Oleh :
Agung Nugraha
Direktur Eksekutif Wana Aksara institute
Sejak pertama kali dilakukan penunjukkan kawasan konservasi pada tahun 1980, perubahan geopolitik dan perkembangan sosial, ekonomi serta dinamika pembangunan telah mendorong berbagai perubahan di kawasan konservasi. Termasuk perubahan di berbagai ekosistem bentang alam (Wiratno, 2018).
Adalah beragam aktivitas pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan oleh berbagai pihak. Satu yang pasti. Perubahan tersebut telah menyebabkan penurunan kondisi dan daya dukung ekosistem sebagai habitat satwa liar yang dilindungi.
Faktanya. Perubahan ekosistem bukan hanya terjadi di hutan produksi. Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan juga terjadi di hutan lindung. Bahkan kawasan konservasi. Untuk mengembalikan fungsi ekosistem. Mutlak diperlukan upaya pemulihan. Baik secara alami. Dengan skema restorasi maupun rehabilitasi.
Rehabilitasi Kawasan Konservasi
Secara regulasi telah diatur. Jelas, pasti dan terukur. Setiap satuan organisasi dalam kelembagaan KLHK telah memiliki tugas pokok maupun fungsi (baca : tupoksi) yang terstruktur. Namun harus disadari pula. Bahwa kelola hutan bukan hanya melibatkan persoalan teknis. Ia juga melibatkan berbagai aspek non teknis.
Termasuk menyangkut kepentingan lintas administrasi pemerintahan yang jauh dari statis. Bahkan lintas sektoral kementerian dan kelembagaan yang sangat dinamis. Kesepahaman para pemangku kepentingan untuk membangun kerjasama menjadi kata kunci. Bagi suksesnya realisasi.
Plt. Dirjen PDASHL, KLHK, Hudoyo menyatakan dengan sangat jelas. Di berbagai forum dan kesempatan. Formal dan informal. Bahwa rehabilitasi hutan dan lahan harus mampu mengakomodir pesatnya perubahan sosial dan dinamika lingkungan strategis. Dengan tetap fokus pada tujuan program maupun tupoksi Ditjen PDASHL. Rehabilitasi hutan dan lahan. Dalam kerangka pemulihan fungsi DAS. Dengan mengedepankan keterlibatan masyarakat. Dalam kerangka peningkatan kondisi sosial ekonominya.
BPDASHL Ciliwung Citarum memahami sepenuhnya. Bahkan menghadapi sekaligus membuktikan fenomena kompleksitas kepentingan multi dimensi tersebut. Dari sisi tupoksi. Tugas teknis kelembagaannya adalah menjaga dan memulihkan kesehatan DAS Ciliwung Citarum. Program utamanya adalah rehabilitasi hutan dan lahan. Serta mewujudkan konservasi tanah dan air.
Dalam konteks administrasi pemerintahan, wilayah BPDASHL Ciliwung Citarum menyangkut tiga provinsi sekaligus. Dari hulu di Jawa Barat. Hingga hilir di DKI Jaya dan Banten. Sementara dalam konteks kepentingan sektoral, tentu saja sektor pembangunan yang terlibat di wilayah DAS Ciliwung Citarum sangatlah besar. Multidimensional. Dengan dinamika sangat kompleks.
Salah satu contoh nyata perwujudan kesepahaman tupoksi teknis BPDASHL Ciliwung Citarum dilakukan melalui kerjasama dengan Balai Besar KSDA Jawa Barat. Cq. SM. Resort Cikepuh. Program rehabilitasi dalam rangka pemulihan ekosistem kawasan konservasi. Hal ini sesuai dengan Permenhut Nomor : P.48/Menhut-II/2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pemulihan Ekosistem Pada Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam.
Dalam konteks kawasan konservasi. Dinyatakan bahwa pemulihan ekosistem dilakukan dengan tiga pendekatan. Ketiganya meliputi (a) mekanisme alami; (b) rehabilitasi; atau (c) restorasi. Substansi di atas sangat jelas. Tidak mungkin memulihkan ekosistem kawasan konservasi melalui rehabilitasi. Tanpa keterlibatan BPDASHL. Sebaliknya. BPDASHL Ciliwung Citarum mustahil sukses merehabilitasi kawasan konservasi. Tanpa kerjasama dengan BBKSDA Jabar SM Resort Cikepuh.
SM Resort Cikepuh dipimpin Saifudin sebagai Kepala Resort selaku pemangku kawasan konservasi tentu sangat memahami kondisional kawasan. Termasuk keberadaan habitat dan hidupan satwa liar. Melakukan rehabilitasi dengan panduan SM Resort Cikepuh selaku pemangku kawasan konservasi jelas menghasilkan sebuah perencanaan yang tepat.
Hal ini akan memastikan ketepatan lokasi. Jelas dan pasti. Sesuai prioritas pemulihan kerusakan ekosistem. Termasuk keamanan dari konflik dan gangguan satwa liar. Pada saat berlangsungnya kegiatan rehabilitasi maupun pasca rehabilitasi. Berdasarkan informasi di SM Cikepuh telah terjadi perambahan sejak ahun 1999-2002. Dari 8.503,05 hektar luas SM Cikepuh, hampir setengahnya telah rusak dimanfaatkan menjadi lahan pertanian. Rehabilitasi menjadi sebuah keharusan untuk memulihkan kawasan.
Terakhir, ketepatan rekomendasi jenis-jenis tanaman yang akan menjadi tanaman rehabilitasi. Antara lain melalui skema re-introduksi jenis-jenis tumbuhan asli setempat. Dukungan staf resort SM Cikepuh di tingkat tapak selaku ujung tombak unit pengelola sangat membantu. Bahkan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan konservasi tersebut.
Pelibatan Masyarakat
Kegiatan rehabilitasi di kawasan konservasi memiliki tiga karakter spesifik. Berbeda dengan rehabilitasi di kawasan hutan dan lahan lainnya.
Pertama. Harus mempertimbangkan studi atau kajian evaluasi kesesuaian fungsi. Dilakukan oleh unit pengelola kawasan konservasi setempat. Meliputi kondisi struktur, fungsi, dinamika populasi, keanekaragaman hayati dan ekosistemnya. Termasuk rekomendasi penetapan tindakan pemulihannya.
Kedua. lokasi rehabilitasi tidak cukup memiliki aksesibilitas memadai. Bahkan seringkali sangat terisolir dan terletak di kawasan remote. Itu terbukti ketika melakukan kunjungan lapangan. Sebagai ilustrasi. Untuk mencapai lokasi rehabilitasi yang terletak di Kampung Tegal Joho, Desa Mandrajaya, Kecamatan Ciemas, Kabupaten Sukabumi diperlukan waktu tidak kurang 4 jam perjalanan darat. Selebihnya, dilanjutkan menempuh perjalanan ke tapak RHL. Menggunakan motor. Jenis trail selama setengah jam. Sementara lokasi RHL yang paling jauh hanya bisa ditempuh dengan menggunakan perahu atau kapal motor. Selama kurang lebih dua jam menyusuri pesisir pantai.
Ketiga. Masyarakat sebagai kunci utama. Menjadikan masyarakat sebagai subyek pembangunan konservasi adalah sebuah keniscayaan (Wiratno, 2018). Melibatkan masyarakat dalam setiap kegiatan rehabilitasi menjadi kunci keberhasilan (Hudoyo, 2019). Dengan karakteristik rehabilitasi kawasan konservasi yang sangat khas, melibatkan masyarakat dan menjadikan masyarakat sebagai subyek adalah sebuah keharusan. Aparat yang tidak selalu berada di tapak, sangat membutuhkan dukungan masyarakat setempat sebagai bagian integral ekosistem hutan dalam implementasi dan pengawasannya.
BPDASHL Ciliwung Citarum bersama SM. Resort Cikepuh sepakat melibatkan KTH desa setempat. Keterlibatan Turyono selaku Ketua KTH sebagai salah satu pelaksana RHL menjadi pilihan paling rasional. Selain efektif, juga diharapkan akan memberikan hasil rehabilitasi yang optimal.
Total luas kawasan konservasi yang harus direhabilitasi adalah ± 1,600 hektar. Satu diantaranya berlokasi di blok Tegal Sabuk, Desa Mandrajaya dan Cibenda, Kecamatan Ciemas. Seluas 155, 85 hektar. Jumlah bibit yang telah disiapkan Turyono dan 15 anggota KTH-nya sebanyak 97,400 bibit. Terdiri dari berbagai jenis. Antara lain jenis ketapang (Terminalia catappa), berih (Pterocymbium tinctorium), kepuh (Sterculia foetida), sentul (Sandoricum koetjape), salam (Syzygium polyanthum), tisuk (Hibiscus macrophyllus), gempol (Nauclea orientalis) dan bungur (Lagerstroemia speciosa).
Sejauh ini yang sudah ditanam di lapangan sebanyak 45,880 dari berbagai jenis bibit. Dengan prosentase tumbuh mencapai 95 persen. Tentulah masih banyak yang harus dilakukan. Hingga rehabilitasi tersebut benar-benar berkontribusi signifinan. Bagi pemulihan kawasan hutan.
Penutup
Dalam konteks konservasi, pemulihan ekosistem kehidupan keanekaragaman hayati dan hidupan satwa liar menjadi sebuah keniscayaan. Terlebih bila kawasan konservasi tersebut telah mengalami penurunan kondisi resiliensi. Baik karena ekosistem telah terdegradasi. Maupun secara akut telah terdestruksi.
Untuk memulihkan. Selain mengandalkan suksesi alami. Mutlak diperlukan dukungan dalam bentuk intervensi. Tentulah dalam kerangka percepatan pemulihan ekosistem. Rehabilitasi –dan restorasi- ekosistem kawasan konservasi merupakan salah satu kegiatan yang paling konkrit dan rasional. Selain memulihkan juga agar dapat berfungsi kembali seperti semula.
Berdiskusi secara intens dengan Taruna Jaya, Kepala BPDASHL Ciliwung Citarum menghasilkan pengalaman dan pembelajaran lapangan. Bahwa kunci keberhasilan pemulihan kawasan konservasi berbasis rehabilitasi sangat ditentukan oleh banyak aspek dan kondisional. Menurut Taruna, terdapat dua unsur utama diantaranya yang sangat menonjol.
Pertama, kesepahaman para pihak. Untuk memulihkan ekosistem bentang alam. Dalam hal ini selain dukungan pelaksana lapangan SM Resort Cikepuh, juga diperlukan koordinasi yang kuat dan intens dengan jajaran Ditjen KSDAE di tingkat pusat.
Pemisahan secara kaku bahwa rehabilitasi di kawasan konservasi hanya tanggung jawab Ditjen PDASHL dan UPT BPDASHL di lapangan harus pupus. Bahkan dihapus total. Sebaliknya. Memulihkan ekosistem kawasan konservasi melalui rehabilitasi adalah tugas dan tanggung jawab Ditjen KSDAE dan BBKSDA semata harus ditiadakan.
Diperlukan kesepahaman. Implementasikan dalam bentuk kolaborasi. Kerjasama lintas eselon satu. Hal itu merupakan langkah ketiga dari Sepuluh Cara (Baru). Kelola kawasan konservasi di Indonesia untuk menjadi organisasi pembelajar. Sebagaimana diungkapkan Wiratno selaku Ditjen KSDAE (2019). Mutlak harus menjadi pedoman seluruh jajaran staf di bawahnya.
Kedua, partisipasi dan dukungan warga masyarakat. Khususnya dukungan keterlibatan masyarakat di sekitar kawasan konservasi. Pelibatan KTH bersama seluruh anggotanya. Mulai dari kegiatan penyiapan bibit, penanaman hingga pemeliharaan. Termasuk pemanfaatannya menjadi kunci keberhasilan pelaksanaan program rehabilitasi kawasan konservasi.
Taruna Jaya tidak berlebihan. Sudah saatnya KLHK menjadi sebuah kelembagaan yang kokoh dan solid. Memiliki mutual trust yang kuat. Sehingga benar-benar mampu mewujudkan keberhasilan kinerja hingga di tingkat tapak. Nyata dan konkrit.
Bagi kelestarian ekosistem kawasan dan peningkatan sosial ekonomi masyarakat. Tentulah termasuk demi ke”jaya”an hutan dan kehutanan di masa depan. ***