oleh: Ir. Darori, MM. (Anggota Komisi IV DPR RI)
Beberapa waktu lalu, saya ditelpon beberapa pemilik usaha kayu. Mereka meminta waktu. Untuk mengkonsultasikan perkembangan bisnis yang tengah layu. Dari hari ke hari kinerjanya kian terganggu. Terus memburuk.
Tidak mengherankan. Tiga bulan lebih pandemi Corona memporak porandakan semua sektor bisnis. Meluluh-lantakkan. Bukan hanya di Indonesia. Namun di seluruh dunia. Memang, ada beberapa sektor usaha yang terdampak paling parah. Hingga tutup dan bangkrut total. Khususnya yang terkait dengan pariwisata dan MICE. Namun secara umum, semua sektor bisnis mengalami pelemahan. Terpukul. Bahkan mendekati mati suri. Tak terkecuali di sektor pengusahaan hutan alam atau HPH.
Para pemilik ijin konsesi pengusahaan hutan alam tersebut dilandau kegalauan luar biasa. Dikepung ketidakpastian situasi dan masa depan. Karena itu sangat menginginkan curah pendapat. Diskusi dan konsultasi. Bagaimana menemukan solusi. Mengharapkan ada terobosan kebijakan. Setidaknya yang akan mampu menyelamatkan usaha. Dari ancaman kebangkrutan dan kehancuran. Akibat terhentinya perputaran roda ekonomi. Tersebab pandemi.
Kayu Bulat Membusuk
Salah satu fakta yang disampaikan para pemilik HPH adalah stok kayu bulat hasil tebangan hutan alam. Kini teronggok di tempat pengumpulan kayu sementara (TPK). Ironis. Sudah dipungut tapi tak bisa diangkut. Tersebab hampir semua buyers membatalkan pembelian atau pesanan. Keharusan melakukan aktivitas di rumah. Ataupun pembatasan kegiatan dengan menjaga jarak serta menerapkan protokol kesehatan lainnya menyebabkan hampir semua pabrik tutup. Karyawan dirumahkan. Produksi pun dihentikan. Stagnan.
Dampaknya jelas. Industri di hilir mandeg. Pengusahaan hutan di hulu pun macet. Kayu bulat yang menjadi bahan baku industri kehutanan untuk sementara dikurangi. Ditunda. Bahkan dihentikan pasokannya. Celakanya, sampai batas waktu yang tidak dapat ditentukan. Pasrah.
Persoalannya, tegakan kayu di hutan telah ditebang. Jauh sebelum pandemi Corona. Sehingga harus segera dimanfaatkan. Menunda pemanfaatan jelas berdampak buruk terhadap kayu bulat. Selain mudah terancam hama dan penyakit, juga menurunkan kualitas kayu. Tidak sedikit yang membusuk. Jelas bukan hanya menurunkan kualitas. Namun sudah pasti menurunkan nilai ekonomi kayu. Harga kayu bulat anjlok. Tekor.
Tidak main-main. Dari seluruh penjuru hutan alam Indoensia, kini stok sudah mencapai ratusan ribu kubik. Bahkan informasi kawan-kawan pemilik HPH mendekati kuantitas satu juga kubik. Tidak mengherankan. Jatah produksi kayu tebangan hutan alam memang rata-rata per tahun mencapai di atas angka 5 juta kubik. Kini, sudah memasuki bulan Juni. Artinya, periode waktu penebangan RKT sudah akan berakhir.
Serba dilematis. Pasar Eropa dan sekitarnya banyak yang tutup. Tersebab amukan wabah Corona. Bahkan tidak sedikit negara yang sudah menerapkan kebijakan lockdown. Dampak ikutannya pun sangat jelas. Tunai. Industri kehutanan di Indonesia juga menyesuaikan diri. Ikut mati suri.
Lagi-lagi, stok kayu bulat yang sudah ditebang di hutan alam kini menumpuk. Tak bisa dimanfaatkan. Akankan pengusaha pasrah dengan keadaan. Menyerah kepada nasib buruk ? Atau tetap berikthiar. Mencari solusi dan terobosan.
Peluang Membuka Kran Ekspor Logs
Ditengah kebuntuan akan solusi. Muncul sebuah gagasan. Bagaimana bila menerbitkan kebijakan pembukaan kran ekspor logs. Ya, membuka keran ekspor kayu bulat bisa menjadi salah satu terobosan kebijakan. Tentu bersifat sementara. Berkisar 6 bulan dan paling lama satu tahun. Sekedar menjadi solusi jangka pendek. Di tengah situasi darurat.
Memang. Sejak dulu ekspor logs selalu menimbulkan kontroversi. Pro dan kontra. Masing masing memiliki argumen dan rasionalitas yang sama sahihnya. Termasuk juga akar kepentingan yang mendasarinya.
Dalam situasi normal, narasi ekspor logs sering dinilai sub ordinat. Tidak visioner. Pro industri asing. Meskipun pelarangan ekspor logs itu tidak cukup diimbangi dengan komitmen untuk memberikan keuntungan yang kurang lebih sama apabila kayu bulat dijual ke pasar mancanegara. Industri hilir berlaku hipokrit. Mau untung ogah berbagi buntung. Dengan alasan hilirisasi sebagai salah satu tujuan ukuran keberhasilan industrialisasi dan penciptaan nilai tambah, maka ekspor bahan mentah adalah sebuah tindakan primitif. Dinilai menghambat kemajuan bangsa untuk menggapai status negara industri.
Persoalannya, situasi saat ini sama sekali berbeda. Industri dalam negeri tengah mati suri. Tersebab pasar di Eropa dan Amerika tengah dilanda lockdown. Terhenti total. Tersebab pandemi Corona yang merambah dunia secara global.
Ditengah situasi kritis yang sudah diambang mati, muncul tawaran dan permintaan dari pasar Asia Timur. Khususnya China dan Jepang. Yang siap membeli kayu bulat Indonesia. Dibandrol dengan harga internasional. Per kubik senilai US$ 200. Sementara di pasar domestik tak pernah lebih dari US$ 100.
Beleid pembukaan kran ekspor akan menjadi sebuah kebijakan relaksasi. Setidaknya akan meningkatkan likuiditas. Meningkatkan kemampuan manajemen perusahaan memenuhi kewajiban kepada karyawan dan pekerja. Sehingga bisa kembali menggerakkan roda kegiatan pengusahaan hutan.
Bukan hanya itu. Pemerintah kini juga butuh dana. Maka, pajak ekspor logs bisa dinaikkan secara signifikan. Misalnya di angka 25 %. Dari satu juta kubik dengan harga US$ 200 akan diperoleh dana US$ 200 juta. Dimana pajak ekspornya berkontribusi sebesar US$ 50 juta. Pengusaha masih untung US$ 50 juta dibandingkan penjualan di pasar domestik. Dan, yang lebih penting. Kegiatan pengusahaan hutan kembali berputar. Secara psikologis hal ini akan sangat penting bagi semua pihak. Bagaimanapun, kini semua pihak tengah dilanda kebingungan. Tersebab mati surinya berbagai sektor bisnis dan usaha.
Penutup
Pemerintah saat ini dilanda tekanan hebat tersebab dampak wabah Covid-19. Semua lembaga internasional seperti Bank Dunia, IMF dan lembaga-lembaga riset ekonomi global menyatakan bahwa kontraksi ekonomi akibat pandemi Corona akan menurunkan pertumbuhan ekonomi pada angka yang sangat signifikan. Minus 5. Bahkan bisa lebih. Karena itu diperlukan langkah-langkah terobosan nyata dan berani Pemerintah. Untuk mengantisipasi dan menanggulangi dampak situasi dan kondisi yang sudah ditubir jurang tak bertepi.
Penuntasan wabah Corona menjadi prioritas. Itu pasti. Namun perputaran roda ekonomi yang akan mampu mewujudkan pertumbuhan ekonomi juga tak kalah penting. Tanpa pertumbuhan ekonomi, daya tahan masyarakat juga akan jebol dan ambruk. Cepat atau lambat. Konsekuensinya, wabah Corona bisa gagal dituntaskan. Bahkan bisa kembali meraja lela.
Kemeterian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah berani mengambil langkah-langkah bijak dan cerdas untuk menjaga perputaran ekonomi. Khususnya para pelaku usaha kehutanan di tingkat mikro dan UKM. Para petani desa hutan dan peserta perhutanan sosial. Dengan membeli produk-produk HHBK mereka menggunakan skema APBN. Tentulah patut diapresiasi.
Pertanyaannya, bagaimana dengan para pelaku ekonomi kehutanan lainnya. Terutama pelaku usaha konvensional –pengusaha HPH- yang sejak dulu telah berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi regional dan nasional. Di era-era awal pembangunan nasional beberapa dekade lalu.
Di tengah situasi darurat new normal hari ini, selayaknya Pemerintah tidak boleh berpikir normal. Menghadapi situasi yang belum pasti. Harus berani mengeksekusi. Melakukan terobosan penuh resiko yang akan memberikan dampak nyata. Dengan perhitungan plus minusnya.
Pembukaan kran ekspor logs, dalam situasi terancam rusak dan busuknya stok kayu bulat di dalam hutan, dan tawaran pembelian dari pasar China dan Jepang dengan harga yang jauh lebih baik bisa menjadi bahan pertimbangan. Ditambah dengan instrumen keuangan berupa peningkatan pajak ekpsor kayu bulat. Diyakini akan bisa membantu penerimaaan negara yang kini sudah memasuki lampu kuning.
Pun secara multiplier effect. Hal itu akan sangat membantu pergerakan ekonomi kehutanan. Karyawan akan bisa digaji dan kembali bekerja. Secara psikologis hal ini sangat penting dalam mendukung persepsi positip masyarakat kepada pemerintah.
Sekali lagi, beleid ekspor logs bisa menjadi katalis sementara solusi mati surinya ekonomi kehutanan. Sekali lagi ini hanya sementara. Bukan selamanya. Paling lama satu tahan dan paling cepat enam bulan. Hanya untuk mengatasi ancaman rusak dan membusuknya stok kayu bulat yang ada di berbagai konsesi hutan alam.
Pertanyaannya, beranikah pemerintah melakukan beleid terobosan ini ? Pembukaan kran ekspor logs. Inilah saatnya pemimpin diuji nyali keberpihakannya. Kepada sebuah keberanian menyelesaikan permasalahan dengan tindakan konkrit dan nyata. Semoga. Kita tunggu saja.***
*Tulisan ini adalah opini penulis, tidak merepresentasikan posisi Sebijak Institute terkait dengan isu tersebut.
sependapat eksport log terbatas