Oleh :
Dr. Ir. Bambang Hendroyono, MM. (Plt. Direktur Jenderal PHPL, KLHK)
Tahun 2020 ekonomi global masih menghadapi tantangan. Sebagaimana proyeksi Dana Moneter Internasional (IMF) pada akhir 2019 lalu. Bahwa pertumbuhan ekonomi global di tahun 2020 diprediksi hanya 3,4 persen. Sementara Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) merevisi perkiraan pertumbuhan ekonomi global 2020. Dari angka 3,0 persen turun menjadi 2,9 persen.
Indonesia harus bersyukur. Ditengah lesunya prospek ekonomi dunia. Pertumbuhan ekonomi di tahun 2020 diperkirakan masih di atas 5 persen. Berkisar 5,3 persen – 5,6 persen. Untuk mewujudkan hal itu Pemerintah telah merancang 3 strategi utama. Pertama, penguatan neraca perdagangan guna meningkatkan kinerja ekspor. Kedua, penguatan permintaan domestik melalui peningkatan investasi dan konsumsi masyarakat. Ketiga, transformasi struktural melalui revitalisasi industri pengolahan berbasis sumberdaya alam menuju hilirisasi produk dan komoditas.
Tak dapat dipungkiri. Semua sektor kini harus bersinergi. Wajib menyusun strategi. Mendukung target Presiden RI. Dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi. Menggali potensi. Semua peluang mutlak mesti diantisipasi. Seraya segenap tantangan dan hambatan harus mampu diatasi. Berbagai langkah terobosan pun wajib dieksekusi.
Transformasi Bidang Kehutanan
Bagaimana sektor kehutanan ? Kinerja sektor kehutanan masih sangat mungkin digenjot. Dengan luas pemanfaatan hutan produksi (HP) saat ini mencapai 30,6 juta hektar. Terbuka semua peluang dan kemungkinan pengembangan. Terdiri dari ijin konsesi HTI 293 unit seluas 11.3 juta hektar. Sementara ijin konsesi Hutan Alam (HPH) 255 unit seluas 18.7 juta hektar. Terakhir ijin konsesi Restorasi Ekosistem (RE) 16 unit seluas 622.861 hektar. Sektor kehutanan jelas memiliki peluang kontribusi yang sangat potensial. Untuk mendukung ketiga strategi transformasi ekonomi aktual.
Realisasinya tentu membutuhkan berbagai langkah terobosan. Strategi transformasi ekonomi kehutanan menjadi skenario pilihan terbaik. Upaya tersebut dilakukan melalui peningkatan investasi dalam rangka mendongkrak produktivitas hutan produksi. Targetnya mengangkat kinerja ekspor. Melalui pertambahan nilai (value added) dan daya saing produk hasil hutan. Baik pengusahaan hutan di hulu. Maupun industri pengolahan di hilir.
Salah satu terobosan penting transformasi ekonomi kehutanan adalah membuka keran diversivikasi pemanfaatan hutan produksi. Ibarat membuka kotak Pandora. Hutan produksi selama ini hanya identik dengan hasil tunggal kayu. Kini dibuka seluas-luasnya pemanfaatan potensi hasil hutan bukan kayu. Termasuk jasa lingkungan dan wisata alam.
Memang sejak awal Presiden Jokowi selaku rimbawan telah memperlihatkan visinya. Jauh ke depan melebihi eksistensi sektor kehutanan itu sendiri. Hutan –khususnya hutan produksi- bukan hanya kayu. Hutan adalah bentang alam berisi ekosistem dengan segala peluang dan potensinya. Hal ini yang harus disadari oleh para rimbawan konvensional. Yang masih gagal paham. Masih melihat hutan sebatas dengan kaca mata kuda. Hanya berkutat pada soal hasil hutan kayu semata.
Terobosan penting lain dari strategi transformasi ekonomi kehutanan di hutan produksi adalah mendekatkan bahkan menyatukan antara unit usaha hulu – hilir. Bahan baku dengan industrinya langsung. Dalam satu kawasan lokasi. Baik ijin konsesi hutan alam maupun ijin konsesi hutan tanaman.
Selama ini hasil hutan dari kawasan hutan alam Papua, Maluku, Sulawesi dan Kalimantan dikirim untuk diolah ke Jawa. Biayanya sangat tinggi. Bahkan lebih mahal bila diangkut langsung (baca : ekspor) dari lokasi ke berbagai negara. Ini yang membuat daya saing komoditas kehutanan Indonesia “keok”. Sulit bersaing. Bahkan dengan negara sekecil Laos atau sekelas Vietnam.
Menyatukan hulu hilir adalah sebuah keputusan penting. Sebagai perwujudan meningkatkan efisiensi kehutanan hulu sekaligus optimalisasi hilirisasi. Untuk mewujudkan daya saing sekaligus nilai tambah komoiditi. Termasuk melakukan optimalisasi pemanfaatan limbah hasil pembalakan industri. Dalam kawasan areal perusahaan pemegang ijin konsesi. Mereka dapat menggunakan mesin portable.Sebuah kepercayaan Pemerintah kepada korporasi. Wajib dibuktikan korporasi dengan memberikan kontribusi nyata bagi peningkatan produktivitas hutan produksi.
Lebih jauh. Khusus untuk pemegang HTI diberi kelonggaran lebih luas. Pemegang konsesi HTI dapat diberikan izin usaha industri hasil hutan kayu pada areal kerjanya. Misalnya. Untuk membantu mendongkrak upaya pengembangan kemandirian energi, pemegang konsesi HTI yang mengusahakan bio-energi berbasis kayu tanaman. Dengan daur pendek kurang dari 5 tahun. Dapat diberikan ijin usaha industri pengolahan hasil hutan (IUIPHH) pada areal kerjanya. Berupa industri serpih kayu, wood pellet, arang kayu, biofuel, dan biogas. Ini juga upaya mendukung terwujudnya konsep TRI SAKTI Presiden Jokowi. Melalui kemandirian ekonomi berbasis ketahanan sekaligus kedaulatan energi.
Masih ada lagi. Sesuai visi KLHK yang kini mengarus-utamakan pemanfaatan HHBK. Pemegang konsesi HTI yang menghasilkan produk samping berupa HHBK. Dapat diberikan ijin usaha industry pengolahan HHBK. Banyak sekali potensi HHBK hutan tropis. Beberapa diantaranya pengawetan/pengolahan rotan, bambu dan sejenisnya. Bisa juga pengolahan pati, tepung, lemak dan sejenisnya. Pengolahan getah, resin, dan sejenisnya. Termasuk pengolahan biji-bijian, pengolahan madu, pengolahan nira, minyak atsiri, dan Industri karet remah (crumb rubber). Bahkan bila membangun kerjasama kemitraan dengan masyarakat desa hutan, pemegang konsesi HTI dapat membangun industri pengolahan hasil pengembangan agroforestri skala kecil dan menengah dalam areal kerjanya.
Akses Hutan Untuk Masyarakat
Kehutanan masa depan adalah kehutanan yang maju, adil, berkualitas dan berkelanjutan. Itu hanya dapat dicapai bila keseimbangan akses dan penguasaan asset sumberdaya hutan bisa diwujudkan. Secara adil dan setara. Mengatasi ketimpangan akses dan penguasaan asset atas sumberdaya hutan antara korporasi dan komuniti. Terbukti menyebabkan pertumbuhan kehutanan tidak kokoh. Jauh dari berkualitas. Bahkan menghasilkan konflik yang mengancam integrasi sosial kultural.
Kuncinya adalah keadilan pemanfaatan hutan. Strategi transformasi ekonomi kehutanan yang akan dilakukan adalah melakukan evaluasi kinerja pemegang konsesi. Terhadap stagnasi operasi pemegang konsesi. Harus dipastikan apakah memang ada hambatan teknis regulasi. Ataukah prsoalan komitmen internal yang bersifat non teknis. Sudah tak mampu lagi alias lempar handuk.
Bila stagnasi pemegang konsesi –terutama konsesi HTI- dikarenakan konflik lahan dengan masyarakat. Kunci solusinya hanya dua skema. Pertama, berbagi manfaat melalui kerjasama kemitraan perusahaan dengan masyarakat. Kedua, melakukan addendum ijin konsesi HTI. Memberikan ijin pemanfaatan areal yang menjadi sumber konflik kepada masyarakat. Melalui skema Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Kebijakan pengembangan HTI mini melalui skema HTR memang menjadi pilihan solusi. Selain untuk meningkatkan produktivitas hutan, juga untuk menyeimbangkan akses pemanfaatan hutan kepada masyarakat. Tentu saja hubungan pemegang konsesi dengan masyarakat diharapkan tetap terjalin. Pemegang konsesi HTI bisa menjadi pembeli kayu-kayu hasil HTR masyarakat. Dengan konsep ini diharapkan HTR bisa memberikan kontribusi melalui penyerapan tenaga kerja dan pengembangan UKM.
Prasyarat mewujudkan semua hal di atas tentulah harus ada dukungan payung hukum yang menaungi. Sesuai amanat UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, kepastian kawasan hutan adalah harga mati. Agar investasi bisa mewujudkan keseimbangan fungsi ekonomi, ekologi dan sosial. Demi tercapainya kelestarian usaha. Hal itu sejalan dengan tuntutan negara hadir untuk mewujudkan kepastian tata waktu dan iklim berusaha sebagaimana visi Presiden Jokowi. Termasuk kehadiran negara untuk menyediakan fasilitasi permodalan dan pembiayaan sertifikasi UMKM. Juga penyederhanaan izin untuk industri kecil berskala UMKM.
Untuk mewujudkan semua itu. Pemerintah akan menerbitkan Omnibus Law. Sebuah payung hukum regulasi yang hendak mengatasi berbagai persoalan. Dirangkai dalam sebuah aturan yang bersifat payung. Omnibus Law yang akan diterbitkan menyangkut undang-undang penciptaan lapangan kerja dan perlindungan UMKM. Termasuk Omnibus Law deregulasi di sektor kehutanan.
Penutup
Presiden Joko Widodo telah menyampaikan visi pembangunan lima tahun periode kedua kepemimpinannya. Bahwa transformasi ekonomi Indonesia akan dicapai melalui (1) pengembangan SDM unggul, (2) konektivitas infrastruktur, (3) penyederhanaan regulasi (Omnibus Law), (4) reformasi birokrasi, serta (5) transformasi ekonomi.
Transformasi ekonomi struktural sangat diperlukan dalam upaya menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional. Transformasi ekonomi kehutanan menjadi salah satu strategi utama. Realisasinya melalui revitalisasi dan peningkatan kinerja korporasi, khususnya HTI dan HTR diharapkan akan mampu mendobrak investasi. Hal itu akan mendorong peningkatan produktivitas hutan produksi bagi pemenuhan bahan baku penghara industri. Lebih jauh, strategi ini akan meningkatkan pertumbuhan industri hilir yang efisien dan memiliki daya saing serta nilai tambah tinggi. Dampak lanjutannya, kinerja ekspor dan penerimaan negara akan semakin meningkat. Yang tidak kalah penting, tentulah tersedia lapangan kerja untuk rakyat banyak. Termasuk penyediaan lapangan usaha bagi pengembangan UKM. Sehingga peningkatan kesejahteraan seluruh warga masyarakat akan semakin nyata. ***