Dr. Untung Iskandar – Pengamat Kehutanan
Sejak reformasi 1998, dunia usaha kehutanan seperti mengalami stagnasi. Sulit lepas dari berbagai kepungan persoalan. Tidak kunjung maju dan mampu berkembang. Meskipun kian banyak perusahaan pemegang konsesi memiliki kinerja hutan lestari. Tercermin dari sertifikat PHPL dan VLK maupun FSC.
Mengapa kehutanan sulit maju dan berkembang. Itulah pertanyaan yang selalu mengemuka. Mampukah kehutanan kembai Berjaya dan meraih mimpi era baru di masa yang akan datang ?
Era Hutan Lestari
Hutan alam dikelola melalui pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHK-HA). Hampir satu dekade lebih Pemerintah mewajibkan penerapan sistem Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) dan Sertifikat Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Penerapan dua sitem ini dievaluasi pihak ketiga. Lembaga Penilai Independen (LPI) yang diakreditasi Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Konsekuensinya, sektor publik kehutanan tidak lagi menerbitkan aturan, menerapkan aturan dan mengevaluasi penerapan aturan itu. Masuk sudah sektor-sektor lain untuk menilai keabsahan penerapan PHPL dan SVLK.
Unit usaha tidak dapat melepaskan diri dari kewajiban PHPL dan SVLK. Itu jelas. Di sisi lain, karena memasok bahan baku ke industri yang menghasilkan hasil akhir (end products) untuk pasar global dengan standard kelola lestari berskema FSC. Maka unit-unit usaha kehutanan hulu dengan voluntary menerapkan standard FSC.
Sebagaimana biasa, di awal-awal penerapan PHPL dan SVLK yang bersifat mandatory ditemui banyak hambatan. Hambatan utamanya adalah keduanya tidak masuk dalam SK IUPHHK-HA. Pada sisi lain pemerintah bertahan bahwa setiap ada aturan baru yang berhubungan dengan kelola hutan alam, setiap unit usaha wajib menerapkannya. Alasan lainnya unit usaha hanya memperoleh Ijin Usaha Pemanfaatan Kayu dari Hutan Alam (pemegang logging permit), namun di evaluasi sebagai pengelola hutan alam itu.
Gugatannya adalah unit usaha bukan lagi sebagai pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Kayu yang identik dengan ijin pembalakan. Melainkan berubah menjadi pemegang Ijin Kelola Kawasan Hutan.
Realitas lain. Unit-unit usaha pemanfaatan kayu (IUPHHK) itu bekerja sama dengan industri pemrosesan kayu. Fungsi utamanya sebagai pemasok bahan baku industri tersebut. Namun, begitu kayu masuk ke logyard pabrik, IUPHHK tidak lagi tahu apa yang terjadi dengan bahan baku itu. Bisa jadi, bahan baku itu dipesan untuk menjadi veneer atau plywood. Namun realitasnya diolah untuk door components atau produk-produk lain. Tentu bernilai lebih tinggi daripada plywood atau veneer.
Issue paling substansial di kalangan IUPHHK adalah anjloknya harga kayu. Jatuh serendah-rendahnya. Pada kondisi itu pemegang IUPHHK-HA tidak dapat berbuat apa-apa. Namun, ada sinyalemen bahwa jatuhnya harga bahan baku adalah design dari pabrikan. Untuk mendapatkan windfall profit atau excessive profit. Wallahualam.
Revitalisasi Peran Asosiasi Hulu
Semula, sektor usaha kehutanan terbagi kepada penghasil bahan baku (IUPHHK) yang serta merta mengirim bahan baku itu ke pabrik, atas persetujuan. Pabrik/industri itu dinilai sebagai unit usaha kelanjutan dari industri primer (penghasil bahan baku).
Karena di Indonesia tidak ada pasar kayu bersertifikasi. Harga kayu sepenuhnya hasil negosiasi antara IUPHHK dengan industri pemroses kayu. Kondisi ini timpang. Karena dalam proses negosiasi itu IUPHHK bersifat individual. sedangkan industri pemroses tergabung dalam asosiasi. Antara lain APKINDO, ISWA, ASMINDO, AMKRI dan asosiasi lainnya. Implikasinya, dalam setiap negosiasi harga, pihak IUPHHK selalu dalam kondisi yang tidak menguntungkan.
Pemegang IUPHHK tahu bahwa bahan baku mereka sangat bernilai bagi industri. Andai bahan baku itu bukan berasal dari kawasan yang dikelola secara lestari (baik mandatory PHPL/SVLK maupun voluntary FSC), industri tidak bersedia menerimanya. Tersebab produk akhirnya tidak akan laku di pasar global. Gagasan ini memberi masukan bagi sekelompok IUPHHK untuk ikut bertindak sebagai industrialis, terutama sebagai sub-investor atau pemegang saham skala kecil/menengah namun mampu mempengaruhi kebijakan industri.
Realitas lainnya, dewasa ini skala kawasan konssi hutan alam yang disertifikasi dengan skema FSC kian luas. Berdasarkan data The Borneo Initiative (TBI) terdapat 24 IUPHHK memiliki bersertifikat FSC seluas 2,338,000 ha. Sebanyak 4 IUPHHK bersetifikat FSC Controlled Wood certificates seluas 351,000 ha, Total area bersertifikat FSC seluas 2,661,000 ha (TBI.2019). Sementara itu, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan bahwa terdapat pemegang PHPL berkinerja 108 baik, 44 ber kinerja sedang dan 80 ber kinerja buruk.
Data di atas menunjukkan posisi dominan IUPHHK pemegang sertifikat FSC dan PHPL/SVLK sebagai produsen kayu bersertifikat. Kayu-kayu hasil IUPHHK yang telah bersertifikasi FSC maupun PHPL/SVLK ini menjadi mayoritas produsen bahan baku. Boleh dikatakan bahwa pabrik pemroses, lebih banyak menerima kayu-kayu legal dan bersertifikat daripada kayu illegal dan tidak bersertifikat.
Ironisnya, sebagai mayoritas produsen kayu ini masih diperlakukan sebagai pemain biasa (baca : kurang terorganisasi). Umumnya harga produknya sangat mungkin sepenuhnya ditentukan oleh industrialis, yang terorganisir di dalam asosiasi industri. Faktanya, terjadinya harga yang sangat rendah memaksa beberapa IUPHHK tutup atau tidak beroperasi.
Dari sudut pandang lain, pelaku IUPHHK dengan sertfikat FSC dan PHPL yang ber kinerja “baik” ini, merupakan kekuatan baru di dalam industri hasil hutan kayu. Yang perlu diorganisasi (better organized). Kekuatan baru ini dapat di wujudkan di dalam Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), dengan membentuk semacam trust PHPL dan FSC.
Menurut Edilius dan Sudarsono, pengertian trust adalah perusahaan gabungan, yang dibentuk untuk melakukan pengawasan produksi atau distribusi barang atau jasa tertentu. Sedangkan di dalam trust IUPHHK pemegang sertifikast FSC dan PHPL “baik” bukan membentuk perusahaan gabungan, melainkan memfasiltasi negosiasi harga, menuju sebuah kesepakatan bersama dalam menentukan harga minimum pada suatu barang yang dijual.
Bolehlah bila pengaturan itu disebut sebagai quasi-trust. Dalam hal ini, barangnya adalah kayu bulat berasal dari kawasan hutan yang pengelolaanya disertifikasi oleh FSC dan oleh PHPL. Quasi-trust produsen kayu tropika ini (kalau terbentuk) di harapkan mampu menyatukan kekuatan untuk negosiasi harga yang lebih realistis dan kuantitas pasok ke industri pemroses. Tujuan umum dari quasi-trust produsen bahan baku kayu tropika ini bukan untuk menentukan harga, atau membatasi supply produk, atau mencegah kompetisi, melainkan untuk memperoleh harga yang wajar atas produk bahan baku yang mereka produksi.
Langkah Strategis Ke Depan
Pada sisi lain -diluar konteks makalah ini- kekuatan baru ini dapat diusahakan untuk makin diperkuat dengan cara ekspansi industri primer ke industri sekunder. Harapannya agar IUPHHK yang terlibat di dalamnya dapat mengontrol atau ikut mengatur harga produk akhir.
Namun ekspansi usaha ini sepenuhnya domain industri, untuk memenuhi strategic intent nya yang berubah. Untuk berkiprah makin mantap di dunia usaha kehutanan. Antara lain secara konsisten memasok bahan baku, IUPHHK dapat mendeskripsi penggunaan bahan baku yang paling sesuai untuk suatu produk terproses.
Bagaimanapun, Pemerintah telah menetapkan bahwa pemegang IUPHHK-HA menerapkan PHPL dan SVLK. Konsekuensinya, makin banyak pemegang IUPKKH-HA yang memperoleh hasil “BAIK” atas usahanya menerapkan PHPL dan SVLK.
Pada sisi lain ada banyak pemegang IUPHHK-HA, selain menerapkan PHPL dan SVLK, juga menerapkan standard kelola hutan pola FSC. Bersifat sukarela atas desakan pasar atau konsumen. Akibat berikutnya, produsen-produsen yang menerapkan PHPL dan SVLK serta yang menerapkan standard FSC merupakan produsen utama atas kayu berasal dari hutan yang di kelola secara lestari dan kayu yang dihasilkannya pun legal (bukan curian).
Atas posisi mayoritas produsen, timbul pemikiran untuk menyatukan mereka di dalam wadah APHI berupa Lembaga Quasi-Trust dengan sasaran utama menegosiasi harga dengan industri sekunder (pemroses kayu), untuk memperoleh harga yang wajar.
Mungkinkah mewujudkan harapan itu ? Ataukah, semua memang masih sebatas mimpi.