oleh: Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Musim kemarau adalah periode musim penantian. Musim kerja keras. Di musim kemarau itulah warga masyarakat lokal -dan pendatang- mulai membuka dan membersihkan lahan. Realitas yang telah berlangsung secara turun-menurun. Menjelma menjadi cikal bakal terbentuknya tradisi praktik bertani ladang berpindah. Membuka lahan untuk kemudian dibakar. Selain bersih juga agar memperoleh tambahan input hara. Pupuk penyubur.
Hari ini. Musim kemarau masih menjadi periode waktu penantian. Penantian jawaban akankah kembali terjadi kebakaran hutan dan lahan. Ya, dewasa ini membuka lahan dengan cara membakar bukan lagi sebuah kegiatan yang dikategorikan sebagai kearifan lokal. Semakin bertambahnya jumlah penduduk memaksa siklus perladangan menjadi semakin pendek karena lahan subur semakin menyusut. Pun luasnya bentang alam hutan dan lahan tidak produktif –termasuk lahan gambut – ditambah dengan faktor perubahan iklim menjadi kombinasi sempurna bagi ancaman terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Secara sangat masif.
Hari ini. Sejalan semakin sempitnya lahan bercocok tanam, kian pendeknya siklus putaran perladangan serta akibat bencana api terhadap lingkungan, menimbulkan gelombang gugatan atas praktek pertanian tebas bakar. Sebagian individu masyarakat bahkan dengan berani menggantikan kemapanan tradisi pertanian berbasis api melalui praktek pertanian tanpa bakar. Mampu dan realistiskah ?
Setidaknya, itulah yang dilakukan Daniel. Salah satu petani champion Program Desa Makmur Peduli Api yang digagas Asia Pulp and Paper. Petani pelopor pembaharu yang saya temui di awal tahun 2020 lalu. Tatkala berkunjung ke Desa Mengkiang, Kecamatan Kapuas, Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat. Dalam rangkaian agenda penulisan sebuah buku. Tentang kebakaran hutan dan lahan melalui pendekatan peningkatan sosial ekonomi komunitas.
Pertanian Berorientasi Pasar
Kisah Daniel bermula dari sebuah inspirasi. Berkembang menjadi tantangan. Selanjutnya bergulir menjadi gugatan. Melalui Program Desa Makmur Peduli Api yang digulirkan PT. Finantara –salah satu IUPHHK-HT kelompok usaha Asia Pulp and Paper region Kalimantan Barat- untuk mewujudkan konsep bertani menetap. Rasa penasaran sebagai bentuk keterwakilan suara masyarakat yang membuka ladang secara tradisional. Dengan cara berpindah-pindah dan membakar untuk mendapatkan pupuk alami.
Sesungguhnya masyarakat sadar. Bahwa membuka ladang dengan membakar adalah melanggar (baca : hukum). Namun masyarakat belum mendapatkan solusi alternatif berladang yang tidak melanggar. Oleh karena itu Daniel –alumni SMK Akuntansi dan Keuangan- yang berpengalaman dalam usaha pembibitan serta kontraktor pemanenan perusahaan HTI merasa terpancing dan terpacu. Mewujudkan model bertani menetap bersama kelompok tani yang dibentuknya.
Bagian paling menarik kisah Daniel adalah pengejawantahan komitmen bertani tanpa api. Secara spesifik Daniel menyebut sebagai konsep penerapan model pembukaan lahan tanpa bakar. Disingkat PLTB. Sebuah konsep besar yang diyakini akan mengubah pola pertanian ladang. Dari semula membakar dan berpindah menjadi tanpa bakar dan menetap. Dari subsistensi menuju orientasi pasar. Komersial.
Berdiskusi dengan Daniel memberikan makna baru. Bagaimana dinamika petani ladang di Kalimantan Barat mengalami dinamika perubahan. Berbeda dengan umumnya petani ladang, Daniel –yang pernah menjadi aparat desa- memang tipe seorang pembaharu. Peladang yang berani melawan arus tradisi. Hadir ditengah kontroversi. Penuh kepeloporan. Mendobrak kemapanan kultural. Yang telah berjalan ratusan tahun. Dalam bingkai masyarakat adat yang ketat mempertahankan tradisi dan budaya. Khususnya praktek pertanian ladang tebas bakar.
Saya menyimak pengalaman jatuh bangun Daniel. Memberikan sebuah pembelajaran nyata. Bahwa stigma peladang perusak lingkungan karena kebakaran lahan sama sekali tidak benar. Daniel sang petani tanpa api membuktikan keberhasilannya sebagai petani. Tidak melanggar hukum. Apalagi merusak lingkungan. Termasuk terobosannya yang meninggalkan kultur lamanya. Meninggalkan subsistensi dan memulai sebuah pertanian berorientasi pasar.
Tercermin dari pengembangan prinsip tiga jenis penghasilan dari praktek pertaniannya. Penghasilan harian meliputi berbagai jenis sayur mayur antara lain kangkung, bayam dan sebagainya. Penghasilan bulanan meliputi komoditas jagung, kacang panjang, cabe, terong dan lain-lain. Terakhir penghasilan tahunan seperti kopi, jeruk, jengkol, petai, sahang, sirsak dan komoditas lainnya.
Bahkan di antara penghasilan harian dan penghasilan bulanan masih dapat diperoleh penghasilan mingguan seperti dari komoditas pisang, sayur-sayuran dan lada. Nilainya lumayan. Tidak kurang dari Rp.1.500.000 setiap minggunya. Sangat kompetitif.
Sanggau Farming System
Yang menarik, Daniel sendiri yang mengembangkan konsep pertanian tanpa api. Harapannya akan lebih mudah dipahami dipelajari dan diikuti. Daniel menyebut model Pembukaan Lahan Tanpa Bakar alias PLTB ini dengan label “Sanggau Farming System” (SFS). Inti Sanggau Farming System yang telah diterapkan Daniel sejak tahun 2017 meliputi dua prinsip dasar. Prinsip penghasilan dan Prinsip penataan. Dengan menggabungkan pengalaman saat belajar di SMK akutansi dan sebagai kontraktor HTI. Daniel pun fasih membincangkan dua prinsip dasar konsep PLTB yang dikembangkannya.
Prinsip pendapatan meliputi tiga jenis pendapatan berdasarkan tata waktu dan jenis komoditas. Mulai dari harian, bulanan hingga tahunan. Sementara prinsip penataan terdapat lima jenis aspek yang perlu ditata petani. Meliputi tata ruang, tata waktu, tata kelola, tata pengairan dan tata niaga. Bukan main.
Tata ruang dibuat untuk tujuan pengaturan hasil, pengaturan jenis tanaman, dan pengaturan waktu kelola. Termasuk pengaturan waktu pemeliharaan dan pemupukan, pengaturan pengairan dan pengaturan waktu panen.
Untuk menjaga pertumbuhan tanaman tetap baik karena terus dipanen tidak lupa ditambahkan input pupuk kandang. Dengan model Sanggau Farming System tersebut waktu Daniel menjadi produktif, efisien dan efektif. Tak heran kemampuannya menggarap ladang menjadi lebih intensif. Sekaligus meningkatkan keterampilan bertaninya. Luas lahan yang digarap tahun yang lalu (2017-2019) sekitar 1,3 Ha. Kini di tahun 2020 Daniel berniat menggarap lebih luas yaitu 1,6 Ha. Termasuk di dalamnya terdapat kebun karet.
Dengan sangat gamblang dan terang benderang Daniel menjelaskan kelebihan pendekatan pertanian berbasis Sanggau Farming System sebagai sistem bertani tanpa api. Selengkapnya disajikan pada tabel perbandingan berikut.
SEBELUM PLTB SESUDAH PLTB
a. Berpindah dan membakar
b. Melanggar hukum
c. Panen sangat terbatas. Satu kali dalam setahun
d. Membakar di beberapa tempat (berpindah & membakar)
e. Penghasilan hanya untuk makan & tidak ada yang bisa dijual (Subsisten)
f. Lahan yang belum dibakar tidak menghasilkan (tidak produktif) a. Menetap & tidak membakar
b. Tidak melanggar hukum
c. Panen kontinu dan berkelanjutan, Bisa harian, 3 bulanan, 6 bulanan & tahunan.
d. Mengolah hanya satu tempat (tanpa bakar & menetap)
e. Subsisten sekaligus komersial. Penghasilan perminggunya bisa Rp.800 rb-Rp.1 juta & bisa menabung pada saat panen tanaman tahunan.
f. Lahan yang tidak dibakar bisa dikerjasamakan dengan perusahaan & bisa menghasilkan.
Sumber : Wawancara Daniel (2020)
Bukan hal mudah untuk mampu mengikuti arus deras perubahan. Apalagi menjalankan langsung perubahan itu sendiri. Banyak tantangan dan rintangan. Tak jarang dicaci dan dicemooh. Namun belajar dari praktek terbaik, memberikan Daniel pembelajaran dan pengalaman. Bahwa faktor perubahan mindset sangat diperlukan. Bukan hanya di tataran individu warga, namun juga di tingkat perangkat desa. Pengalaman Daniel menjabat perangkat desa membuktikan hal itu. Terutama sekali bagaimana memberdayakan masyarakat di desa-desa pedalaman.
Dalam konteks itu, keberadaan program pemberdayaan perusahaan, antara lain melalui Program Desa Makmur Peduli Api harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Harus mampu menjelma menjadi solusi berbagai persoalan masyarakat. Dengan dukungan pemerintah desa. Mampu menciptakan sinergitas program. Terakhir, pemahaman kepada masyarakat bahwa biaya berladang berpindah dengan cara membakar –termasuk semua ritualnya- sungguh mahal. Namun hasilnya sangatlah tidak sepadan. Ini bukan pilihan mudah, tersebab peladang tradisional telah terkukung adat dan tradisi. Seringkali menghasilkan sikap anti perubahan.
Kembali pada saat musim kemarau tiba. Masihkah warga masyarakat mempertahankan pertanian mambakar lahan ? Yang bukan hanya membutuhkan biaya besar dan mahal. Namun sebagian besar menghasilkan titik panas yang kemudian menjadi titik api. Pada akhirnya bermuara pada terjadinya kabakaran hutan dan lahan. Dalam skala sangat luas dan sulit dikendalikan. Slogan itu selayaknya sudah harus berubah. Musim kemarau tiba. Saatnya membuka lahan tanpa bakar. Bila tidak. Quo vadis kebakaran hutan dan lahan ?***