Oleh :
Dr. Ir. Bambang Hendroyono
Sekretaris Jenderal KLHK RI
“Tindakan adalah ukuran kecerdasan yang sesungguhnya”
-Napoleon Hill-
Hampir tiga bulan sejak pandemi Covid-19 melanda, dunia menghadapi perubahan yang sangat fundamental. Berbagai sistem sosial, ekonomi, budaya bahkan religiusitas yang selama ini berjalan “normal” harus berubah drastis. Mau tak mau harus menyesuaikan dan berdamai dengan norma baru.
Penantian temuan vaksin anti virus Covid-19 adalah solusi pamungkas. Harus ditemukan secepatnya. Namun sebelum vaksin ditemukan, upaya pemutusan mata rantai penyebaran virus Covid-19 menjadi solusi terbaik.
Konsekuensinya, hari ini setiap interaksi dilakukan terbatas. Relasi dilakukan dengan selalu menjaga jarak. Pembatasan fisik dan sosial hingga PSBB adalah aktualisasi konkritnya. Banyak sektor dan aspek mengalami perlambatan. Untuk beberapa saat.
Kini tiba saatnya akan kembali beroperasi. Dalam beberapa waktu ke depan, berbagai wilayah di Indonesia akan menyongsong situasi normal baru. Era “new normal.” Sebuah tatanan baru untuk beradaptasi dengan Covid-19. Sebuah skenario mempercepat penanganan Covid-19. Jalan tengah menselaraskan aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Tentu dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional.
Ditengah situasi transisi genting ini, kepemimpinan di semua sektor dan tingkatan menjadi faktor penting penentu keberhasilan. Untuk mewujudkan skenario terbaik. Inilah timing mewujudkan momentum. Saatnya setiap pemimpin menerapkan Kepemimpinan Transglobal.
Kepemimpinan Transglobal
Globalisasi identik dengan modernisasi. Bahkan post modernisme. Dengan seluruh sistem dan tata nilainya. Konsekuensinya, dibutuhkan tipe kepemimpinan yang jauh lebih adaptif. Terlebih ditengah situasi pandemi Covid-19 yang telah meluluh-lantakkan semua sendi dan aspek kehidupan. Jelas tidak bijak menerapkan Kepemimpinan Transaksional.
Di sisi lain, Kepemimpinan Transformasional pun sudah lama usang. Apalagi di era Revolusi Industri 4.0 ini. Kemajuan teknologi komunikasi yang tercermin pada penerapan kecerdasan buatan (Artificial Intelegence), Internet of Things (IoT), dan Big Data membutuhkan kecepatan berpikir dan bertindak. Kepemimpinan Transglobal adalah tipe paling tepat. Sebuah keniscayaan.
Kehadiran Kepemimpinan Transglobal memang menjadi opsi paling rasional. Ditengah kondisi ambigu dan sikap gagap yang mengarah pada disorientasi kerja berbagai institusi dan lembaga, diperlukan pemimpin yang memiliki kecerdasan.
Dengan kecerdasan, pemimpin memiliki kemampuan atau kapasitas mental untuk berpikir, bertindak dan melakukan adaptasi. Intinya, setiap pemimpin harus memiliki potensi kecerdasan untuk memenuhi tingkat kompetensi kepemimpinan. Hal ini diperlukan untuk mengatasi setiap permasalahan yang timbul dan dihadapi. Baik kecerdasan rasional, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual.
Dalam konteks kecerdasan, Sharkey (2012) menyampaikan 6 (enam) unsur dasar kecerdasan intelegensia Pemimpin Transglobal. Keenamnya meliputi (1) kecerdasan kognitif (Cognitive intelligence), (2) kecerdasan moral (Moral Intellegence), (3) kecerdasan emosional (Emotional Intellegence), (4) kecerdasan budaya (Cultural Intellegence), (5) kecerdasan bisnis (Bussiness Intellegence) dan (6) global intelegensia (Global Intellegence). Sangat lengkap. Komprehensif.
Kecerdasan tidaklah cukup. Masih dibutuhkan karakter yang menjadi syarat perilaku seorang Pemimpin Transglobal. Agar bisa menjadi jarum kompas para komunitasnya. Baik di tengah masyarakat maupun kelembagaan.
Dalam konteks perilaku kepemimpinan –termasuk Pemimpin Transglobal kehutanan- terdapat lima karakteristik. Kelimanya yaitu (1) Ketahanan terhadap ketidakpastian (Uncertainty resilience), (2) Konektivitas tim (Team connectivity), (3) Fleksibilitas pragmatis (Pragmatic flexibility), (4) Responsivitas perspektif (Perceptive responsiveness) serta (5) ) Talent orientation atau Orientasi bakat (Ibid).
Secara obyektif, kelima karakter di atas sangat diperlukan seorang pemimpin dalam menangani situasi dan kondisi di tengah pandemi Covid-19 ini. Bayangkan, Covid-19 ini melahirkan ketidakpastian, menciptakan jarak antar relasi, membongkar kemapanan sebuah situasi normal, hingga menuntut respon yang terukur dan konstruktif.
Era New Normal Kehutanan dan Pemimpin Transglobal
Tatkala banyak pemimpin yang masih mengalami disorientasi sebagai dampak situasi ambigu dan kondisi ketidakpastian, seorang Pemimpin Transglobal justru sebaliknya. Ia paham peta bisnis dan konstelasi politik pemerintahan. Ia yakin prospek dan masa depan atas sektor ataupun institusi yang menjadi tugas dan tanggung jawabnya.
Kehutanan di era “new normal” adalah kehutanan yang mampu beradaptasi dengan situasi normal baru. Hal itu adalah sebuah keniscayaan.
Aktualisasinya melalui kegiatan yang senantiasa menerapkan Protap Covid-19. Secara ketat dan konsisten. Protap Covid-19 menjelma menjadi sebuah nilai baru. Mewujud menjadi sebuah kultur baru. Selalu memakai masker, menjaga jarak dan kontak fisik, menjaga kebersihan dan berbagai protokol lainnya merupakan beberapa perilaku baru. Menggantikan perilaku lama.
Potret lain kepemimpinan transglobal di era “new normal” adalah kemampuan untuk mengidentifikasi semua peluang baru. Pasca Covid-19 melahirkan peta komoditas baru yang bernilai penting dan strategis. Pangan, farmasi dan obat-obatan serta jasa ekowisata minat khusus merupakan beberapa aspek yang sangat potensial secara ekonomi dalam jangka pendek dan menengah di sektor kehutanan.
Saatnya Pemimpin Transglobal kehutanan di provinsi (Dinas Kehutanan) maupun di tapak (KPH) di seluruh Indonesia bergerak. Memanfaatkan potensi dan peluang pasca Covid-19 ini. Salah satunya mengembangkan kegiatan pemanfaatan kawasan. Melalui pendekatan agroforestri. Dalam bingkai konsep kelola tapak yang multi usaha.
Membudidayakan tegakan kayu (HHK) sekaligus hasil hutan bukan kayu (HHBK). Antara lain tanaman pangan dan tanaman obat-obatan. Keduanya di hamparan lahan yang sama. Mekanismenya dengan merangkul pengusaha pemegang hak pemanfaatan hutan. Memberikan akses legal kelola hutan kepada masyarakat. Semua difasilitasi melalui pelayanan dan kerjasama. Menjadi sebuah jalan terobosan bersama. Menciptakan peluang usaha dan lapangan kerja. Demi mendongkrak investasi sekaligus peningkatan pendapatan masyarakat.
Di tangan Pemimpin Transglobal, hutan harus mampu berkontribusi nyata untuk penguatan ketahanan pangan rakyat banyak. Bukan hanya padi, namun juga beragam sumber karbohidrat lainnya. Seperti sagu, umbi dan ketela, jagung, dan sebagainya. Ketersediaan dan ketahanan pangan sangat penting di masa pandemi Covid-19 ini. Potensi hutan untuk cadangan pangan terbukti mampu mewujudkan hal itu.
Termasuk pengembangan industri farmasi yang kini tengah “booming.” Bagi upaya pencegahan dan pengobatan wabah Covid-19. Seperti minyak atsiri dari ekstrak daun kayu putih (Melaleuca cajuputi) maupun daun eukaliptus (Eucaliptus citridora). Menjadikan hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan sebagai potensi sekaligus modal.
Pada akhirnya, tuntutan “new normal” ini bisa menjadi sebuah pintu masuk bagi seluruh pemangku kepentingan kehutanan. Untuk mampu dan berani kembali ke “khitah” profesi rimbawan. Sekaligus menjadi karpet merah setiap Pemimpin Transglobal kehutanan untuk kembali ke “fitrahnya.”
Bahwa, keunggulan rimbawan dan Pemimpin Transglobal kehutanan adalah penguasaannya atas setiap jengkal tapak kawasan hutan. Hal itu tercermin dari ketersediaan peta spasial, maupun penguasaan databased isi lapangannya. Biofisik maupun sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya. Konsep dan implementasi kelola hutan di tingkat tapak ada pada Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Dengan kembali ke “khitah” dan “fitrahnya”, rimbawan dan pemimpin Transglobal Kehutanan harus mampu menuntaskan pekerjaan rumah. Yang selama ini menjadi agenda penting, strategis dan prioritas. Mulai dari soal konflik lahan, kebakaran hutan dan lahan, pelanggaran penggunaan kawasan hutan, degradasi dan deforestasi hutan dan lahan gambut, persoalan kemiskinan masyarakat desa hutan hingga soal pemanasan global dan perubahan iklim.
Ya, di era normal baru ini semua rimbawan diharapkan mampu mewujudkan norma kehutanan yang baru pula. Dengan menerapkan Kepemimpinan Transglobal kehutanan di era “new normal.”
Semua dilakukan secara sinergis dan kolaboratif bersama seluruh pemangku kepentingan. Dengan harapan bisa mempercepat upaya pemulihan sosial ekonomi. Sebagaimana harapan Presiden Joko Widodo. Semoga.***
Mohon ijin Share…
Konklusi bagi saya adalah Pemimpin Transglobal “Kuat dan Menguatkan”