Agung Nugraha – Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute
Hari ini, ribuan bahkan jutaan manusia dicekam ketakutan. Bukan saja soal ancaman hilangnya nyawa. Tersebab terpapar Virus Covid-19. Lebih dari itu, “pagebluk” yang sudah memasuki bulan kedua ini telah membunuh “mata pencarian” sebagian besar warga masyarakat.
Adalah pembatasan sosial, hingga lockdown telah mulai meruntuhkan gerbong ekonomi. Menghentikan roda pertumbuhan. Kebangkrutan usaha UKM hingga pabrik raksasa. PHK massal buruh dan pekerja kerah putih. Hingga berbagai dampak sosial ekonomi lainnya.
Fenomena tersebut telah memaksa warga masyarakat, terutama kaum lemah untuk masuk kembali ke gerbang kemiskinan. Mereka yang sudah miskin akan kian papa. Sementara untuk pertama kalinya kalangan kelas menengah akan tersungkur. Masuk dalam lingkaran kemiskinan.
Dialektika Kemiskinan
Kemiskinan menjadi tema yang tak berkesudahan. Selalu hangat dan menarik. Dari waktu ke waktu. Bahkan hingga hari ini. Bukan hanya di tataran global. Namun juga di tingkat lokal.
Secara historis, negara di dunia terbagi dua kelompok besar. Negara industri maju yang kaya. Dan negara agraris/berkembang yang miskin. Negara maju sebagian besar dikenal sebagai negara-negara utara. Eropa Barat, Amerika Utara dan Asia Timur masuk ke dalam kelompok ini.
Sementara negara-negara berkembang miskin disebut dengan negara – negara Selatan. Kelompok negara-negara ini antara lain adalah negara-negara di Afrika dan Asia Selatan. Juga Amerika Selatan dan Amerika Latin. Beberapa lainnya negara Eropa Timur pecahan Uni Soviet.
Pertanyaannya, mengapa ada negara maju dan negara miskin. Apa faktor penyebabnya ? Faktor alami, struktur politik ekonomi ? Ataukah faktor mentalitas yang bersifat kultural ?
Ada sebuah paradoks. Mengapa masyarakat di negara – negara selatan banyak yang masuk dalam kategori miskin. Padahal, dari sisi sumberdaya alam (SDA), kekayaan alam mereka justru melimpah ruah. Ada hutan, tambang dan migas.
Apa yang salah ? Sehingga negara kaya SDA namun terancam menjadi negara gagal ? Lebih jauh, rakyatnya dikepung kemiskinan. Bahkan terlantar.
Soal anomali itu, barangkali bisa merujuk sebuah konsep. Teori Kutukan Sumber Daya Alam (Resource Curse). Bahwa, kelimpahan SDA tidak selalu dapat mendongkrak pembangunan ekonomi dan kesejahteraan rakyat suatu negara (Auty. 1993). Terdapat korelasi kuat antara kemiskinan dengan cara negara (baca : Pemerintah) mengelola SDA. Dan bagaimana mendistribusikannya.
Secara natural, jelas negara-negara Afrika pemilik hutan tropis terbesar dunia seperti Kongo dan Zaire, atau negara pemilik tambang seperti Afrika Selatan, Nigeria dan Angola, adalah negara-negara kaya. Juga negara-negara Amerika Latin dan Amerika Selatan, seperti Venezuela. Mereka memiliki potensi hasil tambang dan migas yang sangat besar. Dengan nilai ekonomi yang luar biasa.
Apakah daya ?
Salah urus negara yang tercermin oleh para pemimpin dan kaum elite –korup- menyebabkan SDA tidak dikelola secara optimal. Bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kebijakan politik kelola SDA yang sarat dengan praktek korupsi, hanya menghasilkan manfaat bagi segelintir orang dan kelompok kroninya. Perebutan SDA oleh para elit –biasanya selalu ada campur tangan asing- telah menimbulkan bentrokan bahkan perang saudara. Menimbulkan kesengsaraan rakyat banyak.
Dampaknya jelas. Tidak ada pembangunan. Termasuk pertumbuhan ekonomi. Tidak berkembangnya sektor usaha pada akhirnya menimbulkan pengangguran dimana-mana. Rakyat ingin bekerja. Namun tidak tersedia lapangan kerja. Ketiadaan pekerjaan menyebabkan tiadanya pendapatan. Rakyat pun terjerumus ke jurang kemiskinan.
Dari sinilah timbul tentang konsep kemiskinan struktural. Kemiskinan bukan karena faktor NATURAL (alamiah). Namun karena struktur politik, dan sosial ekonomi. Struktur negara dan pemerintahan yang salah menerapkan kebijakan dalam pengaturan pengelolaan SDA. Menyebabkan kemiskinan rakyatnya.
Kesejahteraan dan Budaya Kerja
Ada negara yang secara natural berkelimpahan SDA. Ironisnya rakyatnya miskin. Sebaliknya. Tidak sedikit negara yang secara alamiah miskin SDA. Realitasnya, rakyatnya justru makmur. Sejahtera.
Tengok negara – negara seperti Jepang, Taiwan, Korea Selatan dan Singapura. Secara natural semuanya miskin SDA. Namun negara-negara itu justru dikenal memiliki cadangan devisa terbesar dunia. Memiliki berbagai sektor industri dan menguasai perdagangan dunia. Bagaimana bisa ?
Jelas kebijakan struktural negara – negara di atas tidak diragukan lagi memiliki karakter yang mendukung kemajuan. Tanpa SDA, mereka harus putar otak. Menghidupkan sektor industry, jasa dan perdagangan.
Pemerintah memiliki karakter yang ramah terhadap investasi dan usaha. Keterbukaan, birokrasi yang melayani, perijinan yang yang cepat dan tidak korup. Menjadikan iklim investasi negara tersebut menjadi sangat kondusif. Efisien. Sehingga memiliki daya saing tinggi.
Hal itu didukung oleh etos kerja warga masyarakatnya. Karakter yang rajin, disiplin, jujur, dan pekerja keras mendorong tingginya produktivitas. Menyebabkan sinergi yang optimal bagi pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Mentalitas dan etos kerja memang penting dalam mewujudkan kesejahteraan. Orang yang memiliki mentalitas “kere” (Baca : miskin), sulit untuk bisa mendongkrak tingkat kesejahteraannya. Perilakunya yang malas, boros, tidak jujur, mengharapkan bantuan, “sak karepe dhewe” dan atau anti kemajuan menyebabkan mereka masuk dalam sindrom kemikisnan kultural.
Kontekstualisasi budaya kerja dan dampaknya terhadap kesejahteraan bisa merujuk pada konsep etos kerja. Dibentuk nilai-nilai budaya di sekitarnya. Khususnya nilai agama. Bisa belajar dan berkaca pada negara Eropa dan Amerika. Pasca revolusi industri. Menghasilkan kelas usahawan.
Dalam agama Protestan yang dikembangkan Calvin terdapat ajaran. Bahwa seorang manusia sudah ditakdirkan sebelumnya. Apakah masuk surga atau neraka. Hal tersebut ditentukan melalui keberhasilannya dalam menjalankan pekerjaannya di dunia.
Adanya kepercayaan ini membuat penganut agama Protestan Calvin bekerja keras meraih sukses. Inilah yang disebut sebagai Etika Protestan oleh Max Weber (1860-1920). Bahwa cara bekerja yang keras dan bersungguh-sungguh, lepas dari imbalan materialnya. Sebuah konsep altruism untuk meraih kemajuan. Yang berujung pada kesejahteraan. Melalui analisa kesejajaran, tentulah ajaran agama dan keyakinan lain juga bisa dikaji terkait hal ini.
Konteks Keindonesiaan
Merujuk uraian konsep di atas, bagaimana konteks kemiskinan di Indonesia ?
Refleksi atas SDA, Indonesia adalah sebuah zamrud khatulistiwa. Pemilik hutan tropis terbesar ketiga dunia. Memiliki mega biodiversitas. Beragam hasil tambang hingga migas. Letak georgrafis yang strategis, potensi demografi, termasuk potensi iklim dan cuaca. Boleh dikatakan Indonesia secara natural memiliki segalanya.
Faktanya, wilayah-wilayah dengan kelimpahan SDA justru dikenal sebagai kantong-kontong kemiskinan. Mungkinkah politik pengelolaan sumberdaya alam menghasilkan ketimpangan struktural ? Pusat menghisap kekayaan daerah dan tidak seimbang dalam mendistribusikannya kembali ? Bahwa 80 % kue ekonomi pembangunan secara nasional dikuasai hanya tidak lebih dari 10 % warga super makmur (baca : super kaya).
Bagaimana pula dengan etos kerja dan budaya masyarakatnya ? Banyak etnis tertentu yang secara sosial politik terpinggirkan, miskin SDA justru berhasil menggapai kemajuan di bidang ekonomi. Dengan mentalitas enterpreunership yang tercermin dari kerja keras dan pantang menyerah, banyak yang meraih sukses. Menjelma menjadi golongan makmur dan sejahtera. Beberapa bahkan super makmur.
Lalu berapa sesungguhnya angka kemiskinan kita ? Faktanya, berdasarkan data BPS (2019) jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 25,14 juta jiwa atau sekitar 9,82% dari total penduduk. Kemiskinan di Indonesia tampaknya bisa jadi karena resultante kemiskinan struktural sekaligus kemiskinan kultural. Keduanya berkelindan satu sama lain. Klop.
Jujur, angka kemiskinan di atas tentulah akan kian meningkat. Bahkan terus berkembang. Terlebih dewasa ini. Tatkala pandemi global Corona melanda dunia. Tak terkecuali Indonesia.
Pagebluk Corona menyebabkan ancaman dampak yang sama. Namun dengan cara yang bisa berbeda. Bagi yang terkena, maka ia tak mengenal kasta. Kaya atau papa bila tidak tertangani dengan baik. Bisa menemui ajal. Terbukti. Dari profesi artis papan atas, pejabat negara, hingga pemilik usaha. Tentulah warga dan rakyat biasa jelas jauh lebih banyak.
Skema kedua. Mereka yang menderita dan mati tersebab Corona. Dikarenakan matinya “mata pencaharian”. Tidak langsung memang. Jatuhnya ribuan dan jutaan warga yang kembali masuk ke lingkaran setan kemiskinan. Simak dampak sosial ekonomi wabah Corona selama hampir satu bulan penuh ini. Sudah sangat nyata. Terjadi stagnasi ekonomi.
Masyarakat dicekam ketakutan. Kekhawatiran negara kembali mengalami krisis ekonomi seperti halnya tahun 1997. Dan masyarakat bisa jatuh –kembali- ke jurang kemiskinan. Jauh lebih dalam dari sebelumnya.
Apa yang perlu dilakukan ?
Pada akhirnya, Pagebluk Corona tampaknya mampu meredefinisi konsep kemiskinan. Bukan karena struktur atau pun kultur. Semua menjadi konsep – konsep yang prematur.
Tidak ada resep jitu yang sederhana di tengah kompleksitas persoalan. Pemerintah seluruh dunia saja kedodoran menghadapi menggilanya mutasi virus flu ini. Pakar pun hilang akal. Hingga lahir teori konspirasi global. Wallahualam.
Selain selalu menjaga kesehatan dan keselamatan, satu hal yang perlu dipupuk adalah sikap optimis. Seberapapun besarnya dampak wabah Corona terhadap perekonomian, negara -secara struktural- tetap wajib hadir. Menjamin kelangsungan pemenuhan kebutuhan hidup rakyat banyak.
Pun warga negara selaku rakyat. Harus tetap semangat. Mendukung sepenuhnya negara. Seraya menjaga mentalitas -religi dan spiritualitas- serta etos kerja. Sebagai kunci untuk bertahan. Untuk kemudian merangkak keluar dari kemiskinan.
Ya. Secara materi Negara dan kita –sang rakyat- bisa jatuh miskin. Namun bila mentalitas kolektif negara dan rakyat tidak ikut jatuh miskin, tidak akan pernah ada masalah. Kultur sangatlah penting karena mencerminkan nilai – nilai hidup. Melengkapi struktur dan suprastruktur (baca : ideologi) negara.
Kemiskinan –karena Corona- hakekatnya adalah ukuran angka kuantitatif. Akan sangat fluktuatif. Hari ini terjun bebas, Di kemudian hari sebaliknya. Terdongkrak lompatan kuantum. Dengan kekuatan kultural yang menjadi sistem dan tata nilai, negara dan rakyat harus yakin dan mampu memastikan. Apakah suatu saat nanti bisa kembali meraih kesuksesan. Menjadi sejahtera dan berhasil keluar kembali dari kategori kemiskinan. Semuanya akan sangat tergantung pada mentalitas dan etos kerja. Tengok pengusaha yang berulangkali jatuh bangun. Membangun kerajaan bisnisnya. Itulah mentalitas enterpreunership. Etos kerja sebagai kultur dan budaya.
Akhirnya, selamat datang wahai kemiskinan. Mari kita belajar bijak menyikapinya. Salam sehat dan jangan lupa untuk selalu bahagia. Semoga bermanfaat.*****