Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Memasuki hari pertama di tahun 2020, ibukota Jakarta dan sekitarnya memperoleh kado istimewa. Sebuah serangan fajar yang tidak pernah diharapkan. Adalah hujan deras yang mengguyur Jakarta dan sekitarnya. Sejak Selasa malam, 31 Desember 2019. Hingga subuh keesokan paginya.
Akibatnya sungai-sungai yang membelah Jakarta dan sekitarnya pun meluap. Beberapa wilayah di Bekasi dan Tangerang bahkan ikut terendam. Fasilitas vital seperti Bandara Halim juga terendam. Tak berfungsi. Menyisakan gangguan jadwal berbagai rute dan maskapai penerbangan. Sebuah gejala yang harus direspon Pemerintah. Bukan saja harus cepat dan bijak. Melainkan juga cerdas dan tegas. Khususnya soal kebijakan pembangunan ramah lingkungan di masa depan.
Potret Buyarnya Lingkungan
Selain macet kronis. Jakarta kota langganan banjir adalah sebuah fakta. Dalam konteks Daerah Aliran Sungai (DAS), Jakarta termasuk kota unik. Ada sedikitnya 13 aliran sungai utama di Ibukota. Sungai – sungai tersebut bagai nadi kehidupan yang terus berdenyut di sepanjang kota Jakarta dan sekitarnya. Satu sungai yang terbesar adalah Sungai Ciliwung. Yang bersumber di wilayah Cianjur Jawa Barat.
Persoalannya. Meskipun menjadi bagian dari wilayah DAS. Kebijakan pembangunan di Jakarta tidaklah cukup ramah DAS. Bahkan isu tidak sehatnya Jakarta sebagai bagian hilir wilayah DAS Ciliwung menjadi sebuah paradoks. Sebagai ibukota negara yang rawan ancaman bencana banjir. Pembangunan Jakarta justru bisa menjadi sebuah prioritas. Yang harus diwujudkan. Meskipun seringkali tidak sesuai bahkan menabrak aturan. Membuat lingkungan ambyar.
Pesatnya pembangunan pemukiman, industri, pusat perbelanjaan atau Mall, hingga infrastruktur. Benar – benar membuat Jakarta lapar tanah. Bahkan sangat rakus akan lahan. Di Jakarta lahan identik dengan emas. Nilai ekonominya sangat tinggi. Bahkan terus meningkat.
Tidak mengheran berbagai kawasan lindung terus diincar pemodal. Untuk dialih fungsikan bagi kepentingan ekonomi komersial. Rawa-rawa, setu, danau, sempadan sungai dan kawasan-kawasan lindung lainnya. Melalui berbagai akrobat politik. Perselingkugan kebijakan. Termasuk perubahan aturan. Kawasan lindung kian sempit bahkan hilang. Ruang Terbuka Hijau (RTH) menjadi sebuah fasilitas mewah warga. Kian sulit ditemukan.
Banjir Jakarta di awal tahun 2020 adalah konsekuensi peristiwa yang terjadi ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan ibukota. Banjir Jakarta diakibatkan volume air di suatu badan air seperti sungai, setu atau danau yang meluap. Melimpah dikarenakan tingginya curah hujan.
Banjir di Jakarta di pembuka awal tahun 2020 juga merupakan resultante dari kian rendahnya daya resap daratan atau tanah dimana wilayah DAS di Jakarta berada. Dikarenakan berbagai sebab. Baik di sebelah hulu di Provinsi Jawa Barat tersebab penebangan pohon, alih fungsi lahan hingga pembangunan vila-vila dan pemukiman. Maupun pembangunan hilir di wilayah Jakarta yang setali tiga uang.
Implikasinya jelas. Semua limpasan air mengalir ke cekungan. Membuat air sungai meluap. Termasuk tidak berfungsinya secara optimal selokan, parit, hingga sungai karena perilaku “kotor dan jorok” warga Jakarta. Menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan sampah raksasa. Bukan hanya menyumbat aliran air. Namun juga menyebabkan pendangkalan sungai. Potret kerusakan lingkungan Jakarta yang memasuki paripurna bahkan nyaris sempurna.
Wacana AMDAL Bubar
Bencana banjir yang kini melanda berbagai wilayah kota Jakarta dan sekitarnya menjadi sebuah sinyal. Bahwa bukan hanya diperlukan perubahan kebijakan pembangunan yang lebih radikal dalam konteks kelestarian lingkungan. Namun juga budaya elit dan warga Ibukota yang benar – benar ramah lingkungan. Termasuk ramah terhadap kesehatan DAS di hulu maupun hilir.
Banjir Jakarta di awal tahun 2020 yang disinyalir sangat besar ini, sekaligus mengkonfirmasi (baca : menjawab) wacana elit pemerintahan beberapa saat lalu. Soal rencana penghapusan kebijakan AMDAL –dan IMB- dalam perijinan investasi. Alasannya sungguh konyol. AMDAL –dan IMB- selama ini menjadi ganjalan perijinan. Implikasinya menghambat investasi.
Ini sungguh sebuah sesat pikir yang luar biasa parah. Kebijakan AMDAL adalah amanat undang-undang. Sudah sejak lama menjadi salah satu instrumen penting investasi hijau. Untuk mengetahui kondisi awal sebuah investasi atau proyek pembangunan. Beserta proyeksi dampaknya di masa depan. Baik terhadap aspek lingkungan biofisik maupun sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Kebijakan AMDAL juga mewajibkan rencana kelola dampak. Termasuk mitigasi terhadap dampak negatip sebuah proyek pembangunan.
Dalam kacamata pemerintah, AMDAL dinilai menghambat investasi. Karenanya mengemuka wacana akan diganti dengan kebijakan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten/Kota. Apabila RDTR sudah ada di seluruh Kabupaten/Kota di Indonesia, maka setiap wilayah akan jelas peruntukan ruangnya. Dengan demikian tak lagi membutuhkan pengajuan Amdal –dan IMB- terkait investasi.
Sungguh tak masuk akal. Mengapa AMDAL menghambat investasi ? Bisa dua perspektif anomali.
Pertama. Sang investor abai terhadap kelestarian lingkungan. Pemodal mau gampangnya saja. Mereka tidak mau repot-repot menanggung biaya eksternalitas berupa perubahan atau dampak negatip proyek investasi terhadap lingkungan. Termasuk bagaimana melakukan kelola dan mitigasi dampak negatipnya. Ini yang kemudian dihembuskan bahwa investasi di Indonesia dihambat melalui mekanisme AMDAL. Sebuah sesat pikir yang dibungkus dalam pertarungan ideologi dan kepentingan dalam bentuk dikotomi ekonomi melawan ekologi.
Menghadapi investor seperti ini Pemerintah harus lugas dan tegas. Tolak modal dan investasinya. Investor seperti ini adalah investor abal abal. Hanya akan mengeruk dan merusak Indonesia. Tanpa peduli dampak jangka panjangnya. Bagi keberlanjutan kehidupan generasi penerus. Go to hell with your capital.
Kedua. AMDAL menjadi pintu masuk perilaku korup oknum birokrat. Banyak investor yang komit terhadap kelestarian lingkungan. Mereka bersungguh-sungguh membuat AMDAL. Termasuk menyusun rencana kelola maupun mitigasi dampak negatip investasinya.
Persoalannya. Perilaku korup sebagian oknum birokrat tidak sejalan dengan komitmen dan kesungguhan sang pemodal. Bagi para bandit lingkungan yang bercokol di birokrasi ini, AMDAL hanyalah instrumen di atas kertas. Tanpa ada uang pelicin, AMDAL tidak akan disetujui. Dan Ijin Lingkungan tidak akan dikeluarkan.
Sudah lama masyarakat menengarai perilaku korup oknum birokrat model ini. Terkait fenomena ini. Solusi jitunya adalah copot seperti komitmen Presiden Joko Widodo dalam berbagai pidatonya. Berantas habis mental korup para oknum birokrat di pemerintahan. Bukan menghapus atau meniadakan kebijakan AMDAL. Ini sungguh sebuah kuldesak. kesalahan fatal. Membubarkan AMDAL sama dengan membuyarkan lingkungan dan membuat ambyar-nya pembangunan. Apapun yang dibangun akan tak berarti. Tatkala semua kembali hancur tersebab bencana banjir, tanah longsor, kekeringan dan kerusakan alam lainnya.
Kiranya, banjir Jakarta kembali menyadarkan sebuah bukti universal. Tanpa penerapan kebijakan lingkungan yang tegas dan konsisten, pembangunan hanya akan membuat kerusakan lingkungan. Alih-alih mampu mensejahterakan rakyat. Yang terjadi adalah pemiskinan masyarakat dalam jangka panjang.
Sudah saatnya warga Jakarta –dan masyarakat Indoensia- menyadari betul bahwa kelangsungan hidupnya akan sangat tergantung pada perilaku dan tradisi yang lebih berorientasi pada kelestarian lingkungan hidup. Kebijakan dan peraturan tidak akan efektif tanpa dukungan kesadaran seluruh warga masyarakatnya. Apalagi peraturan yang nyata-nyata mengabaikan dan meninggalkan aspek lingkungan. Termasuk wacana membubarkan AMDAL yang hanya akan membuat lingkungan buyar dan pembangunan ambyar. Tanpa kecuali. Quo vadis? ***