Oleh :
Agung Nugraha
Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute
Indonesia identik dengan bencana. Tidak berlebihan bila negara kepulauan ini dikenal sebagai negeri rawan bencana. Sesuai data Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Resiko Bencana (UN-ISDR), wilayah dan masyarakat Indonesia memiliki kategori tertinggi untuk resiko mengalami bencana alam (BNPB, 2019). Jenis potensi bencana tersebut antara lain bahaya tsunami, letusan gunung berapi dan tanah longsor.
Sinyalemen UN-ISDR di atas bukan isapan jempol. Hampir setiap tahun Indonesia selalu dikepung ancaman bencana alam. Pun di awal tahun 2020 ini. Bencana banjir dan tanah longsor kembali melanda berbagai wilayah di Indonesia.
Salah satu musibah itu menimpa Kampung Banar, Desa Harkatjaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat awal Januari lalu. Tak kurang dari 28 rumah hilang tertimbun longsoran tanah. Selain korban jiwa beserta hilangnya harta benda, bencana tersebut juga memporak-porandakan insfrastruktur dan berbagai sarana prasarana. Bahkan, mengakibatkan pergeseran aliran sungai yang merubah bentang alam Kampung Banar.
Tak pelak. Dengan karakteristik bentang alam yang rawan bencana, maka keberadaan upaya dan langkah pencegahan maupun mitigasi bencana menjadi sebuah kebijakan yang sangat penting dan mendesak. Termasuk memulihkan bentang alam DAS pasca bencana agar lebih ramah dan aman terhadap ancaman berbagai bencana alam.
Pemulihan Bentang Alam DAS
Pemerintah langsung tanggap. Merespon berbagai bencana banjir dan tanah longsor di atas. Bahkan Presiden Jokowi langsung meninjau lokasi bencana dua hari pasca kejadian. Bukan hanya berbagi rasa dan memberikan dukungan moril materiil kepada seluruh korban. Presiden Jokowi juga langsung meninjau kondisi kampung dan berbagai kerusakan yang ditimbulkan.
Presiden yang kebetulan seorang rimbawan itu juga memberikan arahan langsung kepada para pembantunya. Kepala BNPB, Menteri PUPR dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta para menteri terkait. Bagaimana melakukan penanganan darurat kebencanaan. Melakukan perbaikan infrastruktur sekaligus rehabilitasi bentang alam agar ke depan kampung – kampung maupun berbagai wilayah lain yang selama ini rawan bencana longsor akan bisa lebih ramah terhadap resiko dan ancaman bencana alam.
Lebih jauh, secara khusus Presiden Jokowi menginstruksikan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Siti Nurbaya melakukan langkah-langkah penanggulangan bencana tanah longsor. Selain perbaikan infrastruktur, penanganan darurat kepengungsian seperti penyediaan pangan, distribusi Bansos dan berbagai aspek lainnya, Presiden juga menekankan langkah prioritas bagaimana menangani bentang alam yang rusak. Bukan hanya mengembalikan kondisi ekosistemnya, namun juga diupayakan agar bentang alamnya menjadi lebih ramah lingkungan. Sekaligus aman bencana banjir bandang dan tanah longsor.
Arahan Presiden Jokowi bukan hanya politis. Sebaliknya justru sangat teknis. Dalam konteks pembangunan berbasis pemulihan DAS. Khas kehutanan. Terutama pada bekas longsoran bukit yang curam dan keberadaan badan sungai dan aliran mata airnya. Seluruhnya harus direstorasi dalam satu paket sistem pendekatan yang berbeda dengan pendekatan-pendekatan di masa lalu.
Konkritnya, Presiden Jokowi meminta upaya pemulihan DAS. Melalui strategi penanaman pohon berbasis program rehabilitasi hutan dan lahan alias RHL. Termasuk pengembangan bangunan konservasi tanah dan air (KTA) pada kawasan bentang alam beserta sistem aliran airnya sekaligus. Hal itu dilakukan sebagai aktualisasi pemulihan DAS melalui pendekatan sistem ekohidrolika. Sebuah konsep pengelolaan bentang alam dengan ekologi tata air sungainya. Menggabungkan secara sinergis antara pendekatan vegetasi melalui program RHL sekaligus pengembangan bangunan fisik konservasi tanah dan air.
Memberdayakan Sosial Ekonomi Warga
Menangani kelangsungan kehidupan pasca bencana adalah langkah darurat yang mutlak harus dilakukan. Meningkatkan kondisi sosial ekonomi para pengungsi adalah sebuah prioritas jangka pendek yang wajib ditunaikan. Namun, hal yang tak kalah penting dalam jangka menengah adalah memberdayakan warga masyarakat. Sebuah strategi pembangunan yang bersifat holistik. Komprehensif.
Targetnya, agar warga masyarakat bisa turut aktif berperan serta dalam upaya perbaikan bentang alam wilayah kampungnya. Tujuannya selain memperbaiki kondisi lingkungan yang rusak pasca bencana, juga agar bentang alam ekosistem mereka jauh lebih ramah. Bahkan aman terhadap ancaman bencana alam yang sama di masa yang akan datang. Bencana banjir dan tanah longsor.
Implementasi konsep ini diaktualisasikan oleh Direktorat Jenderal Pengelolan DAS dan Hutan Lindung -Ditjen PDASHL-, KLHK. Melalui kegiatan pembuatan bangunan terasering tanah curam berbukit secara berlapis berbasis bangunan konservasi tanah dan air. Menggunakan anyaman bronjong kawat berisi batu. Menerapkan prinsip lama yang menjadi kearifan lokal warga : oleh, dari dan untuk warga masyarakat. Dilakukan melalui swakelola kegiatan RHL. Artinya, tenaga pelaksananya adalah masyarakat. Sumber kawat dan batu juga berasal dari warga masyarakat.
Sesuai penegasan Menteri LH dan Kehutanan Siti Nurbaya, bahwa Program tanggap darurat sangat penting untuk masa satu – dua hari. Maksimal satu minggu pasca kejadian bencana. Namun setelah masa itu berlalu masyarakat harus tetap memiliki kegiatan yang produktif. Pemerintah, menurut Siti, mengharapakan agar warga bisa melanjutkan kembali kehidupannya secara normal. Tetap produktif dengan manfaat lingkungan yang jauh lebih baik.
Menurut Menteri Siti Nurbaya, pemberian bantuan memang sangat diperlukan. Namun bantuan yang lebih memberikan manfaat produktif jangka menengah dan jangka panjang tentulah tak kalah penting. Khususnya apabila warga masyarakat diberikan pekerjaan yang terkait dengan upaya perbaikan kondisi lingkungan kampungnya.
Oleh karena itu, Siti Nurbaya meyakini bahwa program pengembangan bangunan konservasi tanah dan air melalui sistem swakelola berbasis program RHL Ditjen PDASHL, KLHK ini akan dapat memberikan manfaat sosial ekonomi langsung kepada warga masyarakat. Termasuk memperbaiki kembali kondisi bentang alam kampung menjadi ramah lingkungan dan aman bencana.
Upaya memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh pekerjaan dan pendapatan menjadi sebuah langkah yang sangat penting. Hal itu secara psikologis akan mengembalikan kekuatan mental masyarakat. Yang tak kalah penting, pekerjaan tersebut dilakukan dalam konteks pengembalian kondisi bentang alam wilayah kampungnya. Dalam payung besar program pemulihan DAS berbasis rehabilitasi hutan dan lahan. Baik melalui penanaman vegetatif maupun pembangunan bangunan konservasi tanah dan air.
Ketrampilan untuk melakukan pembuatan bangunan konservasi tanah dan air –bronjong kawat berisi batu dan terasering bukit- tersebut juga diharapkan akan bisa dikembangkan di setiap bagian wilayah kampung yang memiliki tingkat kerawanan bencana longsor yang tinggi.
Harapannya, bentang alam dan sistem tata airnya akan menjadi lebih ramah dan aman terhadap bencana tanah longsor. Karena telah dibangun dengan sistem berlapis bangunan konservasi tanah dan air berbasis terasering. Dengan menggunakan kawat bronjong dimana semua sumber dayanya dilakukan oleh dan dari masyarakat.
Pengembangan Vegetasi Lahan Kritis
Selain bangunan konservasi tanah dan air, setiap ekosistem bentang alam meiliki ekologi yang khas. Mengelola bentang alam dan mengatur tata airnya pada konstruksi bentang alam yang curam dan rawan longsor memang membutuhkan pendekatan yang tepat. Selain dengan penananman tanaman-tanaman keras yang bernilai ekonomi, seperti jengkol, petai, sengon, durian, dan jenis-jenis tanaman bernilai ekonomi lainnya juga ditanami dengan jenis-jenis tanaman yang berfungsi secara ekologi dan konservasi.
Terkait hal tersebut, Presiden Jokowi mengemukakan bahwa berdasarkan hasil riset dan rekomendasi para ahli, salah satu jenis tanaman yang bernilai konservasi untuk peningkatan kualitas bentang alam berbukit curam bisa ditanami dengan sejenis tanaman rumput akar wangi atau vetiver (Vetiveria zizanioides). Sejenis rumput yang dapat tumbuh sepanjang tahun. Bahkan dalam kondisi yang sangat ekstrim sekalipun. Vetiver baik untuk dikembangkan. Terutama pada daerah-daerah tebing yang terjal, yang memiliki kondisi kritis dan terbuka.
Tidaklah main-main. Untuk mewujudkan program pemulihan DAS berbasis RHL tahun 2020, Presiden RI melalui persetujuan DPR RI telah mengalokasikan tak kurang dari anggaran senilai Rp 1,2 trilyun. Karena itu, dana tersebut harus bisa memberikan dampak fisik nyata, disamping efek multiplier dalam bentuk peningkatan sosial ekonomi yang tak kalah signifikan.
Tak ada kata lain bagi Plt. Direktur Jenderal PDASHL, Hudoyo selain menyatakan kesiapannya beserta seluruh jajaran Ditjen PDASHL di seluruh Indonesia untuk melaksanakannya. Melalui peran lembaga Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) yang merupakan UPT Ditjen PDASHL, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selaku ujung tombak pelaksana di lapangan.Tidak ada pilihan lain. Bentang alam ekosistem Indonesia memang harus lebih ramah dan aman bencana alam. *****