Hery Santoso – Java Learning Center (JAVLEC)
Gagasan Perhutanan Sosial yang kelahirannya terutama dipicu oleh kegagalan model kehutanan akademik mewujudkan kelestarian sumberdaya hutan dan pengurangan kemiskinan di kalangan masyarakat pedesaan, dalam perkembangannya juga memunculkan berbagai macam kritik, salah satunya adalah dari Tania Li, antropolog di Universitas Toronto.
Tania Li setidaknya mencatat bahwa, sejauh ini gagasan perhutanan sosial, atau dalam terminologiya adalah CBNRM (Community Base Natural Resource Management), juga melakukan hal yang sama dengan apa yang pernah dilakukan kehutanan akademik, yaitu “simplifikasi”. Jika kehutanan akademik melakukan simplifikasi pada model ekosistem hutan dengan mengubahnya menjadi tanaman monokultur, maka CBNRM atau perhutanan sosial melakukan simplifikasi pada apa yang dinamakan sebagai masyarakat lokal dengan melakukan idealisasi pada mereka.
Dalam pandangan Li, perhutanan sosial cenderung memposisikan masyarakat lokal sebagai entitas tunggal yang seolah-olah memiliki komitmen kuat pada kelestarian lingkungan, tidak berorientasi pada ekonomi pasar dan akumulasi keuntungan, kecuali sekedar untuk memenuhi kebutuhan tumah tangga, atau kebutuhan subsistensi, dan sepenuhnya menggantungkan hidup pada sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya. Meminjam terminologi yang digunakan James C Scott, kalangan masyarakat lokal pelaku perhutanan sosial, dibayangkan sebagai petani yang masih memegang teguh prinsip-prinsip ekonomi moral, dan tidak berkomitmen pada model ekonomi rasional.
Dengan cara pandang semacam itu maka ada semacam oposisi biner antara kalangan masyarakat lokal di satu sisi, dan para pengusaha, juga negara, di sisi yang lain. Jika selama ini kalangan pengusaha, dengan didukung negara, cenderung melakukan ekstraksi dan eksploitasi sumberdaya alam; kalangan masyarakat lokal dan adat dianggap sebaliknya: mereka adalah subyek yang telah menyatu dengan ekosistem dan sudah barang tentu akan memiliki komitmen kuat untuk menjaga keberlanjutannya.
Lynch dan Talbot, juga segenap aktivis pendukung CBNRM, bahkan menegaskan bahwa kalangan masyarakat lokal dan adat yang yang secara turun-temurun hidup di dalam dan sekitar hutan, serta menggantungkan hidup dari hutan-hutan itu, sudah bisa dipastikan akan memiliki komitmen yang kuat terhadap pengelolaan hutan berkelanjutan, dibandingkan dengan kalangan pengusaha hutan dan otoritas pemerintah itu sendiri.
Kalaupun di kalangan masyarakat lokal dan adat juga pada kenyataannya terdapat heterogenitas, itu tidak berarti kita bisa menafikan pentingnya perhutanan sosial dalam pengelolaan hutan berkelanjutan (Colchester, 1994; Lynch dan Talbott, 1995). Tidak bisa dipungkiri, sebagaimana dicatat Brisius, Tsing, dan Zerner (1998), ada semacam ketegangan yang muncul ke permukaan akibat cara pandang yang berbeda terhadap perhutanan sosial, terutama antara mereka yang mendukung (umumnya kalangan aktivis), dan mereka yang berusaha melakukan kritik (umumnya kalangan sarjana sosial kritis).
Dalam pandangan orang-orang yang mendukung, seperti Lynch dan Talbott, kritik terhadap perhutanan sosial seperti yang akhir-akhir ini banyak dilakukan oleh para sarjana ilmu-ilmu sosial, alih-alih bisa memperbaiki skema dan pendekatannya, yang dikhawatirkan justru malah meminggirkannya, dan ujung-ujungnya menutup peluang munculnya model pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Masyarakat lokal dan mata pencahariannya
Kalangan masyarakat lokal dan adat yang menjadi subyek dalam perhutanan sosial, atau model-model pengelolaan hutan berbasis masyarakat lainnya, pada dasarnya adalah komunitas yang tidak bisa dikatakan secara alamiah dan terberikan sudah ada di sana sejak awal. Dalam berbagai studi yang dilakukan oleh para sarjana antropologi dan geografi, banyak ditemukan bukti, bahwa, secara historis mereka adalah migran yang datang dari tempat lain, baik atas inisiatif sendiri, sebagaimana yang banyak dilakukan oleh kalangan masyarakat dayak kenyah di perbatasan Malaysia-Indonesia; ataupun karena dorongan program-program pemerintah, dan tarikan ekonomi pasar seperti yang terjadi pada saat booming cokelat di Sulawesi Tengah, atau sawit di Sumatera.
Di Pilipina misalnya, kalangan masyarakat yang sering disebut sebagai masyarakat adat, mereka yang menghuni wilayah dataran tinggi atau wilayah-wilayah pedalaman lainnya, sebagian besar adalah migran alias pendatang dari daerah-daerah yang lebih rendah (Li, 2002). Sementara itu di Indonesia, sebagaimana catatan Hardjono (1986), Li (1999, 2001), dan Peluso (1995), hal yang sama juga terjadi: para penduduk di wilayah pedalaman sebagian besar adalah migran. Kenyataan semacam itu sering kali diabaikan dalam pendekatan dan kerangka pengetahuan perhutanan sosial, di mana subyek perhutanan sosial sering diidealisasikan sebagai masyarakat tempatan yang secara sosial, ekonomi, dan budaya berbeda dengan kalangan pendatang.
Maka bisa dipahami kalau kemudian perhutanan sosial cenderung membangun oposisi biner antara kalangan masyarakat tempatan yang dipandang berpegang pada kearifan lokal dalam berinteraksi dengan sumberdaya alam yang ada di sekitarnya, dan para pendatang yang dianggap sudah sepenuhnya berorientasi pada ekonomi pasar dan akumulasi keuntungan sehingga mengabaikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan berkelanjutan.
Dalam bingkai cara pandang seperti ini, maka perhutanan sosial seolah-olah mengabaikan fakta-fakta historis bahwa masyarakat cenderung bergerak ke wilayah- wilayah yang lebih dalam atau tinggi, wilayah yang kemudian disebut sebagai pedalaman dan dataran tinggi, tempat di mana desa-desa hutan berada, untuk bisa mendapatkan lahan dan melakukan proses produksi komoditas-kooditas yang menguntungkan, sekaligus membangun sistem matapencaharian.
Sebagian dari migran ini boleh jadi berorientasi pada pengembangan sistem matapencaharian berbasis lahan, berupa pertanian dan perkebunan skala kecil (Acciaioli, 1998; Hidayati, 1994). Tetapi sebagian yang lain boleh jadi mengembangkan sistem mata pencaharian lain, dalam bentuk buruh perkebunan, pembalakan; atau memilih menjadi penambang skala kecil, atau model-model pekerjaan lain yang tidak sepenuhnya terikat pada lahan.
Dan sebagaimana yang dicatat Li (2002), tidak semua mereka yang berada di wilayah pedalaman dan dataran tinggi, mereka yang sering disebut sebagai masyarakat lokal dan adat, tergolong sebagai masyarakat miskin. Bagaimanapun, selama ini proses migrasi tidak selalu dilakukan karena adanya tekanan atau dorongan dari dalam, berupa kemiskinan dan keterbatasan sumberdaya misalnya; akan tetapi juga karena adanya tarikan dari luar, seperti peluang keuntungan yang lebih menggiurkan (tarikan dari booming cokelat di Sulawesi Tengah dan sawit di Sumatera).
Atas dasar itu, maka intervensi pasar terhadap ekonomi daerah pedalaman dan dataran tinggi, di mana kalangan masyarakat adat dan lokal bermukim, sudah terjadi sejak lama. Model-model agroforestry yang mengkombinasikan antara tanaman kayu, tanaman-tanaman komersial seperti karet, kopi, cokelat, dan tanaman resin serta buah-buahan, sejauh ini telah menjadi model matapencaharian masyarakat yang sepenuhnya ditopang oleh kekuatan pasar.
Akhir-akhir ini, seiring dengan booming ekonomi sawit yang terjadi banyak tempat, tanaman-tanaman komersial seperti karet dan cokelat pun kemudian diganti dengan sawit (Li, 2002). Ada semacam fakta lugas yang tidak bisa dipungkiri bahwa kalangan masyarakat lokal tidak segan-segan untuk mengubah hutan yang ada di sekitarnya menjadi agrekosistem baru yang lebih intensif dan produktif, semata-mata demi bisa menopang pendapatan mereka. Komitmen masyarakat lokal pada isu-isu konservasi an perlindungan hutan sebagaimana yang sering diidealisasikan dalam perhutanan sosial, nampaknya memerlukan penjelasan dan tafsir yang lebih realistis dan relevan.
Agenda konservasi dan marginalisasi
Perhutanan sosial selalu dikaitkan dengan dua agenda penting, yaitu menjaga kelestarian hutan, untuk tidak mengatakan melakukan konservasi sumberdaya hutan; dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Dua hal ini seringkali dirumuskan dalam semboyan yang selalu direproduksi di setiap kesempatan, yaitu “hutan lestari rakyat sejahtera”.
Pertanyaannya, seperti yang dicatat Brown (1994), apakah pemerintah selama ini pernah menanyakan dan meminta persetujuan dari kalangan masyarakat lokal dan masyarakat adat, mereka yang selama ini dipandang sebagai subyek perhutanan sosial, tentang bagaimana mereka akan mengelola dan melestarikan hutan?; apa yang mereka inginkan dengan sumberdaya hutan yang ada di sekitarnya? Pada dasarnya kelestarian atau pengelolaan hutan berkelanjutan tidak bisa dikatakan berbasis masyarakat ketika segenap agendanya justru disusun oleh petugas-petugas pemerintah, kalangan donor, dan organisasi-organisasi non pemerintah, sebagaimana yang selama ini terjadi di banyak tempat, tidak terkecuali di Indonesia (Rocheleau dan Ross, 1995).
Bagaimanapun, gagasan mengenai perhutanan sosial atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat, pada kenyataannya baru muncul ke permukaan setelah era booming kayu selesai. Dengan kata lain bisa diungkapkan bahwa pada saat sumberdaya hutan memiliki nilai ekonomi yang sangat tinggi, kesempatan justru diberikan kepada kalangan elit, pengusaha-pengusaha hutan dan para pelaku industri kayu. Ketika kemudian nilai ekonomi hutan sudah turun, untuk tidak mengatakan booming kayu sudah selesai, kesempatan pengelolaan hutan baru diberikan kepada kalangan masyarakat lokal yang selama ini miskin dan terpinggirkan, dengan salah satu agenda utama mewujudkan pengelolaan hutan berkelanjutan, termasuk di dalamnya melakukan perlindungan dan rehabilitasi hutan.
Dalam ungkapan yang lain Dove mencatat bahwa di balik agenda konservasi perhutanan sosial tersirat pesan bahwa kalangan masyarakat lokal hanya berhak atas hasil hutan ikutan (sayangnya volumenya sangat terbatas), sedangkan hasil hutan yang utama, seperti kayu, telah dialokasikan untuk yang lain. Boleh jadi karena hal semacam inilah Li (2002) kemudian mempertanyakan: keadilan semacam apa yang ingin dicapai oleh perhutanan sosial atau pengelolaan hutan berbasis masyarakat?
Berangkat dari situasi semacam itu, Li (2002) menegaskan bahwa program perhutanan sosial dan skema pengelolaan hutan berbasis masyarakat lain, secara tidak langsung adalah upaya melakukan alokasi sumberdaya yang sudah marginal kepada kalangan masyarakat marginal, untuk dikelola secara terbatas dengan produktivitas yang terbatas. Model-model agroekosistem yang dipromosikan pemerintah dalam perhutanan sosial, seperti tumpangsari tanaman-tanaman konvensional, pada kenyataannya memang hanya memberikan keuntungan yang sangat terbatas, sebagaimana yang dicatat Enter (1995) di Thailand.
Meskipun demikian, di sisi pemerintah, perhutanan sosial dengan agenda konservasi, proteksi dan rehabilitasi sumbedaya hutan yang bermuara pada model pengelolaan hutan berkelanjutan berbasis masyarakat, justru menjadi keuntungan tersendiri, setidaknya di mata donor dan masyarakat internasional, yang sejauh ini cenderung mengedepankan agenda-agenda lingkungan dalam pengelolaan hutan tropis di manapun, tidak terkecuali di Indonesia.
Intensifikasi kontrol wilayah pedalaman
Upaya negara untuk melakukan kontrol atas wilayahnya dalam bentuk proyek teritorialisasi sudah dilakukan sejak masa kolonial dan terus berlanjut sampai sekarang (Vandergeest dan Peluso, 1995). Melalui proyek teritorialisasi, sebagaimana penerapan domen verklaring pada masa kolonial dan pemberlakuan UU Pokok Kehutanan No. 5 Tahun 1967 (yang kemudian direvisi menjadi UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999), negara melakukan pembagian wilayah secara politik dan ekonomi, menata kembali hubungan masyarakat dengan sumberdaya yang ada di dalamnya, sekaligus menerapkan segenap peraturan tata batas bagaimana dan siapa saja yang boleh memanfaatkannya.
Penetapan hak menguasai negara atas wilayah hutan di Indonesia yang mencapai kurang lebih 70 % dari wilayah nasional, yang pada awalnya diinisiasi oleh Orde Baru dan kemudian dilanjutkan oleh pemerintah di masa Reformasi, adalah salah satu dari apa yang dinamakan sebagai proyek teritorialisasi itu.
Secara historis, proyek teritorialisasi negara atas wilayahnya selalu menghadapi berbagai kendala, baik geografis (keterjangkauan wilayah), demografis (tingkat kepadatan populasi), maupun politis (adanya perlawanan dari kalangan tertentu, terutama masyarakat lokal). Atas dasar itulah mengapa sejauh ini teritorialisasi hanya bisa berjalan efektif di perkotaan dan desa-desa dataran rendah, wilayah-wilayah di mana kekuasaan negara dikonsentrasikan.
Wilayah-wilayah pedalaman dan dataran tinggi yang sebagian masih berhutan dan pada umumnya sulit dijangkau, serta memiliki tingkat populasi rendah, sengaja atau tidak, cenderung terabaikan, atau memang sengaja tidak menjadi prioritas. Itulah mengapa sejauh ini di banyak tempat kita masih bisa melihat praktik-praktik pemanfaatan hutan secara informal oleh masyarakat lokal seperti simpukn di Kalimantan Timur, tembawang di Kalimantan Barat, repong di Lampung Barat, dan lain sebagainya. Praktik-praktik ekonomi lokal yang didasarkan atas pranata lokal itu pada kenyataannya berada di luar jangkauan kontrol kekuasaan negara.
Meskipun demikian, sejak dekade 1990-an, seiring dengan selesainya era bonanza kayu di wilayah-wilayah pedalaman Indonesia, dalam pandangan Li (2002), kontrol kekuasaan negara atas wilayah pedalaman dan dataran tinggi mengalami pergeseran. Kalangan masyarakat lokal yang hidup di wilayah-wilayah itu, yang sebelumnya tidak menjadi determinan penting dalam pengelolaan sumberdaya alam, khususnya hutan, secara perlahan tapi pasti kemudian dipandang sebagai subyek penting yang perlu dikontrol.
Praktik-praktik ekonomi lokal yang sebagian besar bergantung pada sumberdaya hutan, dan dilakukan secara informal, kemudian dipandang perlu untuk diformalkan. Proyek-proyek formalisasi pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal pun dikembangkan. Perhutanan sosial dan model-model pengelolaan hutan berbasis masyarakat lain secara sistematis diterapkan secara nasional.
Dalam pandangan para pendukung perhutanan sosial, formalisasi semacam itu adalah keniscayaan, mengingat sejauh ini model-model ekonomi masyarakat lokal sebagaimana yang sudah disinggung di muka tidak memiliki keamanan tenur yang memadai. Akibatnya di banyak tempat, seperti yang pernah terjadi Pulau Padang, Yamdena, dan di tempat-tempat lain, keberadaan masyarakat lokal cenderung terpinggirkan oleh model-model ekonomi ektraktif yang dilakukan oleh para pengusaha kayu. Formalisasi pengelolaan hutan oleh masyarakat melalui perhutanan sosial dengan demikian adalah bagian yang tidak terpisahkan dari upaya memperkuat posisi kalangan masyarakat lokal dalam relasinya dengan suberdaya yang ada di sekitarnya.
Akan tetapi dalam pandangan yang lain, gencarnya promosi perhutanan sosial dalam beberapa dekade terakhir ini bisa juga ditafsirkan sebagai adanya perubahan strategi dan prioritas negara dalam melakukan teritorialisasi, terkait dengan keberadaan wilayahwilayah pedalaman. Seiring dengan surutnya booming kayu, kontrol langsung negara atas sumberdaya alam di wilayah pedalaman menjadi kurang begitu penting.
Apa yang kemudian dipandang penting dan strategis adalah kontrol terhadap populasi yang selama ini tinggal di wilayah itu: memastikan keberadaaannya, mengatur kembali hubungan mereka dengan sumberdaya alam sesuai dengan ketentuan-ketentuan dan kebijakan yang berlaku, melakukan internalisasi kelembagaan lokal ke dalam sistem birokrasi, yang secara keseluruhan mengarah pada pembentuhan relasi patronase dengan negara (McDermott, 2001) . Dengan kata lain juga bisa diungkapkan bahwa perhutanan sosial adalah bagian dari proses intensifikasi kontrol negara atas wilayah-wilayah pedalaman yang selama ini cenderung tidak terjangkau, sebuah tindak lanjut dari proyek teritorialisasi yang sudah diinisiasi sejak masa kolonial.***
Tulisan yang sangat luar biasa, sangat memperkaya khasanah diskursus perhutanan sosial.
Matur suwun Sebijak dan juga mas Hery Santoso.
Sluman slumun slamet,
Wito Laros