Dwi Laraswati – Sebijak Institute, Kandidat Doktor di Fakultas Kehutanan UGM
Beberapa pekan terakhir, halaman media cetak dan elektronik banyak dihiasi berita “perceraian” antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan WWF Indonesia. Tulisan ini dibuat bukan untuk menanggapi putusnya kerjasama antara kedua institusi tersebut yang telah terjalin kurang lebih selama 2 dekade, tetapi untuk memberikan komentar atas fenomena evolusi peran dan transformasi NGO di sektor kehutanan dan lingkungan.
Benarkah sosok filantropi?
NGO di awal kemunculannya seringkali dianggap sebagai organisasi yang sukarela dalam memberikan layanan publik atau mempromosikan prinsip-prinsip mulia untuk “memperjuangkan tujuan bersama”. Bahkan kebanyakan pustaka menyebut mereka sebagai agen perubahan, dan seringkali dipersonifikasikan sebagai “malaikat” dengan idealitas untuk mendorong masyarakat madani.
Kita juga sering mendengar NGO disebut atau diberikan ‘label istimewa’ sebagai representasi masyarakat sipil, sosok ideal yang berjuang melawan ketidakadilan sosial dan kerusakan lingkungan, mengadvokasi hak asasi manusia, dan berupaya mengentaskan kemiskinan.
Namun kenyataannya berkata lain, tidak sedikit NGO yang berbelok arah menjadi lebih mengutamakan kepentingan pribadinya, menjadikan dirinya tidak jauh berbeda dengan kelompok kepentingan lain. Banyak pustaka ilmiah yang mengungkap gerakan NGO baik internasional maupun domestik mirip dengan aktor politik pada umumnya.
Mereka memobilisasi sumber daya untuk mempertahankan keberlangsungan hidup dan mengorganisasikan kepentingan mereka sendiri. Narasi ‘melayani tujuan bersama’ digunakan oleh NGO untuk menyamarkan kepentingan yang sebenarnya demi mendapatkan legitimasi publik.
Batas-batas yang semakin kabur
Di awal kemunculannya, NGO juga dikenal sebagai aktor antagonis yang melakukan kampanye agresif dan kritik keras pada kebijakan-kebijakan pemerintah. Aksi-aksi konfrontatif dilakukan untuk menghentikan kebijakan yang mengarah pada kerusakan lingkungan dan ketidakadilan sosial, seperti kampanye boikot kayu tropis yang bersumber dari pembalakan liar. Bisa dikatakan, mereka adalah “oposisi loyal” terhadap pemerintah. Ini juga tercermin dari penggunaan terminologi “non-government” untuk penyebutan mereka.
Namun faktanya, peran dan hubungan NGO dengan pemerintah akhir-akhir ini menjadi semakin kabur menuju arah ‘kebersatuan’. NGO saat ini sangat mungkin dikooptasi oleh, berafiliasi dengan, atau setidaknya berkawan sangat mesra dengan sektor pemerintah dan bisnis. Sebagai contoh, banyak NGO yang mengambil peran sebagai konsultan ataupun agen untuk implementasi kebijakan pemerintah dan CSR perusahaan.
Selain itu, di Indonesia kita menyaksikan fenomena ‘pertukaran personil’ antara NGO, pemerintah dan bisnis. Pimpinan NGO bergabung di institusi pemerintah, dan juga berlaku sebaliknya.Terdapat juga NGO yang mempercayakan personil swasta sebagai pimpinan organisasi mereka.
Arena bermain NGO semakin kesini juga menjadi semakin variatif. Mereka mulai mengambil peran sentral hampir di semua siklus kebijakan mulai dari pengangkatan isu-isu strategis, penentuan agenda kebijakan, perumusan kebijakan, implementasi kebijakan, sampai evaluasi kebijakan.
Kasus SVLK dinilai relevan untuk mencerminkan bagaimana NGO mewarnai siklus kebijakan publik dan bergandengan tangan dengan sektor pemerintah. Mereka mengangkat pembalakan liar sebagai bentuk kriminal, membantu pemerintah dalam inisiasi kebijakan sekaligus proses draftingnya, serta melakukan independent monitoring untuk meningkatkan kredibilitas SVLK.
Independensi meredup
Klaim NGO atas dirinya adalah organisasi yang bersifat independen dari entitas lain, dan jauh dari hiruk pikuk politik. Faktanya, banyak NGO yang menggantungkan hidupnya hanya dari donor dan mitra internasional, sehingga mau tidak mau mereka harus mengakomodasi kepentingan donor– berpotensi menjadi perpanjangan tangan donor–yang terkadang tidak sesuai dengan tujuan publik.
Indonesia adalah salah satu negara dengan banyaknya NGO yang sumber keuangannya berasal dari donor internasional. Bahkan Aspinall (2013) secara eksplisit menyebut kebanyakan NGO di Indonesia sebagai “pemburu proyek”. Keterkaitan langsung dengan politik, Nurrochmat dkk (2016) mengungkap adanya NGO (yang membantu dalam proses kelayakan SVLK) di Jawa Tengah ternyata memanfaatkan kedekatannya dengan masyarakat untuk turut mengkampanyekan salah satu calon anggota dewan pada pemilu daerah pada tahun 2014.
Semakin memperkuat evolusi perannya, banyak NGO saat ini arah gerakannya menuju “entitas wirausaha/bisnis” yang berorientasi pada profit. Mereka membangun bisnis baik dalam bentuk penyediaan jasa konsultan maupun penjualan barang dengan dalih untuk keberlangsungan hidup organisasi. Bahkan kita sering menemui NGO yang melakukan crowdfunding di area publik dalam rangka menarik publik agar berdonasi untuk lingkungan dan hutan melalui organisasi mereka.
Namun, kegiatan semacam ini patut dipertanyakan akuntabilitasnya. Selain itu, dengan “bersembunyi” di balik narasi-narasi idealitas perjuangan, NGO diwaktu yang sama juga tetap mengakses dana bantuan dari pihak lain. Dari sini dapat dianalisis bahwa NGO mengakumulasi profit dari berbagai macam sumber, baik yang diperoleh dari bisnis yang mereka bangun maupun juga dari donor dan mitra mereka.
Dengan tidak menyudutkan pihak manapun, hadirnya tulisan ini diharapkan dapat memperluas sudut pandang mengenai NGO, keluar dari jebakan ‘kenormatifan’ karakter NGO, dan menggantinya dengan fakta-fakta yang ada di lapangan. Bahwa NGO juga merupakan organisasi yang memiliki ‘kepentingan pribadi’ dalam setiap tindakan yang mereka lakukan, dan akan berusaha mencapai kepentingan tersebut layaknya aktor politik pada umumnya.
*Tulisan ini utamanya disarikan dari artikel jurnal berjudul “The anachronistic category of non-government organisations: Moving from normative to empirical-based definitions for identifying organized interest groups in forest policymaking”, dapat diakses gratis selama 40 hari ke depan https://authors.elsevier.com/a/1aU9P_VcdiyRcz
Tulisan ini mungkin juga pesanan dan sarat kepentingan tertentu..
Tulisan ini adalah literasi awal saya dalam meneliti NGO pada derajat S3 saya, sebelum saya meneliti empiris di Indonesia. Seperti yang telah dideskripsikan pada artikel saya (detail di english version) Bapak Fernan Canon, ini merupakan kritik terhadap science dimana definisi NGO mengalami stagnasi, sedangkan empiris sudah sangat jauh berkembang. Tidak hanya spesifik di Indonesia, tapi global literatur menyebutkan hal itu. Saya akan dengan sangat senang jika Bapak Fernan dapat juga memberikan counter argument yang mana sebijak juga memfasilitasi untuk merespon tulisan saya.
Cukup menarik mengulas kehidupan NGO di Indonesia. Mengingat sudah cukup lama tidak ada (kurang) tulisan tentang NGO yang dipublikasi. Sekalipun persoalan yang diangkat sebagian merupakan issu lama, namun dengan analisa yang melihat pada keadaan saat ini, membuat tulisan ini menarik dibacanya.
Saya sepakat dg tulisan tersebut, kebetulan saya sudah bergabung dengan NGO sejak tahun 90an.
Memang tidak semua NGO seperti yg ditulis, tetapi apa yg ditulis itu juga fakta.
Semoga ini bisa menjadi refleksi bagi pegiat2 NGO.