*Tulisan ini ditulis dalam rangka memperingakati Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Penggurunan (Wolrd Day to Combat Desertification-WDCD) Sedunia yang ke -25. Tepatnya besok, Rabu, 17 Juni 2020.
Oleh :
Ir. Hudoyo, M.M.
Plt. Direktur Jenderal PDASHL, KLHK
Hari ini, 17 Juni 2020, masyarakat di seluruh dunia kembali memperingati Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia (World Day to Combat Desertification-WDCD). Indonesia sebagai salah satu negara penandatangan konvensi tersebut, senantiasa proaktif sekaligus berperan aktif. Bukan hanya dalam tataran kerjasama dan kemitraan global. Lebih dari itu, juga selalu berupaya membangun kesadaran masyarakat di tingkat nasional dan lokal. Secara simultan sekaligus lintas sektoral. Melalui berbagai program dan kegiatan. Dalam bingkai pemanfaatan lahan berkelanjutan.
Peringatan tahun ini bukan saja unik dan menarik. Namun sangat aktual. Mengusung tema “Food. Feed. Fibre. Sustainable Production and Consumption”. Menitikberatkan pada upaya perubahan pola pikir sekaligus sikap publik sebagai pendorong utama terjadinya degradasi lahan dan kekeringan. Tersebab kian derasnya produksi dan tingginya konsumsi akan tiga kebutuhan pokok komunitas di berbagai tingkatan. Pangan. Pakan. Pakaian. Demi produksi yang berkelanjutan. Juga konsumsi yang bertanggung jawab.
Tak terbantahkan. Dengan populasi terbesar keempat dunia, kebutuhan Indonesia akan konsumsi makanan, pasokan pakan (ternak) dan ketersediaan pakaian juga sangat besar. Terus meningkat secara signifikan. Untuk mengimbanginya, diperlukan bukan hanya sikap bijak industri di sektor hilir. Berupa tanggung jawab pemenuhan kebutuhan konsumsi. Sebagai negara pemilik lahan (hutan) tropis terbesar ketiga dunia, tidak kalah penting adalah upaya pemanfaatan dan pengelolaan bijak DAS sebagai sumberdaya lahan secara berkelanjutan di sektor hulu.
Lahan Sumber Peradaban
Perkembangan peradaban umat manusia tak dapat dipisahkan dari keberadaan lahan. Komunitas apapun, dimanapun serta kapanpun. Sejarah mencatat, pola pemanfaatan lahan komunitas di berbagai belahan dunia mulai mengalami lompatan perubahan revolusioner, sejak manusia meninggalkan peradaban berburu meramu (food and hunting period). Memasuki tahapan peradaban pertanian. Baik pertanian masyarakat tradisional (tribal community) maupun petani menetap (peasant community).
Tatkala manusia mulai mengenal budaya domestikasi, baik dalam bentuk bercocok tanam maupun budidaya hewan ternak, lahan menjadi bagian tak terpisahkan. Dalam konteks tahapan peradaban tersebut, lahan secara langsung menjelma menjadi sumber kehidupan. Menjadi sumber produksi pangan, juga arena penggembalaan dan sumber pakan ternak. Bahkan, dalam tahapan perkembangan berikutnya, lahan juga menjadi sumber produksi serat. Sebagai bahan baku utama pakaian.
Memasuki peradaban modern, fungsi lahan pun berkembang kian kompleks. Selain menjadi sumber produksi, juga menjadi ruang hidup dengan berbagai fungsi. Sebagai tempat tinggal (pemukiman), industri dan perkantoran, infrastruktur, wisata dan estetika serta berbagai pemenuhan ruang lainnya. Termaktub dalam bingkai penggunaan kawasan dan pemanfaatan lahan. Baik di dalam kawasan hutan maupun kawasan non hutan. Dalam payung tata ruang.
Industrialisasi meningkatkan kehidupan komunitas. Kondisi tersebut mendongkrak demografi yang tercermin dari pertambahan populasi. Hari ini jumlah populasi bumi sekitar 7,75 milyar jiwa. Diperkirakan, pada tahun 2050 mendatang populasi bumi akan mencapai tak kurang dari 10 milyar jiwa. Pada akhirnya, peningkatan populasi menyebabkan peningkatan konsumsi. Konsekuensinya, terjadi pula peningkatan kebutuhan lahan produktif. Untuk sarana produksi pemenuhan kebutuhan dasar. Lagi lagi pangan (Food). Pakan (Feed). Pakaian (Fibre).
Dewasa ini, industrialisasi identik dengan modernisasi. Terkait sistem dan tata nilai globalisasi. Pemanfaatan lahan berlebihan semata mengejar profit dan pemenuhan gaya hidup konsumtif, tanpa mempertimbangkan kaidah konservasi tanah dan air, jelas mengakibatkan penurunan kesehatan dan produktivitas lahan. Diperburuk fenomena baru : gejala pemanasan global dan perubahan iklim.
Perubahan Perilaku
Kecukupan lahan produktif bagi seluruh warga dunia, sangat diperlukan perubahan gaya hidup. Dari sikap boros dan konsumtif bergeser menjadi efektif dan efisien. Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia tahun 2020 ini, kembali mengingatkan untuk meningkatkan kesadaran individu dan kelompok masyarakat. Bagaimana cara bijak memenuhi konsumsi pangan, pakan dan pakaian. Dengan tetap menerapkan pemanfaatan lahan secara berkelanjutan.
Industri pangan, pakan dan pakaian terus berkembang. Bersaing keras dengan perkembangan megapolitan dan berbagai sektor industri. Resultante persaingan tersebut melahirkan kebijakan konversi lahan. Menghasilkan laju degradasi lahan yang kian tak terkendali. Bermuara pada rusaknya mata rantai produksi. Hingga terganggunya keseimbangan ekosistem dan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati.
Pangan, pakan dan pakaian yang diproduksi secara massif di lahan-lahan produktif untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif juga berkontribusi terhadap perubahan iklim. Faktanya, sekitar seperempat emisi gas rumah kaca berasal dari pertanian, kehutanan dan penggunaan lahan lainnya. Perubahan bentang alam dari kawasan hutan menjadi areal pertanian dan perkebunan untuk produksi pangan, pakan, dan pakaian diprediksi terus meningkat. Bahkan hampir mencapai 50 % pada tahun 2030.
Perubahan perilaku konsumtif pembeli dan sikap oportunistik korporasi menjadi sebuah keniscayaan. Disertai penerapan perencanaan program pembangunan yang lebih ramah lingkungan. Dipungkasi dengan praktik keberlanjutan pemanfaatan lahan. Ketiganya akan menjamin ketersediaan lahan produktif untuk pemenuhan kebutuhan umat manusia. Jika setiap konsumen memiliki sikap kritis dan cerdas, tercermin dari pembelian produk hijau dan ramah lingkungan, distributor akan mengurangi produksi dan mengingatkan kepada produsen dan pembuat kebijakan untuk lebih memperhitungkan efek buruk degradasi lahan.
Edukasi hal-hal sederhana namun mendasar juga sangat penting. Perubahan pola makan dan tidak menyisakan makanan adalah hal kecil yang akan berdampak besar. Membeli dari pasar lokal serta mengganti pakaian daripada membeli yang baru juga merupakan sebuah sikap bijak untuk meminimalkan pemborosan. Semua tindakan tersebut akan dapat menyediakan lahan untuk keperluan lain. Disamping akan menurunkan emisi karbon. Perubahan sikap maupun perilaku individu dan kelompok masyarakat yang lebih bijak akan membantu pemanfaatan lahan produktif secara lebih efektif dan optimal di seluruh negeri.
Pada akhirnya, apabila tidak terdapat perubahan sikap dan perilaku, lahan sebagai sumber peradaban akan terus mengalami degradasi. Selain mengakibatkan penurunan kualitas, juga akan menyebabkan kehilangan produktivitasnya. Hutan hijau akan berubah menjadi lahan kritis. Kerusakan akut yang terus – menerus akan membuatnya menjadi gurun kering kerontang. Bila hal itu benar terjadi, lahan tidak akan lagi menjadi sumber kehidupan dan peradaban. Melainkan menjelma menjadi sumber bencana. Sampai kapanpun diyakini tak akan pernah terpulihkan.
Penutup
Di Indonesia, aktualisasi Konvensi Kerangka Kerja Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan PBB (United Nation Convention to Combat Desertification – UNCCD) menjadi tanggung jawab semua pihak, dengan penanggung jawab teknis dan kebijakan ada pada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Cq. Direktorat Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung. Selain itu, ada pula Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity – CBD). Terakhir, Konvensi Kerangka Kerja Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC).
Melalui tiga konvensi di atas, pembangunan sebagai instrumen utama pencapaian kesejahteraan diharapkan akan lebih ramah lingkungan. Tidak boleh mengurangi apalagi menghilangkan hak generasi yang akan datang. Pendekatannya melalui pelestarian fungsi ekologi dan keanekragamana hayati. Mencegah dan mengatasi pemanasan global dan perubahan iklim. Menjadikan manfaat bumi berkelanjutan. Wujud konkritnya melalui pemanfaatan lahan secara berkelanjutan.
Ketiga kerangka kerja konvensi di atas –degradasi lahan, keanekaragaman hayati dan perubahan iklim- tidak bisa berdiri sendiri. Faktanya, ketiganya saling terkait. Issue dan agendanya seringkali bersifat lintas konvensi yang berarti lintas sektoral (cross cutting issue). Harus ada strategi untuk menghubungkan sekaligus menjembatani.
Atas dasar hal tersebut, pada setiap forum dan kesempatan Direktorat Jenderal PDASHL berupaya mengajak publik untuk memahami ketiga konvensi di atas. Sebagai tanggung jawab Indonesia di kancah percaturan komunitas global. Hal itu dapat dilakukan melalui peningkatan kesadaran akan perubahan perilaku konsumtif menjadi produktif. Melakukan perencanaan dan penguatan kebijakan nasional dan lokal dalam penanggulangan degradasi lahan agar berjalan efektif, efisien dan berkelanjutan. Demi terwujudnya program penyediaan pangan, pakan dan pakaian berkelanjutan.
Akhirnya, sekali lagi selamat Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia ke – 25. Sebuah langkah besar, selalu diawali dari langkah kecil dan sederhana. Melalui peningkatan kesadaran masyarakat, upaya penanggulangan degradasi lahan diharapkan bisa diwujudkan dengan dukungan kerjasama semua pihak. Semoga. ***