Oleh :
Agung Nugraha
Direktur Eksekutif Wana Aksara Intitute
Seorang client –sebut auditee- menyampaikan sebuah pertanyaan yang sangat mendasar. Terkait pandemi Corona dan dampaknya di sektor kehutanan. Konkritnya. Bisakah agenda sertifikasi – termasuk penilikan- dilakukan secara “daring”.
Di saat yang lain. Client yang berbeda dari lembaga donor juga bertanya. Bagaimana memilih metodologi yang sesuai. Dalam sebuah riset penyusunan Roadmap Pembangunan Perkebunan di sebuah provinsi di Kalimantan. Tentu saja tanpa mengabaikan validitas dan akurasi data primer.
Kali lain, client dari perusahaan menanyakan identifikasi HCV di areal konsesi kebun sawitnya. Sama dengan kegiatan sertifikasi dan riset, sang client bertanya apakah kegiatan identifikasi kawasan penting bernilai konservasi tinggi (baca : NKT) bisa dilakukan tanpa kunjungan lapangan ? Kegiatan yang merujuk pada aktivitas verifikasi dan “ground cek” kawasan NKT. Tersebab situasi “lockdown” ataupun PSBB antar wilayah.
Terus terang semua terhenyak. Melongo. Tak pernah terbayangkan sebelumnya. Melakukan agenda sertifikasi tanpa verifikasi di tingkat tapak ? Di masa lalu hal itu jelas konyol. Lebih jauh, melakukan riset kehutanan tanpa observasi ke dalam kawasan hutan. Sama halnya dengan menihilkan fakta relasi dan interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutan.
Pun, bagaimana akurasi melakukan identifikasi HCV dengan wawancara dan FGD para pihak melalui pertemuan “daring”. Validkah data primer yang dihasilkannya ? Kehutanan yang sarat dengan relasi dan interaksi sosial kultural di tingkat tapak, kini hendak dipersingkat (baca : disimplifikasi) menjadi sebuah relasi dan interaksi normatif. Sama sekali tanpa ruh. Dan karenanya tak berjiwa.
Skenario “New Normal” Kehutanan
Itulah fenomena hari ini. Menjelma menjadi fakta dialektika di berbagai komunitas terkait issue “new normal”. Sebuah terminologi baru yang pada awalnya digunakan untuk menjelaskan fenomena sosial ekonomi dunia pasca krisis global 2008.
Hari ini, “new normal” menjadi term baru (baca : resmi) untuk menjelaskan situasi dan kondisi wabah Corona. Tujuannya menjaga kelangsungan dan keberlanjutan dunia kerja, perkantoran dan industri. Sebagaimana Kepmen Kesehatan RI No. HK.01.07/Menkes/328/2020. Dipastikan akan menghasilkan fenomena sosial, ekonomi dan budaya masyarakat ditengah merebaknya wabah Covid-19 maupun pasca berakhirnya pandemi Corona.
“New normal” menjadi model kehidupan baru. Menjelma sebagai sebuah rujukan terkait perubahan perilaku individu komunitas. Ditengah wabah Covid-19, pendekatan budaya yang selama ini menjadi perilaku sosial masyarakat harus berubah. Model perilaku budaya ketimuran yang hangat dan penuh simbol-simbol kekerabatan -antara lain berjabat tangan, berpelukan dan pesta hajatan ramai- harus disesuaikan. Diubah melalui minimalisasi kontak fisik. Menjaga jarak aman relasi serta menghindari kerumunan orang ramai.
Bukan hanya budaya dan perilaku sosial. “New normal” juga memaksa berubahnya praktek bisnis konvensional. Tak terkecuali relasi dan interaksi dunia kerja, kantor dan industri. Bahkan sistem industri pendidikan. Seluruhnya akan dilakukan tanpa kontak fisik langsung. Melainkan cukup dengan pertemuan atau interaksi berbasis teknologi “daring”.
Sebagaimana ilustrasi di awal tulisan ini. Bagaimana kehutanan mampu menjelaskan sekaligus memaknai konteks “new normal” ? Bagaimana “new normal” akan mempengaruhi perilaku dunia kerja dan industri kehutanan. Termasuk dampaknya terhadap perilaku rimbawan di masa yang akan datang.
Dalam konteks sertifikasi, sebagai auditor VLK dan PHPL, juga ISPO dan RSPO tentulah akan menolak keras tiadanya verifikasi tingkat tapak. Meniadakan kegiatan kunjungan lapangan sama halnya dengan mengabaikan fenomena sekaligus fakta-fakta lapangan hutan dan kehutanan itu sendiri. Dalam bahasa bisnis, opsi itu sama dengan upaya menangguk untung sebesar mungkin dengan mengabaikan data dan fakta lapangan. Dalam kacamata teknis, upaya itu juga sebagai bagian dari menjauhkan realitas. Bahkan mereduksi validitas kesimpulan. Melemahkan kredibilitas rekomendasi berbasis fakta di tingkat tapak.
Demikian pula sebagai tim ahli HCV. Mustahil menarik kesimpulan tentang status NKT kawasan konsesi IUPHHK maupun konsesi kebun tanpa verifikasi di tingkat tapak. Pun, dalam konteks riset, tak mungkin memperoleh data yang sahih dan akurat tanpa melihat kondisi riil di lapangan.
Apa lacur. Dulu yang mustahil, ditengah pandemi Corona hari ini sudah menjadi sesuatu yang normal dan wajar. Di masa lalu yang tak mungkin, kini justru sudah menjadi sebuah Protap.
Ya. Pandemi Corona telah memporak porandakan sistem kerja dan industri kehutanan. Sebagaimana sektor bisnis lainnya. Wabah Covid-19 telah menggusur pola relasi dan interaksi para pemangku kepentingan kehutanan dalam menjalankan pekerjaannya. Relasi hulu – hilir berubah total. Sebagian sistem telah menjadi usang. Bahkan berada diambang kebangkrutan. Hancur luluh lantak. Harus diganti dengan sebuah sistem yang kini dikenal dengan sebutan era “new normal.”
Tampaknya, rimbawan perlu mengkaji bagaimana menemukan pendekatan yang paling adaptif. Sehingga bisnis kehutanan yang terkait dengan penyediaan bahan pangan, jamu herbal maupun obat – obatan dan farmasi, hingga hasil hutan lainnya bisa tetap survive di era “new normal.” Bahkan mampu mengalami lompatan kuantum. Menjadi “booming” kinerjanya pasca Covid-19.
Kematian Vs Kebangkitan ?
Berbeda dengan kegiatan silvikultur, konservasi maupun rehabilitasi DAS, maka fenomena kehutanan di tingkat tapak yang berkembang bisa dikaji melalui interpretasi data citra satelit atau hasil foto udara. Pun, fenomena sosial budaya bisa dilakukan dengan wawancara “daring”. Interpertasi atas pertumbuhan tinggi, riap, prosentase hidup semai, tingkat kesuburan lahan maupun aspek teknis lainnya bisa diproyeksikan melalui interpretasi data yang ada. Melalui pendekatan kuantitatif, hasilnya cukup valid dan bisa digunakan untuk kepentingan lebih lanjut.
Hal yang berbeda tidak berlaku pada aspek kehutanan sosial maupun perhutanan sosial yang umumnya bersifat kualitatif. Mengabaikan nilai-nilai sosial budaya sebagaimana tertuang dalam prinsip, kriteria, dan indikator sertifikasi –VLK, PHPL, ISPO dan RSPO- jelas akan menimbulkan persoalan krusial. Melakukan FPIC atau Padiatapa secara terbatas berbasis “daring”, akan banyak menghasilkan lobang kelemahan yang menganga. Demikian pula mengabaikan pengamatan di tingkat tapak dalam kegiatan identifikasi HCV untuk kawasan konservasi penting bernilai sosial budaya tinggi (NKT 5 & NKT 6) bisa melemahkan, bahkan menghilangkan konteks.
Secara konseptual, pengamatan di tingkat tapak merupakan salah satu teknik dalam kerja-kerja kehutanan berbasis pengumpulan data. Baik aspek sosial, ekonomi dan lingkungan. Databased itu untuk memperoleh gambaran mengenai pola kehidupan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat yang tidak dapat diutarakan dengan kata-kata (kalimat). Pengamatan realitas sosial di tingkat tapak dapat pula digunakan untuk melakukan “cross check”. Apakah warga masyarakat benar-benar bertindak dan berperilaku sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan yang diutarakan pada waktu proses wawancara. Jangan-jangan telah terjadi bias antara konsep ideal yang diutarakan dalam wawancara dengan realitas hasil pengamatan di tingkat tapak.
Lebih jauh, melalui pengamatan tapak secara lengkap, akan diperoleh gambaran mengenai gejala-gejala budaya (baca: tindakan, benda, dan peristiwa). Termasuk kaitan hubungan antar gejala yang bermakna bagi kehidupan masyarakat dan sumberdaya hutannya. Metode pengamatan di tingkat tapak dalam perkembangannya sangat membantu untuk melengkapi data primer yang dihasilkan dalam teknik wawancara.
Teknik pengamatan di tingkat tapak dapat memberikan bahan masukan yang penting. Sebagai bekal untuk menggali informasi secara mendalam melalui teknik wawancara. Sedangkan informasi dari teknik wawancara perlu dikuatkan dengan metode pengamatan di level tapak. Sebagai upaya pengecekan kebenaran di tingkat tapak atas informasi kata-kata yang diucapkan oleh responden maupun sang informan kunci.
Sampai disini cukup jelas kiranya. Mengabaikan kunjungan di lapangan sama halnya dengan mengabaikan fakta-fakta sosial, ekonomi dan budaya di tingkat tapak. Dulu rimbawan yang enggan ke hutan distigma dengan istilah popular “rimbawan salon”. Siapa sangka, sebutan rimbawan salon kini akan bahkan telah menjadi kondisi umum yang dihadapi sebagian besar rimbawan. Mungkin kini istilahnya bukan lagi rimbawan salon. Melainkan rimbawan “daring.” Alternatif lain, bisa juga rimbawan online.
Tampaknya, rimbawan hari ini benar-benar harus kritis dan cerdas. Dalam menerapkan dan memaknai “new normal” dalam kerja-kerja di kehutanan. Bila tidak, kehutanan bukan hanya akan makin kehilangan orientasi. Namun juga akan semakin ditinggalkan. Tersebab kian terancam eksistensinya sebagaimana tercermin dari semakin besarnya gugatan atas kredibilitasnya. Terasing dari relasi dan interaksi masyarakat dengan sumberdaya hutannya. Akibat kegagalan menyampaikan fenomena dan fakta riil di tingkat tapak.
Akhirnya, akankan era “new normal” menjelma menjadi jalan kematian kehutanan ? Atau sebaliknya. Menjelma sebagai kelahiran bagi terbukanya jalan kebangkitan kehutanan di era baru penuh keemasa ? Quo vadis “new normal” kehutanan ? *
Kalau masyarakat banyak.berinteraksi secara daring dam sedikit interaksi fisil ke kawasan hutan, so pasti secara ekologis hutan akan leluasa tumbuh tanpa tekanan berarti. Manusia rehat, alam menggeliat pal Agung..