oleh :Dr. Ir. Untung Iskandar, M.Sc. (Rimbawan Profesional)
Syahdan, sebuah program penilaian mutu pendidikan di inisiasi oleh OECD – The Organization for Economic Co-operation and Development – Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan yang disebut PISA- Programme for International Student Assessment (Program Internasional untuk Menilai Siswa). Program PISA menilai siswa sampai umur 15 tahun dalam bidang matematika, ilmu pengetahuan (sains) dan membaca. Program yang dilakukan setiap tiga tahun ini paling sungguh-sungguh di dalam menilai hasil pembelajaran siswa. Beberapa hasilnya ditunjukkan dibawah ini.
Berdasarkan data PISA 2018 – Average Score of Mathematics, Science and Reading: peringkat 1 sampai dengan 4 adalah [1] China (Beijing, Shanghai, Jiangsu, Zhejiang) – nilai rata-rata 578.7; [2] Singapore – nilai rata-rata 556.3; [3] Macao – nilai rata-rata 542.3; [4] Hong Kong – nilai rata-rata 530.7. Di kawasan ASEAN, peringkatnya adalah sebagai berikut [56] Malaysia – nilai rata-rata 415; [59] Brunei – nilai rata-rata 408; [66] Thailand -nilai rata-rata 393; [71] Indonesia – nilai rata-rata 371; [77] Philippines – nilai rata-rata 340.
Adapun maksud nilai-nilai di dalam mata pelajaran yang diujikan dengan sangat jelas di dalam FIRST RESULTS FROM PISA 2003 memiliki hasil yang relatif sama. PISA 2018 untuk Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam dan Membaca, posisi Indonesia berturut-turut berada di bawah Malaysia, Brunei dan Thailand. Namun di atas Philipina.
Tampaknya di ASEAN, SDM Indonesia bukan lagi menjadi kiblat. Apalagi menjadi yang terbaik atau setidaknya memiliki posisi lebih baik. Tentulah ironis. Sejarah pernah mencatat. Di tingkat ASEAN pendidikan Indonesia di masa lalu selalu menjadi kiblat para negeri jiran. Hingga negeri tetangga rela menimba ilmu ke Indonesia. Atau mengimpor guru dari Indonesia. Pertanyaannya, apa yang salah dengan pendidikan nasional kita ? Kemana guru-guru terbaik Bangsa ?
Peran Guru
Salah satu penyebab rendahnya nilai matematika, sains dan membaca adalah faktor guru. Berikut ini data yang disampaikan Professor Fasli Djalal, DirJen Peningkatan Mutu Tenaga Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Bahwa yang tidak layak mengajar -menjadi guru- berturut-turut untuk Guru SD sebanyak 605.217, Guru SMP sebanyak 167.643, Guru SMA sebanyak 75.684, dan Guru SMK sebanyak 63.961. Total keseluruhannya berjumlah 912.505 orang.
Sungguh miris. Artinya, hampir mencapai separuh dari jumlah guru di Indoensia yang sekitar 2,6 juta orang. Kualifikasi dan Kompetensi tidak mencukupi untuk mengajar di sekolah. Menurut UU No 14 tahun 2005 tentang Pendidikan, Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, serta sertifikasi pendidikan. Juga wajib sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Sedangkan kompetensi dapat digambarkan sebagai kemampuan untuk melaksanakan satu tugas, peran atau tugas, kemampuan mengintegrasikan pengetahuan, ketrampilan-ketrampilan, sikap-sikap dan nilai-nilai pribadi, dan kemampuan untuk membangun pengetahuan dan keterampilan yang didasarkan pengalaman dan pembelajaran. Menurut Permendiknas No. 16 tahun 2007 terdapat lima kompetensi profesional yang harus dimiliki guru. Dalam tugasnya guru senantiasa harus memperhatikan empat kompetensi yaitu kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial dan kompetensi professional.
Akibatnya para guru hanya tunduk dan sepenuhnya patuh pada buku panduan dan tidak berani mengeksplorasi metode dan situasi baru. Kepatuhan mati itu menyebabkan konflik dengan siswa cerdas punya rasa ingin tahu yang besar. Akhirnya guru memberi label mereka sebagai anak nakal. Sebuah sesat pikir yang berakibat fatal.
Ini fenomena aneh. Menurut UU Pendidikan guru harus memilik kualifikasi dan kompetensi. Namun yang tidak memilikinyapun sebanyak itu diangkat di dalam jabatan guru. Ada pula seorang kepala sekolah SD yang tidak mempunyai kualifikasi dan kompetensi -komunikasi pribadi dengan professor UGM-, namun diangkat karena tak seorangpun bersedia tinggal di wilayah itu.
Betapa guru bukan hanya sekedar profesi teknis semata. Yang hanya mencerdaskan anak didik. Guru pun wajib memiliki jiwa perjuangan dan pengorbanan. Demi kemajuan anak didik dan masyarakat umumnya. Tersebab wilayah Indonesia memang masih memiliki beragam disparitas. Mulai dari kondisi sosial, ekonomi, budaya, hingga insfrastruktur yang jauh dari memadai dan maju.
Peran Para Pihak
Di wilayah pedalaman belantara Papua, Maluku bahkan di pelosok sudut-sudut pedesaan Pulau Jawa yang masih terisolir dari kemajuan, persoalan pendidikan tidak bisa bergantung pada peran Pemerintah semata. Diperlukan keterlibatan dan peran para pihak yang memiliki kemampuan dan potensi. Untuk membantu mengembangkan upaya pendidikan demi mewujudkan kemajuan. Hingga pelosok wilayah Indoensia. Tanpa kecuali.
Dalam konteks pendidikan di wilayah pedalaman. Bagaimana keterlibatan pengusaha kehutanan -IUPPHK-HA dan HT- dalam proses pendidikan dan pengajaran generasi muda ? Khususnya di kawasan usahanya. Ternyata sudah sejak lama pengusaha kehutanan juga berjibaku membangun SDM masyarakat sekitarnya.
Bentuk keterlibatannya bermacam-macam. Namun sasaran utamanya agar proses pendidikan berjalan lancar. Tujuannya untuk memberi kesempatan kepada anak-anak penduduk lokal mengenyam pendidikan. Beberapa IUPHHK-HA dan HT -di Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah- misalnya membangun gedung-gedung sekolah, menyediakan buku dan mendanai guru-gurunya. Termasuk menyediakan rumah tinggal. Aktivitas ini sudah dijalankan jauh sebelum terbit Undang-Undang Perseroan Terbatas yang mewajibkan program CSR.
Ada pula pengusaha pemegang IUPHHK-HA dan HT yang memberi beasiswa kepada generasi muda penduduk setempat mengenyam pendidikan tinggi di PT setempat. Setelah lulus, para penerima beasiswa tidak harus bekerja di perusahaan. Dalam hal ini, barangkali asosiasi pengusaha pemegang IUPHHK-HA dan HT dapat menginventarisasi anggota-anggotanya yang mempunyai program pendidikan formal dan program beasiswa dan menerbitkannya sebagai peran serta bertanggung jawab untuk Indonesia Masa Depan.
Disamping pengusaha swasta, di Indonesia ada pula Gerakan Indonesia Mengajar. Gerakan Indonesia Mengajar adalah inisiatif masyarakat yang berani memajukan pendidikan mulai dari pelosok Indonesia. Indonesia Mengajar merupakan sebuah lembaga nirlaba yang merekrut, melatih, dan mengirim generasi muda terbaik bangsa ke berbagai daerah di Indonesia. Untuk mengabdi sebagai Pengajar Muda di Sekolah Dasar dan masyarakat selama satu tahun. Penggagasnya, Anies Baswedan memulai gerakan Indonesia Mengajar pada tahun 2009. Untuk menjadi lebih dari sekadar program, tetapi sebagai gerakan untuk mengajak bersama masyarakat yang berikhtiar untuk ikut berperan aktif mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai wujud upaya melunasi janji kemerdekaan.
Meyakini bahwa pendidikan dasar adalah fondasi pembangunan masyarakat Indonesia, maka Indonesia Mengajar percaya bahwa pendidikan dasar untuk anak-anak di seluruh pelosok Indonesia wajib disampaikan dan didampingi oleh generasi terbaik bangsa. Didasari juga oleh janji kemerdekaan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka Indonesia Mengajar mengambil inisiatif untuk mendampingi sekolah dasar–sekolah dasar di berbagai pelosok Indonesia dengan merekrut, membekali, dan menempatkan sarjana-sarjana terbaik bangsa yang memiliki semangat mengabdi untuk mengajar di sebuah SD selama satu tahun. Para pemuda yang dikirim sebagai guru sekolah dasar ke daerah disebut sebagai Pengajar Muda. Bisa jadi justru mereka ini yang memenuhi kualifikasi dan kompetensi berkat rekrutmen yang ketat
Tidak bisa dikesampingkan pula peran anggota TNI dan POLRI yang bertugas di kawasan sulit terjangkau, yang berperan tambahan sebagai guru pelajaran dan guru mengaji di sekolah setempat. Peran mereka sangat vital karena disamping mengajar ilmu, juga mengajarkan cinta tanah air. Membina semangat untuk mengejar pendidikan tinggi.
Akhirnya, selama berpuluh tahun mutu pendidikan Indonesia buruk. Dilihat dari nilai PISA yang berada pada score rendah. Sebabnya, antara lain, mutu guru yang rendah karena tanpa kualifikasi dan kompetensi. Dalam keterpurukan itu banyak pula komponen masyarakat yang bersuka-rela membantu proses pendidikan. Sasaran utamanya jangan sampai asset masa depan bangsa itu tidak berpendidikan.
Benar ungkapan bijak. Mutu bangsa sangat tergantung kualitas guru. Bagaimana bisa menghasilkan SDM berkualitas kalau sang pengajarnya ternyata masih jauh dari bermutu ? Sebuah problema gunung es yang harus segera dicari solusi konkritnya. Ditengah tuntutan persaingan di era global yang kian kompetitif.***
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.