Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Reformasi birokrasi harus mampu mendukung terwujudnya efektivitas dan efisiensi kelembagaan kementerian dan lembaga dalam melayani warga masyarakat dengan hasil yang optimal.
-Joko Widodo-
Minggu keempat bulan November 2019 lalu. Saya berkesempatan kembali menikmati wisata intelektual. Melakukan kunjungan lapangan di BPDASHL Way Seputih Way Sekampung. Lampung. Tujuannya sangat atraktif. Menggali dan menulis kisah-kisah sukses rehabilitasi yang menginspirasi.
Adalah Plt. Dirjen PDASHL, Hudoyo yang meminta agar rehabilitasi hutan dan lahan berani tampil ke depan. Tidak hanya berisi kisah – kisah muram. Didominasi potret buram kegagalan. Bukan hanya digugat para pihak, seringkali bahkan duhujat masyarakat. Hudoyo meyakini bahwa program rehabilitasi yang sudah berlangsung puluhan tahun itu juga banyak mendulang kisah sukses di lapangan. Untuk itulah mantan Staf Ahli Menteri Bidang Energi itu meminta Saya membantu. Menggali dan menarasikan kisah – kisah keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan. Di berbagai kawasan.
Melalui penugasan langsung dari Sekretaris Ditjen PDASHL, Yuliarto Jokoputranto Saya pun merambah wilayah studi ke Lampung. Bertemu dengan Idi Bantara. Kepala Balai PDASHL WSS yang nyentrik. Cenderung out of the Box. Orang lapangan tulen. Yang dengan tangan terbuka menggelar karpet merah untuk memberikan kesempatan menguji sekaligus mengkaji. Sejauh mana keberhasilan rehabilitasi di tlatah Lampung. Sebagai bahan pembelajaran untuk dimungkinkan sebuah repetisi ataupun duplikasi. Tentulah dengan segenap modifikasi.
Diantara sekian banyak kisah sukses yang menginspirasi. Ada sebuah kisah yang menarik untuk dikaji. Menjadi bahan rujukan sekaligus mengundang atensi. Bukan soal keberhasilannya yang sudah tak bisa dibantah lagi. Melainkan posisinya yang kini seakan – akan ditinggalkan sendiri.
HKm Karet Karya Makmur
Lampung memang sebuah kampung. Namun kampung besar tentunya. Titik tumbuh ekonomi provinsi itu banyak ditempatkan di geliat petani kampung. Salah satunya di Desa Tanjung Kurung. Kecamatan Kesui Kabupaten Way Kanan. Lokasi itu direkomendasikan untuk ditulis bukan semata keberhasilan yang kini terlihat. Proses penyelesaian konflik penguasaan lahan garapan di hutan lindung yang telah berlangsung bertahun – tahun menjadi salah satu spirit rasionalitasnya. Bahwa rehabilitasi adalah sebuah instrumen negosiasi untuk menyelesaikan konflik lahan.
Sangat tidak mudah mengubah mind set warga masyarakat. Yang sudah terlanjur mendarah daging terstigma sekian lama. Dari nikmatnya menanam kopi di kawasan hutan lindung beralih ke tanaman karet. Sebuah komoditas asing yang sama sekali baru. Tanpa pengetahuan apalagi pengalaman. Betapa semangat merawat nadi kehidupan di kampung Tanjung Kurung sungguh luar biasa. Ekonomi karet telah mengubah drastis wajah kampung secara nyata.
Mengapa karet dan bukan kopi. Atau komoditas yang lain. Bahkan bukan pula primadona baru sang kelapa sawit. Ceritanya panjang. Awalnya di tanah register 24 Hutan Lindung Bukit Punggur ini di penuhi belantara kopi – yang pada masa Orde Baru pernah menjadi karang abang. Dibakar habis diamuk api tanpa bersisa. Singkat cerita. Lahan perebutan yang dulunya serupa padang kurusetra – ditumbuhi alang-alang- mengalami periode tanaman kopi tahun 1979-1990. Disusul dengan periode tanaman kaliandra, asam dan sonokeling pada dekade tahun 1990-an. Periode karet baru diawali tahun 2003-2005. Sebuah perjudian besar atas nasib warga. Tersebab tak satupun yang memiliki pengalaman karet yang dibudidaya.
Untungnya oleh petani pada periode karet lahan ditanami juga tanaman MPTS. Juga buah-buahan. Sebanyak sepertiga dari luas lahan. Untuk menggantikan tanaman kopi yang masih tersisa. Pada periode itu peran BPDASHL Way Seputih Way Sekampung sangat nyata. Demikian pula KPHP Unit III Bukit Punggur. Juga Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
Semua berperan aktif memberikan fasilitasi pembinaan dan pendampingan. Juga bantuan sarana prasarana. Dalam proses pembentukan kelembagaan pengelolaan Hkm di hutan lindung Bukit Punggur seluas 2.103 ha. Kelembagaan kelompok tani adalah kunci operasionalisasi HKm. Untuk kepentingan itu dibentuk Gapoktan Karya Makmur pada tahun 2008-2009.
Tibalah saatnya. Setelah dirasa cukup siap. Warga petani mengajukan permohonan ijin Hkm pada tahun 2011. Setelah melalui verifikasi akhirnya pada tahun 2013 terbitlah izin HKM definitif Bupati Way Kanan. Dan untuk proses, amat sangat pantas dan layaklah bila kemudian Gapoktan Karya Makmur menyandang predikat sebagai percontohan keberhasilan pengelolaan Hkm.
Terjebak Status Hutan Lindung
Kisah keberhasilan HKm Karet di Hutan Lindung Bukit Kurung sudah sangat jelas. Roda perputaran HKm Karya Makmur sudah menggelinding kencang. Kokohnya kelembagaan Gapoktan menjadi kunci keberhasilan operasionalisasi perhutanan sosial berbasis ijin HKm tersebut. Tak ada lagi aral melintang. Yang menjadi rintangan. Komoditas getah karet menjadi berkah.
Tatkala semua sudah sesuai harapan. Muncul perubahan regulasi dan kebijakan. Di berbagai tingkatan. Pada akhirnya justru berdampak terhadap keberadaan HKm di lapangan. Ya, dalam beberapa tahun belakangan ini muncul fenomena menarik dari keberadaan HKm Karya Makmur di areal hutan lindung Bukit Punggur. Yang menjadikan mereka menjadi relatif terkungkung.
Pertama. Secara administratif kehutanan. Kawasan hutan lindung Bukit Punggur termasuk ke dalam wilayah KPHP Unit III Bukit Punggur. Semua tahu. Secara tupoksi. Keberadaan KPHP tentulah mengatur kelola hutan di kawasan hutan produksi. Sementara keberadaan hutan lindung menjadi bagian dari tupoksi saudaranya. KPHL. Kondisi ini menjadi sebuah problem. Padahal KPHP Unit III Bukit Punggur memiliki areal ± 44 ribu hektar. Separo diantaranya adalah kawasan hutan lindung Bukit Punggur.
Kedua. Perubahan otonomi daerah. Pasca penerbitan UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah kewenangan pengurusan hutan yang semula berada di kabupaten ditarik ke provinsi. Termasuk pengurusan kawasan hutan lindung. Implikasinya, Pemerintah Kabupaten yang selama ini ikut membina dan mendukung kegiatan kelola hutan lindung melalui HKm Karya Makmur mengalami pelemahan. Bahkan cenderung ditinggalkan. Termasuk melemahnya dukungan terhadap operasionalisasi KPHP unit III Bukit Punggur yang kini menginduk ke Pemerintah Provinsi. Cq. Dinas Kehutanan Provinsi Lampung.
Ketiga. Perhutanan sosial menjadi Direktral Jenderal yang terpisah dari Ditjen PDASHL. Pasca penyatuan lingkungan hidup dan kehutanan menjadi sebuah kementerian, Ditjen RLPS pecah menjadi dua lembaga setingakt Direktorat jenderal. Pertama, Ditjen PDAS & Hutan Lindung dengan UPT sebagaimana yang sudah ada sebelumnya. Yaitu BPDAS. Kedua Ditjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan dengan UPT untuk wilayah Lampung mengacu pada Balai PSKL Sumatera yang berkedudukan di Medan.
Apa implikasinya ? Kerumitan birokrasi yang justru menjauhkan dari tujuan essensi sebagai abdi. Ya. Melayani warga masyarakat, khususnya petani.
KPHP merasa hutan lindung bukanlah tupoksinya. Pemkab Way Kanan menilai bidang kehutanan kini bukan lagi kewenangannya. Di sisi lain, Pemerintah Provinsi memiliki prioritas yang bukan hanya bidang kehutanan semata. Sementara, tentulah bukan hal yang mudah bagi BPSKL Sumatera untuk bisa secara rutin melakukan kegiatan pembinaan dan dukungan intensif atas HKm Karya Makmur di Kabupaten Way Kanan, Lampung.
Ringkasnya. Yang dekat keberadaannya merasa kewajiban itu bukan tupoksinya. Sebaliknya, kelembagaan yang memiliki kewenangan memiliki jarak yang jauh bahkan sangat jauh. Implikasinya jelas. Target untuk membangun efektivitas fungsi organisasi birokrasi menjadi jauh panggang dari api. Tidak efisien dan optimal. Masalahnya, saya yakin banyak model unit kegiatan kehutanan di lapangan yang memiliki model kasus yang sama seperti halnya HKm Karya Makmur ini.
Penutup
Dalam kurun waktu relatif singkat. Setelah melebur menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di tahun 2014. Di tahun 2019 KLHK kembali harus melakukan penyesuaian. Adalah tuntutan reformasi birokrasi Presiden Jokowi yang akan memangkas eselon 3 dan eselon 4 menjadi jabatan fungsional. Serta tuntutan prioritas program terkait dengan penyiapan SDM unggul bagi terbukanya kran investasi dan pembukaan lapangan kerja. KLHK perlu melakukan evaluasi kelembagaan atas lima tahun keberadaannya dalam konteks merespon tuntutan Presiden Jokowi di atas. Minimal untuk lima tahun ke depan.
Mandat konstitusional lingkungan hidup dan kehutanan sangat jelas. Masyarakat sejahtera yang diikuti dengan lestarinya hutan. Demikian pula dengan turunan regulasi maupun peraturan perundang-undangannya. Persoalannya menjadi tidak mudah tatkala mandat itu dijabarkan dalam bentuk operasionalisasi kelembagaan turunannya di lapangan. Dari Menteri turun ke pejabat eselon 1 setingkat Direktorat Jenderal. Turun lagi ke pejabat eselon 2 setingkat Direktorat. Demikian seterusnya. Termasuk kehadiran KLHK di daerah melalui kelembagaan UPT setiap Direktorat Jenderal.
Di lapangan. Seringkali operasionalisasi sebuah kelembagaan dibatasi oleh tugas pokok dan fungsi (tupoksi). Hal itu bisa dipahami karena akan menyangkut program dan pemenuhan anggaran. Namun bagaimanapun, sebuah kelembagaan tidak bisa berpikir dan bertindak parsial. Kaku. Apalagi terkotak-kotak. Seperti kasus HKm Karya Makmur di hutan lindung. Kini keberadaannya bak anak ayam kehilangan induk. Mau kemana ia harus berlindung ? Ini yang disebut anomali. Yang dekat kelembagaannya –KPHP dan BPDAS- tidak sesuai tupoksinya. Yang sesuai tupoksi -BPSKL- jauh lokasinya. Apatah kelembagaan yang sudah terlanjur terbangun harus tetap “keukeh” alias kaku dan keras kepala dengan tupoksi masing – masing ?
Pemahaman dari para pihak atas konteks kondisional yang sangat unik ini harus mampu menjadi sebuah pemahaman bersama. Jangan pula ada UPT KLHK yang berniat membina dan mendukung keberadaan unit kegiatan lingkungan hidup dan kehutanan justru malah menjadi temuan. Karena dinilai tidak sesuai dengan tupoksi. Lalu dikenakan sanksi. Alih-alih berani melakukan terobosan ala seorang ristaker. Yang terjadi justru semua birokrat akan bersikap safety player.
Inilah momentum reformasi birokrasi. Dalam bingkai revitalisasi kelembagaan KLHK. Jangan sampai perbedaan status kawasan hutan di tingkat tapak menjadi sebuah jebakan “Batman.” Membuat sebuah program atau unit kegiatan di tingkat tapak justru menjadi kehilangan payung kelembagaan.
Alangkah lucunya bila sebuah unit kegiatan di lapangan yang sudah berhasil malah kehilangan jangkar. Lalu akhirnya ditemukan pihak lain dan menjadi icon keberhasilan lembaga lain di luar kelembagaan kehutanan. Itupun sesungguhnya masih mending. Daripada unit kegiatan yang berhasil tersebut, layu kemudian mati. Karena ketidakhadiran –baca : ditinggalkan- negara yang seyogyanya membina, mengayomi sekaligus mendukung keberadaan mereka. Minimal sekedar fasilitasi dan pendampingan. Bila semua itu yang terjadi. Quo vadis KLHK ?***