Agung Nugraha (Direktur Eksekutif Wana Aksara Institute)
Tersebutlah Suku Anak Dalam (SAD). Dikenal pula dalam hikayat sebagai Orang Rimba. Adalah pembangunan Indonesia dalam bingkai mewujudkan kesejahteraan rakyat. Salah satu potret dampaknya adalah kompleksitas perubahan sosial kultural. Menggambarkan secara sempurna dinamika perubahan. Antara ada dan tiada keberadaan Orang Rimba. Dalam kacamata ekologi manusia.
Berdasarkan akar historis tradisi lisan. Orang Rimba merupakan masyarakat adat atau indigenous people yang berasal dari orang Maalau Sesat. Syahdan berlari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam. Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo (BTN Bukit Duabelas. 2012). Secara sosiologis. Masyarakat Indonesia dan dunia mengakui. Orang Rimba menjadi bagian integral ekosistem hutan. Hidup dan berinteraksi dengan hutan alam tropika. Membangun peradaban komunitas nomaden berburu meramu. Membentuk sistem tata nilai sosial, ekonomi dan budaya. Bahkan religiusitas. Sangat khas. Bukan hanya itu. Secara yuridis keberadaan Orang Rimba bahkan diakui dan dilindungi konstitusi. Hasil amandemen UUD 1945. Pasal 18 ayat 2 B. Orang Rimba adalah pewaris sah landscape hutan tropis Jambi. Sebagai sebuah labensrauum atau ruang hidup yang dinamis.
Kidung Pilu Tumenggung Hasan
Dengan konstruksi konsep akademik – empirik yang demikian. Bertemulah Saya dengan seorang pemuka Orang Rimba. Tumenggung Hasan namanya. Seorang tetua adat Suku Anak Dalam. Hidup dan tinggal di sepanjang jalan koridor PT. Lestari Asri Jaya. Berlokasi di RT 008, Dusun Pakundangan, Desa Semambu, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, Jambi. Pada awal Oktober 2019 lalu.
Tumenggung Hasan bijak bestari memimpin kelompoknya. Jumlahnya 12 KK atau 56 jiwa. Bagi saya, sungguh sebuah wisata intelektual yang mewah luar biasa. Sebagai seorang rimbawan antropolog berkesempatan bersua. Berasyik masyuk dengan masyarakat adat yang hampir punah. Orang Rimba atau Suku Anak Dalam.
Menatap sepasang mata Tumenggung Hasan. Bagai melihat potret ketegaran seorang penjaga marwah masyarakat adat. Bukan hanya gigih bertahan hidup di tengah badai perubahan zaman. Namun juga menjaga warisan peradaban. Mendengar tuturannya. Bagai mendengar tembang pilu kisah hidup kelompoknya. Sebuah kidung kesedihan tiada tara. Tentang potret kehidupan yang kian jauh dari kampung halaman. Belantara hutan alam tropika.
Pembangunan meminggirkan Orang Rimba. Kata Tumenggung Hasan. Itu fakta tak terbantahkan. Pesatnya industri ekstraktif kehutanan era 1980-an yang dilanjutkan industri perkebunan sawit dekade 2000-an merubah sempurna bentang alam hutan tropika. Menjadi ekosistem baru yang sama sekali berbeda. Meniadakan “bediom” yang menjadi labensrauum Kami. Orang Rimba. Dengan seorang penterjemah, Saya mendengar seksama tuturan kisah tragis Sang Tumenggung Hasan. Miris membuat hati menangis.
Secara jujur Tumenggung Hasan tidak mengabaikan peran negara. Bukannya tidak menyadari. Pemerintah dan berbagai pihak telah berupaya memajukan dan memberdayakan Orang Rimba. Namun keliru cara pandang justru menyebabkan kegagalan program. Tanpa disadari. Sesat pikir stigmatisasi buruk Suku Anak Dalam menyebabkan program pembinaan berubah menjadi “pembinasaan”.
Cepat atau lambat. Tumenggung Hasan merasakan akan ancaman kepunahan. Kalaupun mampu bertahan. Mereka tak lebih dari kelompok kecil masyarakat dengan strata sosial kultural terendah. Karena itu oleh para pihak keberadaannya bisa ditinggalkan. Atau bahkan ditanggalkan.
Tumenggung Hasan bertutur nanar. Orang Rimba mati di tengah hilangnya hutan tropika yang menjadi pusakanya. Kehilangan ruang artikulatif sistem sosial, ekonomi, budaya bahkan religiusitasnya. Tumenggung Hasan tak lagi mampu melakukan ritual “mandah”. Meramu ke dalam hutan. “Bemalom” untuk memungut hasil hutan dan berburu hewan buruan. Atau sekedar meramu “belek ari.” Guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Fisik maupun spiritual. Tumenggung Hasan dan kelompoknya dicekam kesunyian. Ditinggalkan dalam gagap budaya. Ironis. Ditengah gegap gempita keramaian perubahan zaman.
Tumenggung Hasan bukannya tidak ingin setara. Dengan berbagai komunitas lainnya. Baik masyarakat lokal maupun pendatang. Namun stigma sebagai masyarakat tak beradab telah menempel di setiap kepala Orang Rimba. Menjadi legalisasi kebijakan diskriminatif. Tindakan dan sikap pemisahan. Segregasi sosio kultural. Antara kelompok Tumenggung Hasan dengan warga masyarakat lainnya.
Serba salah. Bisa jadi salah kaprah. Semula Tumenggung Hasan mengartikan untuk setara. Sama derajad dengan komunitas modern melalui penyamaan cara hidup dan pemilikan barang. Tumenggung Hasan melakukan dengan cara membeli kehidupan masyarakat modern. Secara instan. Memiliki motor bahkan mobil sekalipun. Hingga semua barang konsumtif modern. Namun Tumenggung Hasan dan kelompoknya menebus dengan cara yang salah. Dengan menjual seluruh tanah adat beserta pusakanya. Serta menghabiskan seluruh uang hasil pemungutan hasil hutan bukan kayu di hutan-hutan yang masih tersisa.
Semua berawal dari pola pikir nan sesat. Pun berakhir sesaat. Karena secara peradaban Tumenggung Hasan masih belum sepenuhnya siap. Bahkan jauh dari kemampuan hidup secara modern. Bukannya produktif. Sebaliknya, Tumenggung Hasan dan kelompoknya justru memilih jalan konsumtif dan hedonis. Dengan potret kidung kehidupan di atas. Tumenggung Hasan menyadari betapa dekatnya vonis kematian. Bahkan kepunahan bagi komunitasnya.
Beradaptasi Menjaga Peradaban
Sadar itu hadir belakangan. Meski sedikit lambat, namun belum sepenuhnya terlambat. Tumenggung Hasan menyadari bahwa hanya melalui adaptasi mereka bisa survive. Hanya melalui penyesuaian diri Orang Rimba terlepas dari ancaman kutukan kepunahan.
Untuk pertama kali. Tumenggung Hasan memilih hidup menetap. Membangun rumah sebagaimana warga umumnya. Membuka kebun dan melakukan pertanian menetap. Membangun “sudung” di halaman belakang rumah. Berupa gazebo dari kayu tanpa dinding. Dengan alas papan setinggi ± 20 cm. Sebagai tempat merenung sekaligus melepas kerinduan akan hutan belantara. Di kala hati galau gundah gulana.
Kini. Setelah satu dekade hidup menetap. Tumenggung Hasan telah memiliki sebidang kebun karet seluas 2 hektar. Mulai pula bertanam sawit. Juga menanam rotan untuk menghasilkan jernang. Termasuk berbagai pohon buah-buahan seperti duku, durian, cempedak, petai dan jengkol. Untuk kebutuhan hariannya. Tumenggung Hasan juga bertanam padi ladang. Serta sayur-sayuran. Semua dilakukan untuk memenuhi kebutuhan Tumenggung Hasan dan keluarganya.
Di saat – saat lain. Tumengung Hasan masih masuk ke dalam hutan. Melakukan kegiatan berburu dan mencari ikan. Juga mencari madu dan getah damar. Berburu dan mencari ikan untuk dijual bila hasilnya melimpah. Sementara bila tak banyak, cukup dinikmati sendiri bersama keluarga.
Lebih dari itu semua. Tumenggung Hasan juga membuka masuknya budaya luar. Ia meminta anak-anaknya bersekolah. Walau masih secara informal. Sekedar mampu calistung alias baca, tulis dan berhitung. Umumnya dengan para misionaris atau pihak gereja. Sebuah kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan. Bagi sebuah kemajuan tanpa meninggalkan budaya dan peradaban Orang Rimba.
Tumenggung Hasan juga melakukan akulturasi dengan masyarakat luar. Ia mengambil menantu dari warga desa setempat. Salah satunya adalah menantu untuk anak lelakinya. Bukan sembarang menantu. Seorang sarjana sastra Inggris. Kini menjadi kebanggaan dan kesayangan. Menjadi pengajar guna menyongsong masa depan anak-anak Suku Anak Dalam.
Yang tak kalah penting. Kini Tumenggung Hasan meminta semua anggota kelompoknya memiliki identitas. Dengan fasilitasi pendampingan PT. Lestari Asri Jaya satu persatu kelompok Tumenggung Hasan memiliki E-KTP. Selain identitas, kepastian data kependudukan tersebut juga membuka pintu bagi akses fasilitas pendidikan dan kesehatan yang setara dari negara.
Perlahan tapi pasti. Tumenggung Hasan mulai paham dan mampu menjalani kehidupan menetap. Dengan segenap sistem dan tata nilainya. Melalui pendampingan PT. Lestari Asri Jaya serta dukungan Kelompok Kerja (Pokja) Tim Resolusi Konflik multipihak yang dikoordinir Dinas Kehutanan Provinsi Jambi.
Penutup
Tidak mudah membangun adaptasi. Apalagi interaksi harmonis dan sinergi. Tantangan terbesar bukan pada faktor biofisik. Melainkan faktor sosial kultural. Faktor saling percaya sebagai capital social. Bagi terbangunnya sebuah relasi equal. Sebuah relativitas kultural.
Jujur. Warga masyarakat desa umumnya masih menggunakan stempel Orang Rimba sebagai komunitas berkasta terendah. Sebutan “Orang Kubu” adalah wujud konkritnya. Empati dan simpati kepada Orang Rimba, termasuk Tumenggung Hasan belum sepenuhnya hadir apalagi mengemuka. Interaksi yang terbangun masih bersifat eksploitatif. Disamping mengarah pada diskriminasi rasial dan pelecehan etnis.
Tumenggung Hasan mencontohkan. Tatkala mereka perlu uang karena kebutuhan mendesak dan mendadak. Sebesar Rp 500,000,-. Faktanya, tak seorangpun warga masyarakat sudi meminjamkan uang. Ironis. Padahal Tumenggung Hasan menjaminkan emas sebanyak 2 mayang (1 mayang ± 2,5 gram). Artinya, masyarakat dan warga desa belum sepenuhnya percaya kepada Orang Rimba.
Kasus lain. Banyak petani yang berbaik-baik kepada Tumenggung Hasan dan anggotanya memiliki tujuan. Bukan dilandasi ketulusan membangun hubungan. Apalagi persaudaraan. Ternyata kebaikan hati warga memiliki perbedaan sasaran. Ingin menguasai lahan. Melalui jual beli atau membangun kebun dengan pola bagi hasil yang berkeadilan.
Begitu diberikan ijin kelola atas lahannya, sampai kebunnya menghasilkan tak ada sedikitpun yang dibagikan. Bukan hanya itu. Sejak memperoleh lahan si petani tak pernah lagi bertegur sapa dengan Tumenggung Hasan. Seakan-akan mereka memang tak pernah saling mengenal. Seakan-akan sebuah aib bila mengenal dan berinteraksi dengan Orang Rimba. Tinggalah Tumenggung Hasan sendirian dengan segenap kepiluan.
Diakui Tumenggung Hasan. Jalan masih sangat panjang. Untuk terwujudnya sebuah relasi sosial yang setara. Satu harapan Tumenggung Hasan dan kelompoknya. Semoga warga masyarakat sudi merubah konstruksi dan cara pandang. Bahwa Orang Rimba tidak bisa dipercaya.
Orang Rimba justru telah banyak berkorban. Semua telah diberikan. Dari lahan hingga berbagai pusaka. Namun warga masyarakat tak kunjung menerima Orang Rimba dalam interaksi yang setara. Saling merangkul penuh persaudaraan.
Semoga harapan Tumenggung Hasan akan sebuah hubungan harmonis yang setara segera menjadi kenyataan. Bila tidak, tampaknya upaya adaptasi Tumenggung Hasan akan sia-sia belaka. Tak ada maknanya selain menunda kepunahan. Bila demikian, Quo vadis Orang Rimba ?***