Oleh : Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Saya memandang takjub. Menerima langsung dari tangan sang penulis. Sebuah buku berjudul “Wisata Intelektual. Catatan Perjalanan 2005-2020”. Bayangkan. Dengan tebal 709 halaman + XXVII. Terdiri 16 bab. Seluruhnya dijabarkan menjadi 84 sub bab. Plus prolog bertajuk “Pramana” (Halaman XIV) yang mengawali pembukaan isi buku. Ditutup sebuah epilog pamungkas berjudul “Pungkasan” (Halaman 679).
Tuntas sudah. Sebuah buku yang bukan hanya menggambarkan perjalanan panjang pengabdian –fisik- seorang birokrat. Menapak –jatuh bangun- karier dari bawah. Lebih dari itu. Merefleksikan konsep pemikiran dan dialektika perkembangannya. Dalam berbagai dimensi ruang dan gelombang waktu. Bermuara di samudera intelektual. Bukan hanya akan menambah wawasan. Namun juga sangat mencerahkan. Sebuah buku yang karenanya wajib menjadi rujukan.
Berwisata Intelektual
Jujur. Sebagai penulis, sudah barang tentu selalu memiliki intuisi terhadap sebuah buku. Sebagai sesama penulis pula, sudah lama saya meminta secara pribadi kepada Mas Wiratno untuk memperoleh buku ini. Maka, atas dasar kesibukan masing-masing, sungguh menjadi pertemuan tak terduga saat berpapasan di lift Blok I gedung MWB. Momentum serah terima buku yang ditandatangani langsung sang penulis. Terima kasih Mas Wir.
Membaca buku Mas Wiratno dengan halaman luar biasa tebal itu, haruslah memiliki strategi yang tepat. Bila tidak, bisa terjebak pada kehabisan stamina. Kedodoran dalam bentuk rasa jenuh. Jauh sebelum menemukan puncak kenikmatan dalam wujud pemahaman atas substansi bab demi bab. Apalagi mampu memaknai inti pemikiran setiap sub bab. Ujung-ujungnya bisa menghasilkan penilaian yang salah. Bahkan stigma sesat pikir atas kualitas dan bobot buku.
Maka, sungguh tepat bila buku terbaru Dirjen KSDAE ini diberi judul “Wisata Intelektual”. Kata wisata jelas merujuk pada upaya seseorang untuk mengunjungi suatu obyek. Dalam konteks wisata intelektual tentulah yang menjadi obyek kunjungan adalah literasi. Buku dan substansi tulisannya. Tujuannya pasti. Agar pembaca memperoleh sesuatu yang baru –pengetahuan dan pengalaman- sebagaimana diungkapkan sang penulis.
Dalam berwisata intelektual, setiap pembaca bebas memilih obyek yang menjadi minat dan keinginannya. Melakukan shopping. Karena itu, setiap pembaca –dengan segala atribut latar belakangnya- tidak harus membaca dari awal. Konvensional. Pembaca bisa memilih langsung sub bab apa saja –secara acak- yang menjadi minat dan dominasi pengalaman –intelektual ybs- sehingga akan memiliki relasi dialektis. Komunikatif. Erat. Bahkan menyatu. Hal ini dikarenakan pembagian bab langsung ditentukan berdasarkan periode time series perjalanan waktu. Tahun demi tahun pengembaraan intelektual penulis. Periode 2005-2020.
Meski boleh memilih acak, dalam berwisata intelektual tetap harus tahu secara garis besar obyek yang akan dikunjungi. Untuk itu, disarankan melakukan pendekatan ala “kendang”. Yang pertama dan utama, membaca prolog (pembuka) dan epilog (penutup) buku. Keduanya termaktub dalam “Pramana” dan “Pungkasan”. Agar memperoleh pondasi awal isi buku.
Ya, kedua tulisan itu akan membuka pemahaman awal pembaca bagaimana sosok seorang Wiratno. Pemikiran dan tindakan-tindakannya. Sebagai seorang birokrat yang telah berkarier di KLHK selama 15 tahun terakhir. Dimana sebagian besar periode pengabdiannya dihabiskan di Ditjen KSDAE. Relasi dan interaksi dengan individu dan lembaga di lingkup konservasi dan kehati. Yang kelak banyak mewarnai pemikiran dan membangun karakternya di kemudian hari.
Memaknai Wisata Intelektual
Jujur, pembacaan cepat seluruh bab dan sub bab telah selesai. Gaya penulisan yang mengalir lancar, pilihan diksi yang tepat sekaligus mencerahkan, termasuk potret aksi lapangan yang selalu didasarkan atas konsep pemikiran yang jelas rujukannya. Membuat buku “Wisata Intelektual” ini benar-benar –secara tidak langsung- mampu menggambarkan secara jelas perkembangan kebijakan dan program pembangunan konservasi di Indonesia. Karenanya sangat penting bagi rimbawan umumnya. Khususnya pekerja konservasi di manapun bertugas.
Memaknai pemikiran Mas Wiratno, jelas menghasilkan sebuah potret utuh. Pemimpin berkarakter kuat yang senantiasa mengikuti dinamika zaman. Berani melakukan perubahan. Hampir bisa dikatakan tak ada pemikiran, apalagi tindakan Mas Wiratno yang mengandung unsur-unsur kebijakan masa lalu yang kini kontraproduktif. Setidaknya, hal itu mengemuka pada artikel berjudul “Sepuluh Etika Rimbawan” (Halaman 61). Betapa untuk menjadi seorang rimbawan sesuai dinamika zaman, diperlukan perubahan revolusioner. Mulai dari memanusiakan manusia, menghargai makhluk hidup lain, tidak melakukan kekerasan dan seterusnya. Semuanya jelas telah mendekonstruksi pola pikir para pekerja konservasi yang selama ini justru berpikir dan bersikap bertolak belakang dengan essensi konservasi dan kehati. Paradoks.
Mas Wiratno juga telah mengkontruksikan jati diri kelola kawasan konservasi. Membangun tahapan perkembangan pembangunan konservasi berbasis falsafah Jawa. Sebuah pendekatan filsafat yang sarat akan pendekatan kebudayaan. Berkiblat pada peradaban adiluhung. Khususnya budaya Jawa. Hal ini penting sebagai sebuah identitas kultural sehingga semua pekerja konservasi memahami dari mana ia berasal dan hendak kemana tujuannya bermuara (Halaman 3).
Sebagai pejabat teknis tertinggi di Ditjen KSDAE, Mas Wiratno secara perlahan namun pasti berhasil merubah wajah konservasi yang selama ini lebih didominasi pendekatan legal dan polisional. Menjadi pendekatan faktual, humanis serta berkeadilan bagi alam dan masyarakat (Halaman 15). Memberikan payung legalitas kepada masyarakat untuk bisa memanfaatkan kawasan konservasi melalui kolaborasi yang win win solution (Halaman 151), berbasis perhutanan sosial (halaman 145). Sebuah pilihan keberpihakan pembangunan yang jelas dan nyata. Tentulah masih sangat banyak konsep pemikiran yang terungkap dalam buku ini.
Pada akhirnya, ada sebuah benang merah yang bisa digarisbawahi atas buku “Wisata Intelektual” karya rimbawan Bulaksumur itu. Mewujud menjadi sebuah konstruksi kepemimpinan seorang Wiratno. Pertama, pemimpin itu hadir dan eksis. Bukan hanya saat dibutuhkan, namun pemimpin itu selalu ada kapanpun dan dimanapun. Karya-karya intelektual Wiratno menjadi penanda paling sah lagi nyata. Bahwa sebagai pemimpin ia selalu hadir dan bekerja bersama jajarannya. Tulisan sekaligus menjadi media resiprositas -komunikasi dan apresiasi- vertikal horizontal di jajaran lingkup kelembagaannya.
Kedua, konservasi adalah sebuah wilayah pengabdian yang luas dan kompleks. Tidak selalu lurus dan tidak berupa kertas putih yang bersih. Karena itu, pemimpin konservasi harus berani memutuskan sekaligus melaksanakan tanpa setitik keraguan. Sepanjang rasional dan untuk kepentingan yang lebih besar. Bukan hanya berbicara dan memberi perintah. Namun tidak memberi contoh berani bertindak. Tersebab segan dan menolak memikul beban tagggung jawab atas segala resiko dan konsekuensi. Ketulusan dan tiadanya konflik kepentingan pribadi dan golongan, akan mendorong seorang pemimpin berani menuntaskan persoalan. Bukan menghindari atau bahkan membiarkannya. Itu yang dicontohkan seorang Wiratno melalui buku wisata intelektualnya.
Ketiga, ucapan dan tindakan selalu memberikan konsekuensi. Salah satu konsekuensi yang justru memperkuat kepemimpinan Wiratno adalah keteladanan. Tatkala apa yang diucapkan sebangun dengan apa yang dilakukan, maka disitulah modal sosial individu dan kelembagaan akan terbangun. Kepercayaan.
Obsesi Flying Team
Saya bukan seorang konservasionis. Bukan pula seorang birokrat. Karena itu belum pernah menyatu dalam sebuah kerja bersama. Dalam jangka periode waktu lama pula. Namun sebagai rimbawan dan sesama penulis ada kecocokan. Banyak melakukan diskursus intelektual. Tentang banyak hal. Terlebih karena memiliki minat yang sama : menulis. Sama sama tersihir salah satu tema besar pembangunan kehutanan. Issue dan agenda keadilan sosial komunitas.
Syahdan, dalam sebuah dialektika 13 tahun lalu pada saat penyelenggaraan COP di Denpasar, Bali 2007, Mas Wiratno mengungkapkan salah satu obsesinya. Sebuah konsep bernama “Flying Team” (FT). Team khusus yang terdiri para individu kompeten dan berpengalaman. Untuk mendukung secara cepat dan efektif kerja – kerja pembangunan konservasi yang demikian pesat dan dinamis. Sebuah pemikiran terobosan inovatif khas Wiratno. Kreativitas Out of the box. Tidak terjebak pola struktural – konvensional. Tentu bukan merubah apalagi membuat struktur baru. Namun lebih pada upaya melengkapi. Agar organisasi lebih efektif dan optimal.
Lima tahun kemudian, tatkala menjadi nakhoda di BKSDA dengan teritori Provinsi NTT, Mas Wiratno untuk pertama kali menerapkan konsep FT. Namun saat itu dengan pola yang sama sekali berbeda. Dalam aktualisasinya, FT merujuk pada tim yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Resort Based Management (RBM). Personilnya bukan mereka yang advanced kompetensi dan pengalamannya. Sebaliknya, SDM yang justru tidak termanfaatkan secara optimal dan karenanya bila tidak diperankan bisa terjebak ke kuadran negatip. Hasilnya luar biasa. Personil FT yang diterjunkan ke lapangan, terbukti mampu membantu tugas-tugas resort. Menumbuhkan komunikasi intens dengan kepala dan jajaran staf resort. Membangun relasi sosial kultural dengan masyarakat. Bahkan membantu menemukan solusi persoalan-persoalan lapangan (Halaman 431).
Hari ini, saat Mas Wiratno sudah menjadi pejabat puncak di Ditjen KSDAE, KLHK, saya meyakini sepenuhnya konsep FT telah diterapkan dengan baik. Benar-benar operasional. Buku “Wisata Intelektual” ini bisa jadi refleksi salah satu keberadaan dan peran konsep FT. Betapapun padatnya agenda dan jadwal kegiatan sebagai pejabat eselon 1, Mas Wiratno masih tetap menulis. Konsisten. Bahkan menerbitkan menjadi sebuah buku yang luar biasa berbobot. Menjelma menjadi sebuah monumen sekaligus prasasti. Atas capaian kiprahnya dalam menunaikan tugas dan pengabdian. Sekaligus capaian kelembagaan Ditjen KSDAE yang mampu menjadi gerbong perubahan dalam pembangunan konservasi di Indonesia. Tentulah kalau tidak didukung team SDM birokrasi yang handal, tak mungkin bisa merealisasikannya. Lagi lagi, Saya kembali terpikir dan teringat konsep FT obsesi Mas Wiratno. Memang paten.
Sebagai catatan akhir. Hampir tidak ada yang terlewatkan dalam buku ini. Substansi formal, teknis, informal maupun non teknis. Bahkan relasi yang sangat human interest hampir mengemuka di setiap sub bab. Mengalir deras. Sangat memperkaya. Beberapa bahkan tergali cukup mendalam. Mencerminkan dominasi karakter empati dan simpati sosok seorang Wiratno. Bukan hanya hubungan vertikal kepada atasan dan seniornya. Namun juga relasi horizontal kepada sesama kolega maupun bawahannya.
Karenanya, jujur tidak ada lubang dalam buku ini. Tidak ada yang terlewatkan yang menjadi titik lemah. Kalaupun ada, barangkali satu dua hal yang –mungkin- terlewat sebagai sebuah pakem buku yang selalu menjadi tradisi. Tidak ditemukan di buku ini. Satu halaman tentang biodata sang penulis. Yang menjelaskan secara rinci hal – hal yang lebih privat atas seorang Wiratno. Bagaimanapun, sebagai sosok pemimpin, pejabat, senior dan berbagai atribut sosial kultural lainnya, tetap diperlukan informasi diri yang lebih spesifik. Hingga mudah untuk diketahui khalayak umum. Khususnya para pembaca. Satu lagi adalah halaman indeks buku.
Terakhir, tidak banyak orang seberuntung saya. Bisa memperoleh buku, bahkan ditandatangni langsung sang penulis. Bagaimana dengan mereka yang sangat ingin memperoleh buku ini. Pilihannya hanya dua. Mendapatkan dengan membeli di distributor toko buku besar. Seperti jaringan Kompas – Gramedia dan Gunung Agung. Atau memperoleh edisi buku dalam wujud E-book. Semoga hal ini sudah dipikirkan pula oleh team Mas Wiratno.
Sekali lagi selamat dan salut kepada Mas Wiratno. Birokrat penulis sekaligus seorang rimbawan intelektual. Semoga senantiasa bersikap istiqomah pada setiap amanah. ***
Tulisan merupakan pandangan pribadi, tidak merepresentasi posisi Sebijak Institute***