Oleh : Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Sesuai konvensi politik ketatanegaraan, Presiden Joko Widodo kembali menyampaikan pidato kenegaraan. Pada Sidang Tahunan MPR RI dan Sidang Bersama DPR RI serta DPD RI. Dalam rangka HUT Ke-75 Proklamasi Kemerdekaan RI. Jum’at, 14 Agustus 2020.
Memang sejak proklamasi kemerdekaan, Presiden RI pertama sekaligus sang proklamator -Bung Karno- selalu menyampaikan pidato di depan para tokoh bangsa beserta segenap lapisan masyarakat. Selain menyampaikan soal-soal kebangsaan, sang orator ulung itu juga memanfaatkan kesempatan untuk menanamkan nilai-nilai ideologi bangsa.
Hal yang sama juga dilakukan Presiden RI ke-2. Soeharto. Di depan sidang tahunan MPR RI, Soeharto selalu mengusung program pembangunan yang menjadi ideologinya. Antara lain konsep Repelita yang tertuang dalam GBHN, Trilogi Pembangunan dan sebagainya. Demikian, seterusnya hingga era Presiden Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY. Kini, Jokowi melanjutkan tradisi politik ketatanegaraan itu.
Hari ini, ditengah kepungan pandemi Covid-19 yang belum juga mereda, serta ditingkahi ancaman resesi global, Presiden Jokowi kembali menyampaikan pidato kenegaraan.
HILIRISASI SDA
Walau masih penuh optimisme, namun nada prihatin (baca : muram) sungguh nyata dalam substansi pidato Presiden. Banyak agenda strategis yang harus dikaji kembali. Ditata ulang. Beberapa bahkan terpaksa ditunda.
Tidak ada lagi pembicaraan tentang gegap gempita pemindahan ibukota. Sementara, komitmen menggenjot pembangunan infrastruktur dalam konteks percepatan kesiapan Indonesia menghadapi era revolusi industri 4.0 juga harus dikaji kembali pelaksanaannya.
Hari ini, rezim ekonomi mengalami perlambatan. Kemunduran. Membutuhkan penyesuaian. Dampak pandemi Covid-19 membuat perekonomian dunia terjerembab. Konon terparah dalam sejarah. Ditengah upaya tata ulang prioritas pembangunan, satu agenda akan tetap digenjot. Hilirisasi SDA. Mungkinkah ?
Hilirisasi bukan isu baru. Hilirisasi bahan mentah yang berasal dari industri ekstraktif dalam negeri harus dilakukan besar-besaran. Mulai produk pertanian, perkebunan, perikanan, pertambangan, hingga migas. Seluruhnya untuk mewujudkan dua agenda strategis. Ketahanan pangan dan kemandirian energi. Mewujudkan visi Indonesia maju 2045.
Ada tiga rasionalitas dalam upaya mewujudkan hilirisasi SDA. Dalam jangka pendek, hilirisasi SDA bertujuan memperbaiki neraca perdagangan. Selama ini, neraca perdagangan Indonesia memang kedodoran. Meskipun kaya SDA, namun industri domestik masih sangat ekstraktif. Produk SDA Indonesia langsung diekspor –sebagai komoditas nir nilai tambah- membuat tak mampu mendongkrak nilai ekspor. Ironisnya, pengolahan bahan mentah dari SDA Indonesia kemudian diimpor dalam bentuk barang jadi. Dampak lanjutannya menghasilkan devisa minimalis. Konsekuensinya, Indonesia terus mengalami defisit transaksi berjalan.
Dalam jangka menengah. Hilirisasi sangat penting untuk mewujudkan lokomotif pertumbuhan ekonomi nasional. Hilirisasi akan menciptakan berbagai industri pengolahan bahan baku yang melimpah. Selain akan menciptakan nilai tambah produk, multiplier effect-nya akan menciptakan berbagai peluang usaha lainnya. Mendatangkan investasi, menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, dan meningkatkan pendapatan. Pada akhirnya hilirisasi bisa menjadi pintu masuk terciptanya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru di berbagai kawasan di seluruh Indonesia.
Dalam jangka panjang, hilirisasi SDA akan membawa Indonesia pada status impian. Negara industri maju. Indonesia tidak hanya menjadi negara importir dan pasar berbagai produk barang dan jasa negara lain. Namun menjadi negara eksportir –produsen- dengan produk akhir bernilai tambah tinggi. Status sebagai negara agraris bisa jadi tetap. Namun status itu berkembang menjadi negara industri maju di bidang pertanian. Demikian pula dengan perikanan, perkebunan, pertambangan dan industri berbasis SDA lainnya.
QUO VADIS KEHUTANAN?
Pertanyaannya selalu sama. Kemana kehutanan ? Mengapa pidato Presiden Joko Widodo tidak menyebut hilirisasi komoditas kehutanan. Yang notabene merupakan salah satu sumberdaya alam pionir sekaligus paling potensial. Termasuk kepentingan mewujudkan ketahanan pangan dan kemandirian energi. Dengan luasnya ketersediaan lahan, iklim yang memadai, serta karakter tegakan yang jauh lebih cepat tumbuh menjadikan kehutanan secara konseptual mampu memenangi semua kompetisi di tingkat global. Apalagi dengan potensi ketersediaan tenaga kerja yang tak kalah melimpah.
Mengapa produk-produk hasil hutan tidak masuk radar hilirisasi SDA ?
Berbagai pertanyaan bahkan gugatan di atas muncul di hampir semua diskusi forum rimbawan. Menjadi topik hangat. Bahkan panas. Betapa –konon- pidato Presiden sangat A-historis. Betapa sejarah mencatat pada dekade 1980-an sektor kehutanan menjadi sektor yang pertama melakukan hilirisasi produk kayu bulat. Menjadi berbagai produk industri hasil hutan. Terutama kayu lapis. Berorientasi ekspor. Dengan dua kebijakan utamanya. Stop ekspor logs. Dilanjutkan dengan industrialisasi hasil hutan kayu. Menjelma menjadi sebuah integrasi vertikal. Hingga Indonesia menjelma menjadi salah satu raksasa industri pengolahan kayu dunia. Menjadi salah satu yang terbesar saat itu.
Lalu, mengapa kehutanan tidak disebut dalam kebijakan hilirisasi SDA Presiden Joko Widodo ?
Tidak ada yang tahu. Tidak pula muncul jawaban pasti. Satu yang jelas dan pasti. Kebijakan menjadikan kehutanan sebagai salah satu lumbung pangan bukan sebuah kebijakan baru. Banyak terminologi dan nomenklatur yang mengemuka soal itu di masa lalu. Salah satu yang paling menonjol adalah Hutan Cadangan Pangan (HCP). Pada dekade krisis ekonomi 1997.
Demikian pula dengan kebijakan hutan sebagai sumber energi. Khususnya energi baru terbaharukan (EBT) melalui pengembangan hutan tanaman energi berbasis biomassa. Antara lain dalam bentuk wood pellet. Juga pengolahan biomassa menjadi biodiesel. Bahkan telah pula mengundang investasi investor raksasa dari berbagai manca negara.
Singkat kata. Berbagai kebijakan kehutanan di atas yang semula gegap gempita pada akhirnya senyap. Tanpa hasil nyata. Singkat cerita. Rencana program yang penuh optimisme keberhasilan dan keyakinan akan menjelma menjadi solusi pada akhirnya padam di tengah jalan. Kebijakan dan program hutan untuk pangan dan energi tidak pernah memberikan hasil konkrit. Tak berkelanjutan. Dikarenakan berbagai faktor penyebab. Dari mulai aspek teknis yang njlimet. Hingga dominasi faktor non teknis yang ruwet.
Ironisnya peran dan kontribusi sektor kehutanan pun kian redup. Jangankan sektor kehutanan hilir yang kini cenderung mati suri. Tak mampu bersaing karena tidak pernah kunjung ada investasi dan revitalisasi mesin – mesin baru. Yang ada adalah rencana ganti mesin bekas yang jelas sudah kalah saing dari sisi efisiensi. Termasuk tiadanya terobosan diversifikasi produk dan bahan baku yang kini pasokannya dari hutan alam kian berkurang.
Sementara pengembangan hutan tanaman industri setali tiga uang. Masih jalan di tempat. Pengusahaan hutan alam kian tersudut. Potret pengusahaan hutan di hulupun kini semakin kritis. Tersebab kepungan beragam masalah. Dari konflik lahan, besarnya pungutan, lemahnya re-investasi, tiadanya dukungan perbankan, rendahnya harga, dan masih banyak faktor lainnya. Menjadi benang kusut yang tidak jelas ujung pangkalnya. Pahit memang. Namun itulah kenyataannya.
Ibarat ungkapan gaul kaum milenial potensi kehutanan tak lebih dari sekedar PHP. Indah di rencana, namun sulit dijalankan. Bagus di konsep dan teori namun mustahil dalam realisasi. Salah satunya mindset hutan identik dengan kayu menyebabkan pemanfaatan dan penggunakaan kawasan hutan untuk kepentingan hasil hutan non kayu –pangan dan energi- menjadi rumit. Baik dari sisi teknis maupun non teknis kehutanan.
PENUTUP
Di tengah tekanan krisis selalu ada jalan. Ditengah kepungan masalah selalu ada peluang. Kuncinya, harus berani melakukan terobosan. Tidak berpikir linear dan berani merubah pendekatan normal menjadi cara-cara ekstra-normal. Dari kegiatan biasa menjadi luar biasa. Yang paling penting, dari perlakuan prosedur panjang berbelit menjadi sebuah terobosan cerdas efisien. Utamakan hasil jangan terbelenggu prosedur.
Lebih jauh, ditengah kompetisi global semua pihak harus mulai berani merubah mindset. Menunjukkan etos kerja yang mencerminkan produktivias yang sama sekali baru. Fleksibilitas, kecepatan, dan ketepatan menjadi sebuah keniscayaan. Diyakini akan mendongkrak daya saing. Penggunaan platform teknologi digital sudah tak dapat ditawar lagi. Itulah kunci memenangi kompetisi.
Harapan di atas selama ini justru tidak atau belum tampak di kehutanan. Sektor bisnis kehutanan masih terbuai kejayaan masa lalu. Romantisme kelimpahan kayu bulat dari hutan alam. Dengan berbagai kebijakan yang protektif. Membuat sektor bisnis kehutanan memiliki daya saing rendah. Pun bila ada masalah solusinya cenderung berpaling kepada pemerintah.
Demikian pula dengan birokrasi kehutanan. Masih sangat dominan rezim perijinan. Yang lebih mengutamakan prosedur. Tanpa melihat dinamika lapangan yang berkembang sangat cepat. Kompetisi global yang sangat pesat. Mau investasi saja sulit. Butuh waktu lama. Tersebab proses dan prosedurnya yang panjang berliku. Pada akhirnya, semua kondisional di atas tampaknya menjadikan kebijakan hilirisasi kehutanan masih jauh dari harapan. Memang semua ini belum tentu benar. Namun kalau memang demikian adanya, quo vadis kehutanan ?
Tulisan merupakan pandangan pribadi, tidak merepresentasi posisi Sebijak Institute***