsiri di lahan – lahan kritis. Menggantikan tegakan kayu yang tak lagi produktif. Mulai dengan tanaman tepi serai wangi (Cymbopogon nardus), tanaman pokok kayu putih (Melaleuca leucadendron) dan tanaman nilam (Pogostemon cablin). Tetap mempertahankan aspek konservasi sumberdaya lahan. namun dengan lonjakan nilai ekonomi yang mencengangkan.
Mendongkrak Sosial Ekonomi
Fenomena petani tersandera tanaman berkayu sudah berlangsung sejak lama. Tersebab kurang memberikan manfaat sosial ekonomi secara optimal. Tanaman berkayu yang kurus tak terurus juga memupus harapan akan hasil ekonomi yang bagus.
Itu dulu. Berpuluh tahun lalu. Lima bulan terakhir situasinya mulai berubah. Saat potensi minyak atsiri mulai diperkenalkan para tim pendamping. Didukung inisiator para tokoh kampung. Semua pun sepakat bulat mendukung.
Kultur petani cenderung konvensional. Selalu rentan terhadap perubahan. Karena itu sangat tak mudah merubah mindset masyarakat. Seringkali menghadapi perlawanan. Bagaimanapun yang telah melekat kuat selama ini adalah tanaman jati. Yang selalu dianggap sebagai kayu sejati. Agar tidak mati. Tabungan petani saat krisis atau paceklik.
Atas dasar pertimbangan itulah penanaman massal belum bisa dilakukan. Butuh pendekatan. Sekaligus bukti. Bahwa mengganti jati yang sudah mendarah daging dengan tanaman lain, harus didahului dengan bukti konkrit. Bukan janji. Apalagi mimpi.
Diawali pengembangan demplot tanaman serai wangi, kayu putih dan juga nilam. Di tanah kas desa Dlingo. Dengan target awal seluas 2 hektar dari target keseluruhan 5 hektar. Melalui sosialisasi intens, dimulailah penanaman ketiga jenis tanaman tersebut. Sejak Pebruari 2020. Tanaman kayu putih sebanyak 5.000 bibit, sereh wangi sebanyak 10.000 bibit. Sementara awal musim hujan pada tahun yang sama akan ditanami jenis Nilam tak kurang dari 10.000 bibit.
Untuk memastikan, bahwa hasil panen daun tanaman atsiri bisa langsung diolah menjadi produk yang siap dijual, dibangun pula mesin penyulingan minyak atsiri dengan kapasitas 100 kg. langsung di dusun Dlingo. Bagaimana nilai ekonominya ? Simak kalkulasi berikut.
Untuk sereh wangi, dalam setahun diproyeksikan panen tiga kali, dimana panen pertama dan kedua menghasilkan @15 ton dengan nilai @Rp 4,5 juta. Sementara panen ketiga menghasilkan 7,5 ton dengan nilai Rp. 2,25 juta. Seluruhnya dalam bentuk daun. Setelah diolah menjadi minyak atsiri, masing-masing panen pertama dan kedua menghasilkan @50 liter minyak sereh wangi dengan nilai @Rp. 6,75 juta.
Itu baru dari sereh wangi. Untuk Nilam panen pertama dan kedua masing-masing menghasilkan daun @3 ton dengan nilai @Rp 9 juta. Setelah diolah menjadi minyak Nilam menghasilkan masing-masing @30 liter dengan nilai tak kurang @Rp 18 juta.
Masih ada lagi ? Tentu saja. Terakhir dari produk kayu putih. Dalam setahun bisa menghasilkan dua kali panen, masing-masing daun sebanyak @10 ton dengan nilai @RP. 10 juta. Setelah diolah menjadi minyak, masing-masing hasil panen menghasilkan @ 100 liter dengan nilai @Rp 26,5 juta.
Total nilai ketiga produk daun dan minyak atsiri sereh wangi, Nilam dan kayu putih di atas sebesar Rp 49,25 juta untuk produk berujud daun. Sementara untuk produk minyak atsiri total Rp 102,5 juta. Per hektar per tahun !! Total daun dna minyak tak kurang Rp 151,75 juta/tahun/ hektar.
Berbagai proyeksi di atas bukan hanya kalkulasi di atas kertas. Terbukti, lima bulan kemudian, Juli 2020 lalu panen perdana serai wangi di Desa Dlingo dilakukan. Hasilnya luar biasa. Bupati Bantul, Suharsono yang hadir langsung di lokasi demplot bukan hanya sangat antusias. Namun sungguh sangat puas. Nilai ekonomi minyak atsiri mampu mendongkrak ekonomi warga petani. Sungguh jauh mengalahkan tanaman palawija. Hingga puluhan kali lipat.
Atas raihan awal Kelompok Tani “Karya Sejati” tersebut, Bupati Bantul memberikan apresiasi. Bantuan anggaran. Termasuk dukungan dalam bentuk program pengembangan infrastruktur yang akan bisa lebih memacu kemajuan wilayah desa Dlingo khususnya dan Kecamatan Dlingo umumnya. Bupati berjanji memperlebar jalan dan membangun jembatan yang akan menghubungkan langsung wilayah Kecamatan Dlingo ke wilayah Gunung Kidul. Sasaran Bupati Suharsono selain akan kian membantu mempermudah kegiatan pertanian, juga bisa melahirkan pengembangan program pembangunan di bidang wisata alam berbasis budidaya penanaman dan industri rumahan minyak atsiri.
Tidak mengherankan, bila Menteri Riset dan Inovasi Nasional Prof. Dr. Bambang Brojonegoro bahkan telah mencanangkan program swasembada atsiri di Kabupaten gunung Kidul, Bantul Selatan dan sekitarnya. Hal ini bukan mustahil. Faktanya, selama ini PAD dari sektor kehutanan di Provinsi Yogyakarta sebagian besar disumbang dari produk dan komoditas minyak atsiri.
Ngayogyakarta Hadiningrat memang bukan hanya istimewa. Namun juga sejak lama dikenal harum. Keharumannya dipastikan salah satunya karena kontribusi produk minyak atsiri. Tepat kiranya bila kinilah saatnya mengembangkan tanaman atsiri. Selain untuk konservasi lahan kritis. Tak kalah penting adalah untuk peningkatan sosial ekonomi masyarakat petani. Lalu, apa lagi yang ditunggu ?***
Tulisan merupakan pandangan pribadi, tidak merepresentasi posisi Sebijak Institute***