Sebijak Institute, Fakultas Kehutanan UGM
Baru-baru ini Menteri Perdagangan memberlakukan Peraturan No. 15/ 2020, yang tidak menyebutkan lagi kewajiban SVLK untuk ekspor produk kayu. Mengejutkan, mengecewakan dan brutal, mengingat investasi untuk membangun SVLK.
SVLK merupakan sistem yang digagas sekitar 15 tahun yang lalu untuk menghapus stigma “bangsa maling”, di tengah maraknya pembalakan liar/ ilegal. Ya, kala itu lebih dari 50% kayu yang beredar di Indonesia -termasuk untuk ekspor – disinyalir merupakan kayu haram. Melewati proses panjang berliku dan melibatkan ragam pihak, SVLK resmi diberlakukan mulai tahun 2009, dan diimplementasikan dalam proses ekspor sejak 2013. Sistem ini banyak dipuji kehandalannya dan kredibilitasnya, membuat banyak negara kesengsem dan jatuh hati.
SVLK telah menjadikan Indonesia sebagai negara terdepan yang secara konkrit menangani kejahatan pembalakan liar. Sistem ini juga gayut dengan inisiatif Forest Law Enforcement Governance & Trade (FLEGT) yang digagas oleh Uni Eropa (UE). Alhasil, Indonesia dan UE telah menandatangani kesepatan kemitraan sukarela (Voluntary Partnership Agreement/ VPA) untuk bersama-sama mengeliminasi produk ilegal dari perdagangan kedua belah pihak.
Nasib VPA
VPA Indonesia-UE merupakan hasil diplomasi panjang dan berliku. UE pasti akan bereaksi dengan langkah mundur Indonesia. Bagi EU, VPA dengan Indonesia (dan diberlakukannya SVLK sebagai persyaratan ekspor) merupakan keberhasilan mereka dalam “melindungi” konsumen domestik mereka. Mereka pasti akan aktif melakukan konsultasi dan klarifikasi ke kita. Ada potensi VPA Indonesia-EU untuk ditinjau kembali, atau malah dibekukan dan dibatalkan (lihat Pasal 20-23). Dan itu akan mencoreng citra Indonesia karena banyak dijadikan tolok ukur bagi negara lain yang membangun VPA dengan UE.
Hilangnya jalur hijau ke UE
Dengan SVLK, Indonesia merupakan negara pertama di dunia (saat ini satu-satunya) yang diberikan kewenangan mengeluarkan Lisensi FLEGT, yang menjadi “surat sakti” bagi produk kayu Indonesia, bebas masuk pasar UE tanpa uji. Dengan diberlakukannya Permendag 15/ 2020 tersebut, status istimewa produk kayu Indonesia secara logis akan hilang.
Tanpa lisensi FLEGT -menurut Regulasi Perkayuan UE (European Union Timber Regulation/ EUTR)- produk kayu harus melalui uji tuntas (due dilligence) sebelum masuk pasar UE. Proses uji tuntas bisa jadi sangat komplek, memakan waktu dan berbiaya tinggi, apalagi kalau produk kita kembali dimasukkan dalam kategori “beresiko tinggi”.
UE merupakan pasar yang cukup lukratif, sekitar 30% impor kayu tropis UE dipenuhi oleh Indonesia. Menurut data independent market monitor, 2 tahun semenjak penerbitan lisensi FLEGT pertama kali tahun 2016, ada kecenderungan peningkatan nilai ekspor kayu Indonesia ke UE. Ini konsisten dengan dengan data Kemendag. Walaupun kenaikan nilai ekspor tidak dapat serta merta karena pemberlakukan SVLK (baca: lisensi FLEGT), daya saing produk kita di pasar UE berpotensi turun dengan pemberlakukan Permendag terbaru ini.
Reaksi pasar non-UE
Beberapa negara tujuan ekspor kita, khususnya yang relatif peduli dengan isu lingkungan seperti AS, Jepang dan Australia sudah menerapkan regulasi kontrol terhadap produk ilegal. Korea Selatan pun mulai mewacanakan hal serupa. Negara-negara tersebut memberikan apresiasi dan menunjukkan minat untuk merekoqnisi SVLK. Ada kemungkinan mereka juga ikut bereaksi negatif dengan terbitnya Permendag 15/ 2020.
Pasar lain di Asia seperti China, Vietnam, Taiwan dan Timur Tengah mungkin tidak terlalu bereaksi negatif, paling tidak dalam jangka pendek. Namun mereka, khususnya Vietnam, sudah menandatangani VPA dengan EU dan mulai mengembangkan sistem serupa SVLK. China pun mulai menunjukkan minat ke VPA. Akses produk kita ke pasar mereka pun mungkin terimbas.
Penurunan citra tata kelola hutan Indonesia
SVLK diimpikan bisa menjadi instrumen untuk pembenahan pranata dan tata kelola kehutanan di Indonesia. Tak terhitung berita dan kajian akademis tentang citra buruk tata kelola hutan kita: korupsi, kolusi, pengabaian hak-hak masyarakat, dan sebagainya. Dengan SVLK, citra kehutanan kita mulai membaik. Paling tidak, SVLK telah mendorong transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Terlepas berbagai kekurangannya (lihat: Maryudi & Myers 2018; Maryudi dkk. 2020; Maryudi & Acheampong 2020; Hasyim dkk. 2020), SVLK sudah meletakkan pijakan kokoh bagi perbaikan pranata dan tata kelola hutan. Sistem ini perlu terus dirawat, bukan dibinasakan dengan alasan yang mengada-ada.