Ir Sri Suwanto MS (Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah)
Dalam upaya menindaklanjuti “Tujuh Perintah Presiden Jokowi kepada Kabinet Indonesia Maju”, masing-masing Menteri segera mengeksekusi. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan tentulah tidak terkecuali. Rapat dengan para Gubernur menjadi sebuah komitmen realisasi.
Demikianlah. Selama dua hari, 14 – 15 November 2019 lalu bertempat di Gedung Manggala Wana Bakti, diselenggarakan pertemuan asistensi. Gubernur beserta segenap jajarannya diundang audiensi. Target prioritas awal ada pada tujuh provinsi. Sasarannya adalah melakukan kerjasama sekaligus percepatan eksekusi.
Banyak hal positip yang menjadi inspirasi. Berbagai ungkapan komitmen menjadi dorongan energi. Semua bertujuan memiliki kesamaan persepsi. Melalui kerjasama dan sinergi. Namun demikian, berbagai hal krusial yang belum sepenuhnya disepakati, harus terus dicermati. Semua demi terwujudnya visi misi Presiden Jokowi. Sebagai refleksi pencapaian amanat konstitusi.
Kuncinya di Tingkat Tapak
Tujuh perintah Presiden untuk Kabinet Indonesia Maju memang sudah demikian jelas. Pun berlaku universal. Semua diperlakukan equal. Tidak ada pembedaan. Semua bersumber pada tujuh perintah Presiden. Mulai dari arahan pencegahan korupsi, internalisasi visi misi, peningkatan produksi, outcome orientasi, selalu mencari solusi, hingga selalu siap pada ancaman copot posisi.
Pertanyaannya, mengapa tindaklanjutnya KLHK (Baca : Menteri) menggandeng keterlibatan Gubernur ? Bukan yang lain. Berdasarkan kajian kebijakan, setidaknya terdapat tiga rasionalitas mendasar yang bisa menjelaskan langkah Menteri LHK di atas.
Pertama. Hampir semua problema kehutanan dan paket solusi kebijakan di KLHK bermuara pada aktivitas di tingkat tapak. Mulai dari kebijakan perhutanan sosial, reforma agraria, konflik sosial, peningkatan kinerja lembaga bisnis kehutanan, program rehabilitasi, hingga bencana kebakaran hutan dan lahan. Semua persoalan maupun solusinya ada di tingkat lapangan alias tapak.
Terkait dengan kegiatan di tingkat lapangan, sesuai dengan kebijakan otonomi daerah maka kewenangan desentralisasi dan otonomi pemerintahan daerah kini berada di tangan Gubernur. Artinya, bahwa pemegang mandat penguasaan wilayah di daerah ada di tangan Pemerintah Provinsi. Hal itu sesuai dengan substansi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.
Dengan demikian, instruksi Presiden yang meminta agar aparat pemerintah melakukan pengecekan masalah dengan turun ke bawah dan menemukan solusinya, sangat sesuai dengan pendekatan penyelesaian masalah di tingkat tapak. Yang dilakukan melalui pendekatan kerjasama dan asistensi dengan Gubernur selaku pimpinan tertinggi di wilayah provinsi.
Kedua. Instruksi Presiden Jokowi pada urutan yang ketiga, yaitu kerja cepat, kerja keras, kerja produktif menjadi pintu masuk bagi upaya peningkatan investasi dan lapangan kerja. Harus diakui bahwa pada saat ini banyak kawasan hutan yang berada dalam posisi idle. Terlantar bahkan mangkrak. Karenanya tidak produktif. Baik dalam bentuk hutan rusak mapun lahan kritis.
Instrumen kebijakan beserta ketersediaan anggaran untuk meningkatkan produktivitas hutan telah tersedia lengkap di KLHK. Termasuk kesediaan para investor untuk menanamkan modalnya di bisnis kehutanan.
Persoalannya, selama ini tidak bisa segera diwujudkan melalui kerja cepat dan kerja keras. Apalagi kerja produktif. Tatkala KLHK dengan Pemerintah Daerah tidak cukup terjalin intens dan kuat. Kesannya justru saling mengunci. Upaya membangun sinergitas ini menjadi sebuah terobosan yang tentu saja sangat berarti.
Karena itu, sudah tepat upaya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk merangkul dan memberikan asistensi kepada Gubernur dan jajarannya. Harapannya, semua hambatan dan kendala bisa diatasi dan diselesaikan. Tentu tanpa melahirkan persoalan baru. Konsepnya seperti kredo BUMN yang sudah sangat dikenal. Yaitu “menyelesaikan masalah tanpa masalah.”
Pada akhirnya, harapan program pembangunan kehutanan di semua kawasan hutan sesuai status dan fungsinya akan bisa dipercepat. Ujungnya, produktivitas hutan dan lahan bisa ditingkatkan. Dalam bingkai multi bisnis multi produk. Dalam kerangka investasi bagi penciptaan peluang usaha dan penyerapan tenaga kerja.
Ketiga. Bila berbicara di tingkat tapak. Maka konsensus yang telah terjalin di tingkat kementerian KLHK dan lembaga di tingkat pusat -baik dengan Kementerian Dalam Negeri, Bappenas, Kementerian Agraria dan Tata Ruang dan kementerian lainnya- maupun antara pusat (baca : KLHK) dengan pemerintah di daerah (baca : Gubernur) adalah melalui intrumen Kesatuan Pengelolaan Hutan atau KPH.
Dengan demikian, bicara tapak antara semua pemangku kepentingan, maka semuanya hanya akan bermuara di satu pintu : KPH. Tidak ada lain. Karenanya langkah awal Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan merangkul dan melibatkan Gubernur merupakan sebuah pendekatan yang sangat bijak. Dan karenanya tentu saja layak didukung.
Gubernur Kunci Operasionalisasi KPH
Dalam konteks ini, posisi Gubernur –Kalimantan Tengah- memiliki posisi yang sangat penting. Bahkan sangat strategis. Bukan hanya soal kewenangan prerogratifnya selaku pimpinan tertinggi wilayah di Provinsi yang berhak mengangkat Kepala KPH. Dengan segala kesesuaian kompetensi, pengalaman maupun semua atribut sosial, ekonomi dan budaya sang kandidat KKPH.
Lebih dari itu, Gubernur juga sangat diharapkan bukan hanya menjadikan KPH sebagai lembaga tempat “balas budi” politik kepada pendukungnya. Atau orang kepercayaannya. Namun yang tak kalah penting tentu saja adalah komitmen dan dukungan all out Gubernur terhadap operasionalisasi KPH. Sesuai dengan potensi kekuatan politik dan peluang sumberdaya lain yang dimilikinya. Setidaknya ada beberapa aspek penting yang perlu dipertimbangkan.
Pertama. Gubernur harus mempertimbangkan kompetensi kandidat SDM yang akan menjadi Kepala KPH. Selain kompetensi dan pengalaman, Gubernur juga harus yakin sepenuhnya bahwa sang kandidat memiliki karakter pisko kultural yang memadai. Terutama dari sisi karakter enterpreunership yang bersangkutan. Hal ini penting agar yang bersangkutan tidak menjelma menjadi seorang birokrat yang selalu mengharapkan dana dari ABPN ataupun APBD.
Kedua. Gubernur harus memastikan bahwa setiap calon kepala KPH harus mampu “menjual” semua potensi dan sumberdaya yang dimiliki KPH agar menjadi sebuah unit bisnis yang akan mampu menghasilkan income atau profit bagi KPH. Artinya, KPH harus memiliki pendapatan bagi operasionalisasinya. Lebih dari itu, Gubernur harus berani memasang target kepada Kepala KPH agar bisa menjadikan KPH sebagai sebuah lembaga yang bersifat profit centre. Bukan sebaliknya. Cost centre.
Ketiga. Gubernur harus mampu mewujudkan KPH sebagai pusat keberhasilan semua program pembangunan kehutanan dan lingkungan hidup. Mulai dari IUPHHK yang produktif dan berkelanjutan, perwujudan tata ruang yang ramah lingkungan dan melindungi masyarakat adat, reforma agraria dan perhutanan sosial yang memberdayakan, rehabilitasi hutan dan lahan yang produktif dan mensejahterakan, kelestarian konservasi dan keanekaragaman hayati, penegakan hukum kehutanan, serta peningkatan SDM unggul. Termasuk upaya penurunan emisi karbon dan pengelolaan limbah.
Untuk itu, upaya kerjasama asistensi ini harus dilihat sebagai program jangka panjang yang membutuhkan konsistensi komitmen diantara para pihak. Termasuk dukungan jajaran pejabat eselon satu beserta jajarannya di bawah Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Penutup
Persoalan lingkungan hidup dan Kehutanan sangat banyak dan kompleks di semua wilayah provinsi. Hampir sepanjang tahun mengemuka silih berganti. Untuk itu, sejak dini semua pihak harus concern dan fokus dalam mengantisipasinya. Pendekatan pencegahan adalah pilihan terbaik. Koordinasi dan kerjasama menjadi kata kunci.
Pendekatan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan sejumlah Gubernur, termasuk Gubernur Kalimantan Tengah adalah sebuah langkah bijak untuk saling berbagi tanggung jawab disertai penguatan modal sosial : kepercayaan. Harapannya, semua persoalan bisa diurai sekaligus ditemukan solusi yang paling tepat. Untuk kemudian dieksekusi penyelesaiannya di tingkat tapak.
Kini sudah saatnya. Tidak ada lagi dikotomi pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Yang ada adalah kompromi sembari berbagi tanggung jawab. Tentulah demi konstituen yang sama. Seluruh masyarakat yang sejahtera.
Di bawah naungan keberlanjutan dan kelestarian hutan. Boleh lebih namun tidak boleh kurang. Bila tidak, quo vadis masa depan kehutanan ?***